Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
“Pangeran Riana menghampiri Yuki dengan langkah cepat, mengusik ketenangan yang sempat tercipta di padang bunga. Di belakangnya, para prajurit mengikuti dengan senjata di tangan, siap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin muncul.
Lekky masih bersandar di pohon, tidak menunjukkan tanda-tanda khawatir atau gentar. Dia hanya menyaksikan kejadian itu dengan senyum samar, seolah sudah menduga semua ini akan terjadi.
Riana tidak berkata apa-apa saat tangannya langsung meraih pergelangan Yuki dan menariknya dengan tegas.
Yuki tersentak, matanya melebar saat kesadarannya kembali. Dia baru menyadari keberadaan Pangeran Riana—dan juga para prajurit di belakangnya.
“Lekky, meskipun Yuki adalah adikmu. Tapi sekarang Dia adalah istriku. Kau tidak bisa datang dan membawanya pergi begitu saja tanpa izinku” kata Pangeran Riana dingin
Lekky menghembuskan asap rokoknya perlahan sebelum menatap Pangeran Riana dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Mata coklat peraknya berkilat penuh ketertarikan, seolah baru saja mendengar sesuatu yang menggelitik hatinya.
“Adikku?” Lekky mengulang kata itu dengan nada geli. “Ya… kalau itu yang membuatmu merasa lebih baik, Pangeran.”
Pangeran Riana mempererat genggamannya di pergelangan tangan Yuki, seolah ingin menegaskan kepemilikannya. Yuki, yang masih terkejut dengan situasi ini, hanya bisa diam, merasakan ketegangan yang semakin pekat di antara kedua pria tersebut.
“Kau tidak bisa datang dan membawanya pergi begitu saja tanpa izinku,” ulang Pangeran Riana dengan suara lebih dingin, matanya menyiratkan peringatan.
Lekky memiringkan kepalanya, menatap Yuki yang masih berdiri di samping Pangeran Riana. Tangannya terulur, dengan santai menyelipkan helaian rambut Yuki ke belakang telinganya.
“Aku tidak perlu izinkan darimu untuk bertemu dengannya,” ucap Lekky santai. “Lagipula, lihat sendiri, Pangeran… Yuki yang datang kepadaku lebih dulu.”
Pangeran Riana mengatupkan rahangnya dengan keras. Lekky tahu cara memprovokasinya, dan itu membuat darahnya mendidih. Tapi yang paling mengganggu bukanlah kata-kata Lekky—melainkan kenyataan bahwa Yuki memang berlari mengejar pria itu tanpa ragu.
Pangeran Riana menarik tangan Yuki dengan paksa, memaksanya mengikuti langkah panjangnya yang cepat dan penuh ketegangan. Yuki tersentak, tubuhnya limbung sesaat sebelum akhirnya menemukan keseimbangan. Dengan kebingungan, dia mengikuti pria itu tanpa perlawanan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan bayangan Lekky dan padang bunga yang baru saja ia nikmati.
Keheningan di antara mereka terasa menyesakkan. Pangeran Riana tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi genggamannya yang erat di pergelangan tangan Yuki cukup untuk memberi tahu betapa marahnya dia. Otot rahangnya mengeras, tatapannya lurus ke depan, seakan menahan badai emosi yang siap meledak kapan saja.
Di belakang mereka, para prajurit berjalan dalam formasi teratur, tangan mereka tetap siaga di gagang senjata. Mereka tidak berbicara, tetapi ketegangan yang melingkupi mereka begitu nyata—seolah udara pun terasa lebih berat.
Yuki melirik pria di sampingnya, mencoba membaca ekspresinya, tetapi wajah itu terlalu dingin dan tak terbaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan apa yang terjadi—meskipun dia sendiri pun belum memahami semuanya. Dia tidak mengerti mengapa tubuhnya begitu akrab dengan Lekky, mengapa sentuhan pria itu terasa nyaman, meskipun pikirannya sendiri tidak mampu mengingat siapa dia sebenarnya.
