Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
Setelah Rio pamit pergi, Renatta duduk di bangku ruang tunggu sambil memainkan ponselnya. Zavian berdiri di samping, tangannya bersedekap sambil memandang keluar jendela.
“Kamu ada acara hari ini?”
Renatta menoleh, “Nggak ada sih, kenapa pak?”
“Kalau kamu nggak ada acara, kamu pulang bareng saya aja. Tapi sebelumnya saya sekalian mau jenguk kakek dulu. Kalau kamu nggak keberatan, tunggu di sini aja.”
Renatta menggeleng, “Enggak usah, aku ikut aja pak. Daripada nunggu sendirian.”
Zavian melirik Renatta.
“Kamu yakin mau ikut? Kakek saya itu suka tiba-tiba nyuruh orang makan atau cerita masa mudanya tanpa diminta. Dia akan banyak bicara, terlebih lagi kamu seorang perempuan”
Renatta tertawa pelan.
“Tenang, aku udah kebal sama yang begituan.”
Zavian tersenyum tipis dan mengangguk.
Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah sakit. Langkah Zavian tenang, sementara Renatta sesekali melirik ke kanan dan kiri, memperhatikan suasana.
Renatta melirik ke arah Zavian, “Kakek Pak Zavian sakit apa, kalau boleh tau?”
Zavian sambil membuka pintu kecil menuju area perawatan.
“Jantung. Beliau udah bolak-balik rumah sakit dari dua tahun lalu. Tapi masih keras kepala. Nggak mau istirahat, masih suka maksa jalan ke taman.”
“Oh... maaf ya, Pak…
"Iya, nggak apa-apa"
"Tapi sepertinya kakek pak zavian kuat banget”
Zavian menoleh sebentar, tersenyum tipis, “Iya, kakek yang ngajarin saya banyak hal. Dari kecil saya tinggal sama beliau. Orang tua saya kerja jauh, jadi yang paling banyak bentuk saya ya... dia.”
Renatta menunduk sedikit, merasa tersentuh.
“Pak Zavian... baik juga, ya. Selama ini saya kira... ya, Bapak tuh kaku banget. Ternyata ada sisi hangatnya juga.”
Zavian melirik Renatta sekilas dengan senyum geli.
“Kalau dosen kelihatan terlalu baik, nanti mahasiswa jadi manja semua.”
Renatta tertawa pelan.
“Nggak juga sih... kalau baiknya tulus, bisa bikin mahasiswa hormat. Bukan cuma takut.”
Zavian diam beberapa detik, lalu mengangguk pelan.
“Makasih... saya catat itu.”
"Pak Zavian ternyata... gak se-menyeramkan yang aku pikir.”
Zavian melirik sekilas sambil tersenyum.
“Pasti kamu sempat gosipin saya juga, ya?”
Renatta cepat-cepat mengelak, panik.
“Enggak! Eh… iya... dikit.”
Mereka pun sampai di depan kamar rawat. Zavian mengetuk pelan, lalu membuka pintu dengan senyum lebar.
“Assalamualaikum, Kek..."
Di dalam, seorang pria tua tengah berbaring santai dengan selimut menutupi perut. Wajahnya terlihat tenang, namun matanya yang tertutup langsung terbuka saat mendengar suara pintu.
"Wa'alaikumussalam"
Begitu melihat Zavian masuk, dan kemudian Renatta menyusul dari belakangnya.
Kakek teriak pelan.
“Eh?! Kamu?!”
Renatta terkejut.
“Kakek?!”
Seketika kakek bangkit dari posisi berbaring dan duduk tegak, matanya berbinar senang seperti anak kecil melihat hadiah ulang tahun.
Zavian bingung.
“Hah? Kalian… kenal?”
Renatta menoleh sambil senyum misterius.
“Ehm… bisa dibilang gitu.”
Kakek dengan semangat menyuruh Renatta untuk duduk di kursi samping ranjang.
“Bagaimana kabar kamu, Nak?”
Renatta mendekat sambil tersenyum.
