Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan Minta Cerai. Lepaskan Diriku
Kak Ryan yang sudah tersulut emosi, nampak kian memuncak 'kan amarah, yang terlihat dari matanya begitu melotot tajam ke arahku.
Hanya diam membisu, sebab amarah juga sedang menggerogoti hati ini.
"Sekarang semua sudah jelas. Ceraikan aku secepatnya."
"Maaf, tidak bisa."
"Lepaskan aku, titik."
Brakk ... kerontang, sebuah pukulan didaratkan kak Ryan dikaca mobil seseorang, yang telah terparkir didepan kantornya.
Terkejut dia bakalan emosi begitu.
Entah, sudah menjadi berapa bagian kaca terbelah, yang jelas sudah berserakan dimana-mana.
Tangan mengepal. Sesak dada ini menahan hati yang terbakar. Embun berusaha ku tahan agar tak dianggap sebagai wanita lemah.
Wajahku sudah melirik kearah belakang kak Ryan, ternyata si mantan berusaha ingin mendekati kami, mungkin telah khawatir akibat tangan Kak Ryan telah terluka, tapi niat itu dihalangi oleh para anak buah yang melihat kami sedang sibuk bertengkar.
"Ciih, dasar pelakor. Masih saja tidak malu. Apa tidak lihat gara-gara dirimu kehidupanku hancur. Pasti kau sekarang puas telah membuat kami bercerai. Hebat sekali kau, bisa memisahkan cinta kami," rancau hati tak suka.
Mereka terlihat tak berani mendekati kami, yang hanya menonton dan mengawasi dari kejauhan. Baguslah kalau wanita perebut itu tak berkutik lagi, ketika mencoba mengusik urusan kami.
"Aku begitu mencintai dan menghormatimu," lantang berbicara sambil tetesan embun mulai keluar.
Menengadah ke langit-langit agar embun tidak jatuh, namun ternyata tetap saja tak kuat. Kodrat wanita selalu lemah. Berurusan dalam hal menangis itu hal yang lumrah.
Hati wanita terlalu peka dan perasaan mudah tersentuh, jadi ada hal sedikit saja yang membuat hati terluka, pasti akan jatuh juga lelehan embun.
"Aku tahu itu semua. Maka dari itu kita harus berbicara baik-baik, oke! Mari kita bicarakan ini," bujuknya.
Cengkraman tangannya ku banting kasar. Rasanya tidak sudi lagi jika menyentuh kulit ini.
"Enggak bisa!" balasku penuh keyakinan.
"Kamu lagi emosi. Jadi mari kita bicarakan dari hati ke hati dan kepala dingin. Jangan marah, ok!"
"Maaf aku tidak bisa."
"Terserah apa mau kamu sekarang, Kak. Yang jelas kak Ryan harus tahu apa yang sebenarnya ada dalam hatiku."
Dia hanya mengerutkan kening. Ada sedikit bahasa tubuhnya yang masih ingin kekuh menenangkan ku, namun pada nyatanya tidak berani, sebab diri ini sudah tidak ingin diajak negosiasi lagi.
"Di tiap keheningan malam, diriku berusaha tetap terjaga agar tak tertidur, sebab hanya ingin melihat wajahmu, bahwa Kak Ryan sudah pulang dalam keadaan baik-baik saja. Dalam sajadah terbentang, doa atas namamu tak pernah kulupakan di setiap sujudku. Dalam kegelapan dini hari, hanya bisa mengelus-elus pintu kamarmu saja, dan tak berani mengetuk lebih sebab aku tahu betapa letih dan lelahnya dirimu."
Nafas tersengal-sengal, sudah tidak kuat lagi menahan airmata yang terus mengalir. Tidak pernah menyapa dia sama sekali ketika pulang kerja. Kadang hanya mengintip dibalik gorden. Bahkan ngantuk 'pun tetap menunggu. Dia selamat sampai rumah, itu sudah cukup untuk melegakan hati yang sering khawatir.
"Aku hanya ingin kasih sayang dan cintamu, bisa tercurahkan pada orang yang kini telah sah dan halal menjadi istrimu. Apakah aku pernah membuatmu kecewa? Atau sudah pernah menyakitimu? Sehingga kamu sekarang semakin jauh dariku. Ketika aku mencoba menahan semua rasa perih yang menyakitkan hati dikarenakan foto-foto itu, diriku masih tetap percaya untuk terus menggenggam erat kepercayaan kak Ryan, tapi apa yang sekarang telah kamu lakukan, Kak?" ucapku panjang lebar.
