Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Memaknai Hidup
Jagat tersenyum, berusaha terlihat meyakinkan di depan dokter yang memeriksa Jenna. Dia memfokuskan perhatian pada monitor, seraya mendengarkan penjelasan seputar kondisi kandungan wanita muda itu.
“Pastikan istri Anda cukup istirahat, serta mengonsumsi makanan bernutrisi. Perhatikan juga takaran gizi yang masuk,” saran dokter, setelah selesai memeriksa Jenna.
“Iya, Dok.” Jagat tersenyum kalem penuh wibawa, kemudian melirik Jenna.
“Silakan tebus resep ini. Jangan lupa minum vitamin secara teratur, untuk membantu menambah nutrisi”
“Terima kasih, Dok.” Jagat berdiri, lalu menyalami dokter itu.
Lain halnya dengan Jenna. Dia hanya mengangguk sopan, diiringi senyum hangat sebelum berlalu.
“Aku tidak percaya ini,” gumam Jenna, sambil menunggu resep yang tengah disiapkan petugas apotek.
“Kenapa?” Jagat menoleh, menatap Jenna. Tak dapat dipungkiri, ada kekaguman yang terpancar atas kecantikan wanita muda itu.
“Anda menolak membeli sapu tanganku, tetapi memberikan banyak hal yang …. Dengan apa harus kuganti semua itu?” Jenna membalas tatapan Jagat. "Anda tahu aku tidak punya apa-apa."
Jagat tidak segera menjawab. Dia justru larut dalam tatapan Jenna yang begitu teduh. Sudah sekian lama, dirinya tidak berdekatan dengan wanita.
"Aku bisa bekerja di rumah Anda sebagai pembantu," ujar Jenna lagi, berhubung Jagat tak segera menanggapi ucapannya.
"Aku sudah punya pembantu," balas Jagat, tanpa mengalihkan perhatian.
"Lalu?" Perlahan\, tatapan Jenna berubah aneh. Penuh curiga berbalut rasa takut. "Aku tidak ingin berurusan dengan orang kaya seperti Anda\, Pak. Aku hanya orang biasa yang _____"
"Kamu pikir, apa yang aku inginkan?"
Pertanyaan Jagat terdengar cukup menakutkan, membuat Jenna beringsut menjauh dari pria itu. Jenna mungkin takut akan kejadian buruk, yang membuatnya jadi seperti sekarang.
"Aku tidak sejahat itu. Tak ada niat buruk sedikit pun terhadapmu," ucap Jagat, seakan memahami makna bahasa tubuh yang Jenna tunjukkan.
"Lalu, apa yang Anda inginkan, dengan melakukan semua ini untukku? Anda terlalu berlebihan, terhadap seseorang yang belum dikenal sama sekali."
"Aku pernah melakukan hal yang sama terhadap wanita lain. Menjaga serta memberikan perhatian penuh hingga dia melahirkan. Aku membantu mengasuh anaknya. Namun, semua itu tidak berarti apa-apa." Jagat terdiam sejenak, sebelum beranjak dari duduk. Dia menghampiri petugas apotek yang memanggil nama Jenna. Jagat menyimak instruksi tentang obat yang harus dikonsumsi wanita muda itu.
Selagi Jagat tengah menebus obat, Jenna duduk sambil memperhatikan. Ada sejuta tanda tanya tentang pria tampan berkemeja putih tersebut. Hingga detik ini, Jenna masih belum memahami apa yang Jagat inginkan sebenarnya, dengan memberikan bantuan begitu banyak.
Jenna memicingkan mata, mencoba mencerna apa yang Jagat katakan tadi. Dia jadi penasaran dengan masa lalu sang pria kaya, yang hingga saat ini belum diketahui namanya. Jenna mengernyitkan kening. Sungguh konyol. Bagaimana bisa, dia berbicara panjang lebar dengan pria itu?
“Ini obatmu,” ucap Jagat, seraya memberikan bungkusan plastik putih kepada Jenna yang langsung berdiri.
“Terima kasih\,” balas Jenna. “Apa Anda akan mengantarku ke tempat ____”
“Tidak. Kita akan pulang ke rumahku,” jawab Jagat segera, sebelum Jenna sempat melanjutkan kalimatnya. Dia mengarahkan tangan ke depan, sebagai tanda bahwa mereka akan segera pergi.
“Maksud Anda, aku akan kembali ke rumah ….” Lagi-lagi, Jenna tidak melanjutkan kalimatnya karena Jagat lebih dulu menanggapi dengan anggukan tegas.