Langkah Pangeran Riana tiba-tiba terhenti. Yuki yang tidak siap hampir menabraknya. Jantungnya berdetak lebih cepat saat pria itu menoleh sedikit, menatapnya dengan mata gelap yang menyimpan banyak emosi terpendam.
“Jangan lari dariku lagi, Yuki.” Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tetapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Aku tidak akan mentoleransi itu.”
Yuki menahan napas, matanya membesar. Ada sesuatu dalam cara Pangeran Riana mengatakannya yang membuat bulu kuduknya meremang. Ini bukan hanya peringatan—ini adalah ancaman yang halus namun jelas.
Dia menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Pangeran Riana tidak menunggu tanggapannya. Dia kembali melangkah, menyeret Yuki bersamanya.
Yuki tahu, ini belum berakhir. Amarah Pangeran Riana masih membara di bawah permukaan, menunggu saat yang tepat untuk meledak.
“Pangeran, siapa pria itu? Tadi kau menyebutkan aku adiknya?”
Suara Yuki terdengar ragu, tetapi ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan. Pangeran Riana menatapnya dalam diam, rahangnya mengeras seolah menimbang apakah dia harus menjawab atau tidak.
Yuki menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi perasaan aneh yang tidak bisa dia jelaskan. Ada sesuatu tentang Lekky yang membuatnya merasa… dekat. Tapi mengapa? Kenapa Pangeran Riana mengatakan bahwa dia adalah adik dari Lekky?
Ketika Pangeran Riana akhirnya berbicara, suaranya rendah dan tajam. “Aku tidak ingin membahasnya di sini.”
Dia mencoba menarik Yuki untuk berjalan kembali, tetapi kali ini Yuki menolak. Dia tetap berdiri di tempatnya, menatap Pangeran Riana dengan pandangan penuh tuntutan.
“Aku berhak tahu,” desak Yuki.
Pangeran Riana mendesah, menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke hutan di sekitar mereka. Ada kilatan ketegangan di matanya.
“Aku akan menjelaskannya nanti, Yuki. Tapi bukan sekarang.”
Nada suaranya tidak memberi ruang untuk perdebatan. Yuki bisa merasakan bahwa tidak peduli seberapa keras dia mendesak, Pangeran Riana tidak akan memberinya jawaban saat ini.
...****************...
Pangeran Riana menarik Yuki masuk ke kediaman Bangsawan Tinggi Trigar tanpa sepatah kata pun. Cengkramannya pada pergelangan tangan Yuki begitu erat, seakan dia tidak akan membiarkan gadis itu bergerak sedikit pun dari sisinya. Yuki bisa merasakan betapa kerasnya genggaman itu—bukan sekadar untuk membimbingnya, melainkan sebagai peringatan bahwa dia tidak akan bisa pergi ke mana pun tanpa izin.
Bangsawan Tinggi Trigar menyambut mereka dengan tatapan penuh pemahaman. Dia tidak banyak bertanya, karena dia sudah mengerti situasinya hanya dari cara Pangeran Riana membawa Yuki kembali. Dengan suara tenang namun penuh makna, dia berkata,
“Istriku sudah menyiapkan kamar untuk kalian. Dua kamar dengan pintu penghubung di ruangan kalian.”
Dia tahu betul bahwa itu hanya formalitas. Tidak ada yang bisa memisahkan Pangeran Riana dari Putri Yuki, bukan tembok kamar, bukan aturan, dan tentu saja bukan kehendak Putri Yuki sendiri. Desas-desus tentang bagaimana Pangeran Riana memperlakukan istrinya telah lama beredar, bahkan di dalam keluarganya sendiri.
