Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LPDA 5
Beberapa saat kemudian.
Ratusan sosok berbaju hitam dan berikat kepala hitam bergerak di lebatnya hutan di luar dusun Karangasri.
Sebelum mereka memasuki dusun kecil tersebut, mereka berhenti untuk mengawasi situasi.
"Suryo, coba kau lihat situasi di sana dulu. segera kembali setelah mendapat informasi!" Perintah pemimpin dari kelompok yang ternyata gerombolan perampok."Baik, Ketua," balas seorang lelaki bertubuh sedang yang memiliki cambang lebat menutupi dagunya.
Suryo mengendap-endap memasuki dusun Karangasri yang terlihat sepi meski malam belum terlalu larut. Setelah berada di dalam, Suryo melihat suasana dusun tersebut begitu lengang. Hanya cahaya obor yang sedikit memberi penerangan terpasang di setiap depan rumah.
Mata Suryo menatap sesosok tubuh pemuda yang berjalan santai dalam keremangan malam, lalu berbelok arah
menuju reruntuhan kuil kuno.
Setelah melihat suasana yang mendukung, Suryo kemudian kembali menuju kelompoknya yang masih menunggu di bibir hutan dalam jarak 200 meter dari kampung tersebut.
"Ketua, kita bisa bergerak sekarang. Kurang lebih ada enam puluh rumah di dusun itu," lapor Suryo.
Orang yang dipanggil Ketua oleh Suryo, menganggukkan kepalanya.
"Semuanya bergerak! Bawa harta benda sebanyak-banyaknya!"
Ratusan orang berpakaian hitam tersebut langsung bergerak menyebar dengan tenang ke setiap rumah penduduk dusun Karangasri. Dengan kode panah api yang diberikan oleh salah satu anggota, mereka menggebrak setiap pintu hampir secara bersamaan.
"Perampokan ... perampokan!"
Jerit dan tangis tak ayal langsung terdengar bersahut-sahutan.
Ketakutan yang teramat pedih berhasil dihadirkan oleh gerombolan perampok tersebut.
Di saat bersamaan, Ranu yang masih berjalan pelan menuju reruntuhan kuil kuno untuk mengembalikan kitab jurus Dewa Api, langsung berhenti dan melihat ke belakang begitu telinganya mendengar suara jerit tangis secara bersamaan.
Dilihatnya penduduk kampung berlarian dan berteriak menyelamatkan diri. Tak jarang jeritan ketakutan terdengar bersambut dengan tawa yang terbahak-bahak.
Pemuda 15 tahun itu kemudian teringat dengan ayah dan ibunya yang berada di rumah. Ranu langsung berlari melewati jalur kompas dengan sekencang mungkin agar segera sampai di rumah. Kekuatiran akan keselamatan kedua orang tuanya benar-benar telah menyelimuti pikirannya
Setelah berada di depan rumah, dia melihat pintu telah terbuka lebar. Ranu segera masuk dan mencari kedua orang tuanya di kamar.
Matanya terbelalak setelah melihat ayahnya terikat dalam keadaan berlutut, dan ada seorang lelaki yang menempelkan pedang di leher ayahnya. Di atas ranjang, dua orang sedang memegangi ibunya yang sudah dalam keadaan setengah telanjang bagian bawahnya. Satu orang lainnya terlihat sudah tidak memakai celana sedang memperkosa ibunya dengan buas.
Rintihan kesakitan terdengar dari bibir Murti. Dia tidak bisa melawan keberingasan empat orang yang bergantian memperkosanya. Sedangkan Singgih sudah tidak berdaya dan hanya bisa menundukkan kepalanya.
Empat orang anggota gerombolan perampok berikat kepala hitam tersebut tidak menyadari kehadiran Ranu.
Mereka terus tertawa puas setelah bergantian menggarap Murti.
Masih dalam keadaan sadar,Murti kemudian tahu kalau anaknya sudah berdiri di bawah pintu kamar. "Ranu, pergilah anakku! Selamatkan dirimu!" ucap Murti Lirih.
Keempat orang tersebut lalu menolehkan kepalanya dan melihat seorang pemuda belia yang melihat kelakuan mereka dengan tatapan tajam.
"Ternyata ada bocah yang sudah bosan hidup. Ttangkap dan bunuh dia!"
Singgih yang melihat salah satu dari gerombolan tersebut hendak menangkap anaknya, langsung berontak. Namun sayang, bilah pedang yang menempel di lehernya tiba-tiba bergerak menggorok lehernya.
"Aaaakh!"
Singgih jatuh tertelungkup dengan mata melotot lalu meninggal. Lehernya mengucurkan darah segar yang membasahi lantai kamar.
Murti berteriak histeris melihat kematian suaminya. Dengan sisa-sisa tenaganya, wanita tiga puluhan tahun itu menendang kemaluan orang yang berada di atas tubuhnya hingga berteriak kesakitan.
"Bedebah kau wanita jalang!"
Lelaki tersebut langsung mengayunkan pedang yang dipegangnya ke arah leher Murti.
"Larilah Ranu ... Selamatkan dirimu!" teriak Murti sebelum nyawanya lepas dari tubuhnya.
Ranu yang tersulut emosinya lalu menendang orang yang sudah membunuh ibunya hingga terjerembab menindih tubuh Murti.
Seorang anggota perampok lalu menebaskan pedangnya ke punggung Ranubaya.
"Aaakh!"
Ranubaya menjerit kesakitan sebelum berlari keluar dari kamar tersebut dengan sekuat tenaganya.
"Goblok ...! Cepat kejar bedebah cilik itu!"
Dua orang langsung mengejar hingga keluar rumah. Di sisi lain Ranu terus berlari sambil menahan perih akibat luka sabetan pedang di punggungnya hingga memasuki hutan. Dia tidak memperdulikan keadaan hutan yang gelap karena sudah terbiasa memasukinya.
"Teruslah berlari bocah! kami akan tetap menangkap dan mencincangmu!" teriak salah satu lelaki yang mengejar Ranu.
Tanpa memperdulikan ancaman dari dua orang yang mengejarnya, Ranu terus berlari masuk hingga jauh ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri.
Darah yang mengalir keluar dari luka di punggungnya membuat tubuhnya mulai lemas. Namun dia tidak peduli dan terus berlari hingga tanpa sadar di depannya ada sebuah jurang.
Matanya yang sudah kabur karena kehabisan darah, membuat pandangannya sudah tidak sejelas biasanya. Dia yang sebenarnya sudah terbiasa melihat dalam keadaan gelap, tidak bisa membedakan mana jurang dan mana tanah yang rata.
Akhh......!