“Kabar aku baik, Kek. Kakek sendiri gimana?”
Kakek berpura-pura lemas.
“Ah, aku lemah… karena sudah lama nggak makan bakpau yang kamu traktir waktu itu…”
Renatta tertawa.
“Haha! Kakek masih ingat aja. Ya udah, nanti kapan-kapan aku beliin lagi, ya.”
Zavian semakin bingung, mengernyitkan dahi.
“Kalian kapan pernah ketemu sih…”
Renatta hanya nyengir, lalu pelan-pelan mendekat ke kakek dan berbisik di telinganya sambil melirik ke arah Zavian.
“Kek… ini cucu pelit yang kakek maksud waktu itu, ya?”
Kakek melirik Zavian, lalu mengangguk dramatis.
“Iya! Dia memang pelit! Giliran makan enak selalu bilang ‘nanti aja’, padahal dompetnya tebel!”
Renatta menahan tawa. Mereka lalu asik mengobrol, membahas makanan favorit, tontonan jadul, bahkan sempat tertawa bareng saat kakek menirukan gaya Zavian saat marah-marah.
Zavian yang duduk di sofa hanya menghela napas panjang sambil memijit pelipis.
“Aku masih di ruangan ini lho…”
Tapi tak satu pun dari mereka menggubris. Kakek dan Renatta sibuk tertawa dan berkomplot membongkar “aib” masa kecil Zavian. Seisi kamar jadi hangat, penuh canda, dan Zavian meskipun pura-pura sebal tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.
Renatta dan sang kakek begitu asik mengobrol hingga tawa mereka memenuhi ruangan. Mereka seperti dua sahabat lama yang akhirnya dipertemukan kembali. Sementara itu, Zavian masih berdiri di dekat pintu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Zavian heran.
“Serius… kalian kenal dari mana sih?”
Namun pertanyaan itu mengambang, tidak mendapat jawaban apa pun. Renatta dan kakek justru makin asyik bercanda, sesekali saling mengolok dengan ekspresi yang menggemaskan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan. Seorang pria paruh baya berseragam dokter masuk.
“Pak Zavian, bisa sebentar ke ruangan saya?”
“Oh, iya, dok. Saya titip kakek ya…”
Renatta tersenyum hangat
“Iya, tenang aja, Pak.”
Zavian melirik keduanya sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Begitu pintu menutup, suasana jadi lebih tenang.
Kakek menoleh ke Renatta, wajahnya masih menyimpan tawa yang tadi sempat merekah, tapi kini berubah sedikit serius.
“Boleh tanya sesuatu, Nak?”
Renatta mengangguk.
“Tentu, Kek.”
“Apa hubungan kamu sama Zavian?”
Renatta tersenyum lembut.
“Pak Zavian itu dosen aku di kampus, Kek.”
Senyum kakek perlahan luntur. Ada sedikit raut kecewa di wajah tuanya.
Kakek menunduk pelan.
“Ah… jadi kamu mahasiswi nya Zavian ya"”
“Iya kek, memang kenapa?”
Kakek menarik napas pelan.
“Awalnya… aku pikir kamu pacarnya Zavian. Aku sempat berharap. Aku ingin sekali lihat cucuku itu menikah, punya keluarga sendiri. Tapi sepertinya, pernikahan itu nggak pernah masuk dalam rencana hidupnya.”
Wajah Renatta berubah sedikit sendu. Ia bisa merasakan kesedihan di balik suara kakek. Ia tidak menyangka, sosok setegas dan sepintar Zavian menyimpan sisi hidup yang begitu tertutup bahkan pada keluarganya sendiri.
“Kenapa kakek bilang begitu?”
Kakek tersenyum pahit.
“Karena dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, dan karena masa lalunya. Dia melewati begitu banyak masa yang berat"
Renatta terdiam. Pandangannya kini tertuju pada pintu yang baru saja ditutup Zavian. Untuk pertama kalinya… ia melihat sisi lain dari dosen itu.
Sisi yang ternyata… cukup sepi.