“Ta-tapi ….” Jenna mengikuti langkah Jagat dengan raut aneh. Dia hendak menanyakan nama, tetapi merasa tak enak karena bisa saja didengar orang lain. Setelah tiba di dekat mobil Jagat yang terparkir rapi, barulah Jenna memberanikan diri bertanya. “Anda belum menyebutkan nama sejak kemarin malam. Bolehkah aku mengetahuinya?”
Jagat yang hendak membukakan pintu, menghentikan geraknya, lalu menoleh. “Namaku Jagat. Jagat Hartadi.”
Jenna terpaku beberapa saat, sebelum masuk ke mobil. “Jagat Hartadi,” gumamnya, lalu duduk sambil memasang sabuk pengaman. Dia segera menoleh, saat Jagat masuk dan duduk di belakang kemudi. “Nama Anda seperti tidak asing lagi. Apa Anda seorang aktor terkenal atau semacamnya, Pak?”
Jagat yang hendak menyalakan mesin mobil, langsung menoleh. Dia tersenyum kecil menanggapi pertanyaan lucu dari Jenna. “Bukan,” jawabnya, diiringi gelengan pelan. “Aku tidak berbakat dalam akting.”
“Apa Anda model terkenal atau ….” Jenna menatap lekat Jagat sehingga membuat pria itu jadi risi. “Aku merasa pernah mendengar nama Anda disebut. Tapi, di mana?” Jenna mulai mengingat-ingat.
Sementara itu, Jagat memilih tidak menanggapi. Dia segera melajukan kendaraan, meninggalkan halaman parkir klinik.
“Apa kamu ingin makan sesuatu?” tawar Jagat, ketika dalam perjalanan.
“Tidak. Terima kasih,” tolak Jenna pelan.
“Kamu tidak merasakan mual atau hal lain selayaknya wanita yang tengah hamil muda?” tanya Jagat, seraya menoleh sekilas.
“Tidak. Rasanya biasa saja. Aku hanya mudah lelah dan mengantuk,” jawab Jenna. “Memangnya kenapa?” Dia menatap Jagat penasaran.
“Tidak apa-apa. Bukankah wanita biasanya mengalami ngidam di awal kehamilan mereka? Mual, muntah, kesulitan makan dan sederet hal aneh lain yang memerlukan perhatian lebih,” jelas Jagat, dengan tatapan lurus ke depan. Kembali terbayang dalam ingatannya, saat merawat seseorang yang sedang hamil muda. Jagat tersenyum simpul. Kenangan sekitar delapan tahun lalu, yang masih melekat di benak pengusaha 41 tahun tersebut.
“Entah apa yang akan terjadi, jika mengalami awal kehamilan seperti itu. Aku tidak akan bisa keluar rumah untuk mencari uang,” ujar Jenna. “Tuhan benar-benar Maha Adil. Dia mengetahui segala yang terbaik untuk umat-Nya.”
“Ya. Kamu benar.” Jagat mengangguk setuju. “Terkadang, kita menggerutu dan menyesali segala yang terjadi karena tidak sesuai dengan harapan. Kita seringkali melupakan berkah yang terkandung, di balik semua kegagalan dari apa yang diinginkan.”
“Apakah itu artinya aku harus menerima semua yang terjadi? Seburuk apa pun?” Jenna menatap lembut Jagat, yang tengah fokus mengemudi.
“Betul sekali.” Jagat menoleh sekilas, lalu tersenyum simpul.
Jenna menggumam pelan, seraya mengarahkan pandangan ke depan. Wanita muda itu terdiam sejenak, sebelum kembali bicara. “Aku pernah mencoba bunuh diri. Namun, ada seorang wanita yang menahanku melakukan tindakan bodoh tersebut. Beliau menegurku dengan tegas, seperti ibu kandung terhadap putrinya.”
“Apa yang kamu pikirkan setelah itu?”
“Aku merasa bahwa ibu pasti akan melakukan hal yang sama, meskipun beliau menyuruhku pergi jauh. Ibu pasti memiliki alasan tersendiri, di balik sikapnya yang terkesan tidak peduli.”
Jagat menggumam pelan. “Kamu masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang. Ada banyak hal yang harus kamu pelajari, agar bisa memahami dan memaknai hidup ini dengan baik.”
Jagat memarkirkan mobilnya, berhubung mereka telah tiba di rumah. Dia melepas sabuk pengaman, lalu setengah menghadapkan tubuh kepada Jenna. “Aku akan menikahi dan merawatmu hingga melahirkan.”
“Apa? Menikah?”