Semua orang tahu bahwa di mata Pangeran Riana, Yuki adalah satu-satunya perempuan yang layak mendapatkan kelembutan dan perhatian darinya. Namun, mereka juga tahu bahwa kelembutan itu hanya berlaku selama Yuki patuh. Jika ada sedikit saja tanda bahwa Yuki ingin melarikan diri darinya—bahkan hanya dalam sorot matanya—maka semua kelembutan itu akan lenyap dalam sekejap.
Yang tersisa hanyalah pria yang kejam dan tidak berperasaan.
“Terima kasih,” kata Pangeran Riana singkat, suaranya datar tanpa emosi.
Tanpa mengucapkan apa pun lagi, dia kembali melangkah, mengikuti pelayan yang menuntun mereka ke kamar. Yuki, yang masih berada dalam genggamannya, tidak punya pilihan selain mengikuti.
Langkah Pangeran Riana panjang dan cepat, kontras dengan langkah kecil Yuki yang tertatih-tatih mencoba mengimbanginya. Napasnya sedikit tersengal saat dia harus berlari kecil di samping pria itu, tetapi Pangeran Riana sama sekali tidak melambat.
Tidak peduli betapa sulitnya bagi Yuki untuk mengikutinya, Pangeran Riana tetap berjalan dengan irama yang sama—seolah ingin menegaskan bahwa Yuki harus selalu menyesuaikan diri dengannya, bukan sebaliknya.
Begitu mereka tiba di kamar, Pangeran Riana tak membuang waktu.
“Tinggalkan kami sendiri.”
Suaranya dingin dan tajam, membuat semua pelayan buru-buru menunduk dan keluar tanpa berani membantah.
Begitu pintu tertutup, tanpa peringatan, Pangeran Riana mengangkat Yuki dalam gendongannya. Dengan mudah, dia melempar tubuh gadis itu ke atas tempat tidur. Tubuh Yuki memantul beberapa kali di atas kasur empuk, napasnya tercekat oleh kejutan mendadak itu.
Namun, sebelum dia bisa berkata apa pun, Pangeran Riana sudah mencengkeram pergelangan kakinya. Dalam satu tarikan kuat, dia menarik Yuki hingga tubuhnya meluncur mendekatinya. Kakinya tersampir di atas bahunya, membuat Yuki terperangkap dalam genggamannya.
“Sekarang kau tidak bisa lari ke mana-mana, bukan?” suara Pangeran Riana dalam, penuh kendali.
Yuki menelan ludah, jantungnya berdebar saat melihat tatapan gelap Pangeran Riana yang mendominasi seluruh keberadaannya.
“Pangeran…” suaranya nyaris seperti bisikan, tubuhnya tegang di bawah kendali pria itu.
Pangeran Riana semakin mendekat, jemarinya menelusuri kulit Yuki dengan penuh klaim, sementara cengkeramannya tetap erat di pergelangan kakinya.
“Yuki…” suaranya dalam dan berbahaya. “Kau tidak Aku izinkan untuk meninggalkanku. Kau tidak Aku izinkan untuk pergi tanpa sepengetahuanku.”
Tatapan tajamnya menusuk, penuh ketegasan yang tak terbantahkan.
“Kau sudah menjadi istriku.” Suara itu seperti belenggu yang tak terlihat, membelit erat di sekeliling Yuki. “Milikku sepenuhnya. Apa Kau mengerti?”
Yuki menatap Pangeran Riana dengan mata membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Dia kakak…” suaranya lirih, berusaha mencari alasan di tengah ketegangan yang menggantung di antara mereka.
Namun, Pangeran Riana hanya mencengkeram dagu Yuki, memaksanya untuk menatap langsung ke dalam matanya yang gelap dan berbahaya.
“Dia tidak pernah menganggapmu sebagai saudara, Yuki.” Suaranya datar, dingin, penuh kepastian yang tak terbantahkan. “Dia menginginkanmu… seperti Aku menginginkanmu.”
Yuki membeku. Dadanya naik turun, sulit bernapas di bawah intensitas tatapan pria itu.