Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di pecat gara-gara nayla
Kembali di meja makan, Nayla dan Dina yang sudah selesai makan sedang asyik mengobrol dan bercanda.
Di tengah keasyikan mereka, tiba-tiba seseorang memanggil.
"Sayang, kamu di sini juga."
Suara dari belakang Nayla membuatnya spontan menoleh. Begitu melihat siapa yang berbicara, ia langsung berseru dengan wajah kesal.
"Iqbal?! Lo ngapain di sini? Dan stop panggil gue 'sayang'! Gue udah bilang berkali-kali, kita itu udah putus!" ujar Nayla marah.
"Dan satu lagi, jangan pernah temuin gue lagi! Gue muak sama lo!"
Iqbal menatap Nayla dengan wajah memohon.
"Tapi, Sayang… Aku gak mau putus sama kamu. Aku bisa jelasin masalah waktu itu."
Nayla mendengus kesal.
"Gue gak ada waktu buat dengerin penjelasan lo!"
Iqbal yang mulai putus asa tetap bersikeras. Ia tiba-tiba meraih tangan Nayla dan menggenggamnya erat.
"Lepasin gue, Iqbal! Sakit, tahu!" Nayla berusaha meronta.
"Gak akan gue lepasin sebelum lo mau dengerin gue!" sahut Iqbal.
Nayla meringis kesakitan.
"Lepasin gue, Bal! Lo ngerti bahasa manusia gak, sih?! Kita itu udah putus! Gak ada yang perlu dijelasin lagi!"
Namun, Iqbal tetap bersikeras, tak mau melepaskan genggamannya.
"Gak bisa! Lo harus dengerin gue dulu!"
Saat itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundak Iqbal dengan cukup kuat.
"Permisi Mas. Ada masalah apa ini? Tolong lepasin tangan Mbaknya. Kelihatannya dia kesakitan," kata seorang pria yang ternyata adalah Ardi.
Iqbal menoleh dengan kesal.
"Udah deh, lo gak usah ikut campur! Lo tuh cuma pelayan, gak usah sok ikut urusan gue!" bentak Iqbal.
Ardi menatapnya dengan tenang.
"Iya, saya memang cuma pelayan. Tapi setidaknya saya tahu etika."
"Halah, lo gak usah ceramah! Ini urusan gue sama cewek gue!" sahut Iqbal sinis.
"Iqbal!" pekik Nayla.
"Ingat, kita udah putus! Dan sekarang, lepasin tangan gue!"
Iqbal semakin mempererat cengkeramannya.
"Gak bisa! Lo harus ikut gue! Pokoknya gue gak mau putus sama lo!"
Ardi yang melihat Nayla semakin kesakitan tidak tinggal diam.
"Mas, udah denger kan? Mbaknya udah gak mau sama Mas. Jadi lebih baik lepasin dia."
Iqbal menatap Ardi dengan penuh kemarahan.
"Kalau gue gak mau, lo mau apa? Pelayan aja sok ngurusin hidup gue!" ucapnya dengan nada meremehkan.
Melihat Nayla semakin meringis, Ardi langsung mencengkeram tangan Iqbal dengan kuat, membuatnya meringis kesakitan.
"Lepasin gak, Mas?" tanya Ardi tegas.
"Lepasin tangan gue! Lo gak tahu siapa gue!" ancam Iqbal, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Ardi semakin kuat.
"Gak, Mas. Kalau Mas mau saya lepasin, lebih baik Mas duluan yang lepasin Mbaknya."
Iqbal semakin berang, tapi rasa sakit di tangannya membuatnya akhirnya melepaskan Nayla. Begitu melihat Nayla terbebas, Ardi pun melepas cengkeramannya.
Namun, Iqbal tidak tinggal diam. Dengan emosi yang meluap, ia langsung melayangkan tinjunya ke arah Ardi.
Karena tidak bersiap, Ardi terkena bogem mentah dan jatuh ke lantai. Padahal, jika ia mau, Iqbal sudah bisa habis di tangannya. Tapi Ardi memilih menahan diri.
"Iqbal! Lo keterlaluan!" seru Nayla. "Makin muak gue lihat kelakuan lo! Pantas aja gue mutusin lo, kelakuan lo kayak anak kecil!"
Nayla langsung mendekati Ardi yang masih terduduk.
"Mas, masnya gak apa-apa? Maaf ya, gara-gara saya masnya jadi kena tinju Iqbal," ucap Nayla dengan nada penuh rasa bersalah.