Menghirup udara sebanyak-banyaknya, biar sesaknya bisa cepat hilang dan memudahkan berbicara. Rasanya tak kuat lagi untuk mengoceh.
Bakti dan kepatuhan selama ini menjadi sia-sia. Dia tidak peka, namun diriku masih saja sabar menghadapi. Sekarang puncaknya dan ingin meluapkan semua. Tidak peduli jika dia merasa kasihan, yang jelas hati sudah tertutup akibat terlalu sakit hati.
"Setelah sekian bulan kita bersama, untuk membina sebuah keutuhan rumah tangga, kak Ryan kini sudah tega telah menghadirkan seseorang, yang kemungkinan besar dulu sampai sekarang masih tersimpan rapi dihatimu. Jika dengan menyakitiku semua ini bisa membuat kak Ryan bahagia, aku akan menerima dengan lapang dada. Mulai sekarang aku akan belajar untuk mengikhlaskan betapa hilangnya rasa cintaku ini padamu," jelas ku yang sudah mengeluarkan uneg-uneg dalam hati, biar kak Ryan tahu tentang kebenaran yang sesungguhnya.
Dalam keadaan berdiri, dia terus saja membisu, bengong serta fokus mendengarkan keluh kesahku.
Nampak, tanah cokelat telah tercampur menjadi merah, disebabkan oleh darah yang menetes akibat tangan yang terluka.
Tak terbesit sedikitpun padaku, rasa iba melihat tangan kak Ryan terluka, bagiku luka hati ini lebih sakit daripada tangannya. Lagian buat apa aku peduli, bukankah disini ada mantannya.
"Ini, Kak? Dan maafkan diriku, jika ada salah kata dan tindakan," ucapku memberikan.
Sebuah cincin kawin sudah terlepas dari jariku, yang langsung ku taruh di telapak tangan suami.
"Kamu jangan keterlaluan dan melewati batas."
"Aku hanya bisa mendoakan Kak Ryan semoga baik-baik saja dan selalu bahagia. Ini yang terbaik buat kita."
Tangan tak henti-hentinya mengusap bagian pipi yang terus saja basah.
Dia menatap sedih ke arah telapak tangan.
Langkah sudah berlalu pergi meninggalkannya. Tergesa-gesa sambil berlarian kecil. Jangan sampai langkah didahului olehnya. Melambaikan tangan yang segera menaiki taxi, yang kebetulan sedang lewat.
"Jalan, Pak."
"Baik, Nona."
"Tunggu Mila ... tunggu."
Brok ... brok. "Tunggu, Mila. Aku mohon buka."
"Berhenti ... berhenti! Tolong berhenti," Gedoran kak Ryan di kaca taxi, yang berusaha menghentikan kendaraan.
"Gimana ini, Nona?" Keraguan sopir dengan memelankan laju kendaraan.
"Jalan saja, Pak. Tidak usah pedulikan dia."
"Baiklah kalau begitu." Langsung tancap gas meninggalkan sosok yang kini tak ku hargai lagi.
Tak ku hiraukan lagi atas permohonannya, sebab bagiku sudah tiada guna lagi, karena hati sudah begitu sakit.
Tangisanku sudah pecah. Tangan ku tangkupkan di wajah. Membungkukkan badan ke paha. Rasanya sudah tidak kuat lagi menopang tubuh sendiri.
Sungguh, rasanya tak pantas menangisi kisah cinta yang akhirnya berada diujung tanduk jua, akibat tak bisa membina rumah tangga dengan baik.
Kini ku usap airmata yang sembari tadi mengalir terus, sebab rasanya mata sudah mulai membengkak, perih, dan sedikit nyeri akibat terlalu lama menangis didalam taxi.
"Terima kasih, Pak." Membayar ongkos.
"Iya, Nona. Sama-sama."
Hanya sekedar berjalan masuk rumah orangtua saja, tubuh seperti tak ada kekuatan lagi dan terasa lemah sekali.
Agak takut pulang ke rumah orangtua. Pasti mereka marah besar karena Kak Ryan adalah pilihanku sendiri. Kemarin merengek minta dinikahkan, dan sekarang merengek minta bantuan akibat kegagalan membina rumah tangga.
enaknya kalau ketahuan bukan hnya dihajar tp bakalan kena karma