Ardi menggeleng sambil tersenyum kecil.
"Gak apa-apa, Mbak. Saya baik-baik aja."
"Tapi mas, bibirnya berdarah. Kita ke rumah sakit, ya?"
"Gak usah, Mbak. Terima kasih, saya gak apa-apa kok."
Iqbal yang melihat Nayla begitu khawatir pada Ardi semakin tersulut emosinya. Ia kembali mengangkat tangannya untuk memukul Ardi.
Tapi kali ini Ardi sudah siap. Begitu Iqbal melayangkan tinju, Ardi dengan sigap menangkap kepalan tangan Iqbal di udara.
Iqbal semakin murka.
Namun, sebelum sempat menyerang lagi, tiba-tiba suara lantang menginterupsi mereka.
"Apa-apaan ini?! Udah, stop!"
Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria dengan seragam rapi mendekat dengan wajah penuh amarah.
"Pelanggan saya pada pergi karena kalian berkelahi!" lanjutnya. Rupanya, dia adalah manajer restoran tempat Ardi bekerja.
"Apa perlu saya laporkan ke polisi? Cepat keluar dari restoran ini sebelum kesabaran saya habis!"
Iqbal yang melihat manajer itu serius langsung mundur. Namun, sebelum pergi, ia masih menatap Ardi dengan tatapan tajam.
"Awas lo! Gue tunggu di luar!" ancamnya sebelum melangkah pergi.
Setelah Iqbal menghilang, manajer restoran langsung menatap Ardi dengan tajam.
"Ardi, apa maksudnya ini?"
"Pak, saya gak berniat berkelahi. Saya cuma mau nolongin Mbaknya aja," jawab Ardi berusaha menjelaskan.
Manajer mengalihkan pandangannya ke Nayla.
"Benar begitu, Mbak?" tanyanya.
Nayla mengangguk cepat.
"Iya, Pak. Mas Ardi gak salah. Yang bikin keributan itu mantan saya."
Manajer menghela napas, lalu menatap Ardi kembali.
"Tapi Ardi, meskipun kamu gak salah, kamu udah bikin kegaduhan di restoran ini. Dan saya gak bisa mentoleransi itu."
Ardi merasa firasatnya buruk.
"Pak… maksudnya?"
"Kamu tetap saya pecat."
Ardi terdiam, matanya membulat kaget.
"Tapi Pak…?"
"Gak ada tapi-tapian. Sekarang beresin barang-barang kamu."
Ardi hanya bisa menghela napas. Dengan pasrah, ia mengangguk.
"Baik, Pak."
Saat Ardi berjalan ke ruang tempat barangnya, pikirannya berkecamuk.
Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Gue harus cari kerjaan di mana lagi…?
Sementara itu, di parkiran, Nayla tampak gelisah.
"Gimana ini, Din? Gue merasa bersalah banget sama Ardi. Gara-gara gue, dia kehilangan kerjaannya."
Dina menatapnya dan menghela napas.
"Udah Ay. Percuma lo nyalahin diri sendiri. Nasi sudah jadi bubur."
Lalu, Dina menatap Nayla dengan tatapan penuh ide.
"Tapi… gimana kalau lo kasih dia kerjaan? Kan lo punya akses ke perusahaan bokap lo."
Nayla terdiam sejenak, lalu mengangguk.
Nayla langsung setuju. "Ide bagus itu, Din! Ya udah, kita tunggu dia di sini."
Sementara di dalam restoran, Ardi sudah selesai mengemas barang-barangnya. Ia duduk di bangku sambil melamun.
"Mungkin ini sudah takdir gue. Niat nolongin malah gue yang kena masalah. Habis ini gue nyari kerja di mana lagi?" gumamnya sambil meremas rambutnya frustasi.
ridho, teman kerjanya, yang melihat Ardi mengemas barang-barangnya jadi bingung.
"Bro, lo kenapa? Mau pulang?" tanya ridho penasaran.
"Siapa sih yang mau pulang? Gue tuh di PECAT!" sahut Ardi kesal.
ridho terkejut bukan main. "Apa! Lo dipecat! Serius bro? Emang lo bikin salah apa? Kok tiba-tiba lo dipecat?!" tanya ridho yang tidak mengetahui apa yang baru di alami nya.
Ardi menghela napas, lalu menjawab, "Gue nggak bikin salah apa-apa rid. Cuma gara-gara gue nolongin pelanggan yang dikasarin mantannya." kata Ardi yang membuat ridho terkejut