Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Perawan
Reyhan berdiri di ambang pintu kamar rumah sakit, menatap sosok Mira yang sedang berbincang dengan Hendi. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, campuran antara lega, marah, dan putus asa. Mira ada di sana, hidup. Tapi yang lebih menyakitkan, dia tidak mengingatnya.
Dengan langkah mantap, Reyhan memasuki ruangan. Hendi menoleh dengan ekspresi waspada, sementara Mira menatap pria itu dengan tatapan datar, tanpa sedikit pun kehangatan yang dulu pernah ada, jika pernah ada.
"Aku suamimu," kata Reyhan, suaranya terdengar tegas meskipun hatinya terasa bergetar.
Mira menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa kecil, tawa yang terdengar sinis dan menyakitkan di telinga Reyhan.
"Jangan mentang-mentang kamu tampan, lalu mengaku sebagai suamiku, aku masih perawan, tahu?" kata Mira, nada suaranya penuh sarkasme.
Pernyataan itu membuat ruangan seketika hening.
Dada Reyhan seakan dihantam keras. Jari-jarinya mengepal tanpa sadar. Dia tahu itu benar, selama setahun pernikahan mereka, dia tidak pernah menyentuh Mira, bahkan berbicara dengannya saja hanya sekadarnya.
Hendi tampak mengernyit, tidak menyangka Mira akan mengatakan hal itu secara terang-terangan.
Mira, di sisi lain, hanya menatap Reyhan dengan tatapan dingin. Baginya, pria ini hanyalah orang asing. Tidak ada ikatan emosional, tidak ada kenangan yang terlintas di kepalanya saat melihatnya.
"Apa maksudmu?" suara Reyhan serak.
Mira mengangkat bahu santai. "Ya, kalau kamu benar suamiku, seharusnya aku mengingatnya, kan? Seharusnya aku tahu bagaimana rasanya menjadi istrimu. Tapi nyatanya? Tidak ada satu pun ingatan tentangmu."
Hendi menelan ludah. Ia bisa melihat betapa pucatnya wajah Reyhan, seakan kata-kata Mira adalah belati yang menancap dalam ke hatinya.
"Jangan bercanda, Mira," ucap Reyhan lirih, nyaris seperti bisikan.
"Aku tidak bercanda," balas Mira dingin. "Aku tidak ingat menikah. Aku tidak ingat pernah mencintaimu. Yang aku tahu, aku masih perawan dan aku tidak mungkin menikah dengan pria asing yang bahkan tidak aku kenal."
Reyhan terdiam, matanya mulai memerah.
Bimo yang sejak tadi berdiri di luar ruangan, mendengar semua itu dan menghela napas berat. Ia tahu, ini bukan sekadar amnesia. Ini adalah hukuman yang kejam bagi Reyhan.
Tangan Reyhan terangkat, ingin menggenggam Mira, ingin mengguncangnya agar dia mengingatnya. Tapi Mira hanya menatapnya dengan tatapan jijik, lalu menepis tangannya.
"Jangan sentuh aku," kata Mira tajam.
Reyhan merasa dunianya runtuh.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyesal lebih dari apa pun.
Untuk pertama kalinya, ia ingin waktu berputar kembali.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut kehilangan Mira.
"Rey... Biarin Mira istirahat dulu," Bimo menarik lengan Reyhan dengan kuat, mencoba menyeretnya keluar dari ruangan rumah sakit sebelum situasinya semakin buruk.
Namun, tubuh Reyhan menegang, matanya masih terpaku pada Mira, yang kini menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan dan kebencian.
“Rey, cukup,” bisik Bimo tegas di telinga sahabatnya. “Kondisinya belum stabil. Yang terpenting, Mira masih hidup, kan?”
Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tetapi justru terasa seperti belati yang menusuk lebih dalam ke hati Reyhan.
Mira masih hidup, ya… tapi apakah itu benar-benar berarti? Apa gunanya jika dia masih hidup tetapi tidak mengingatnya? Tidak mengingat pernikahan mereka? Tidak mengingat bagaimana dia pernah mencintainya, meski cinta itu penuh luka dan air mata?
Reyhan mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak di depan Mira. Tatapan Mira tadi, tatapan yang menganggapnya sebagai orang asing, bahkan lebih buruk, sebagai pria yang menjijikkan, membuatnya ingin teriak.
Bimo menariknya sekali lagi, lebih keras. Kali ini, Reyhan akhirnya melangkah mundur, meski dengan berat hati.
“Ayo keluar,” suara Bimo lebih lembut, mencoba menenangkan Reyhan yang terlihat seperti pria yang baru saja kehilangan seluruh dunianya.
Reyhan menoleh sekali lagi ke arah Mira, berharap ada sedikit perubahan di wajah perempuan itu, berharap ada secuil ingatan yang kembali, tapi tidak ada.
Mira hanya menatapnya dingin, seolah dia benar-benar orang asing.
Dengan langkah gontai, Reyhan akhirnya membiarkan Bimo menariknya keluar dari ruangan itu. Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung bersandar ke dinding lorong rumah sakit. Tangannya naik untuk mengusap wajahnya yang penuh kekecewaan dan kelelahan.
“Aku suaminya, Bim…” suaranya serak. “Kenapa dia tidak ingat aku?”
Bimo menatap Reyhan dengan iba. Ia ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan Reyhan, tetapi apa pun yang keluar dari mulutnya pasti tidak akan cukup untuk meredakan luka yang kini menganga lebar di hati sahabatnya.
“Aku tidak tahu, Rey… tapi kita harus beri dia waktu.”
“Waktu?” Reyhan tertawa miris. “Berapa lama? Aku bahkan tidak tahu berapa lama aku harus menunggu sampai dia bisa mengingatku. Bagaimana kalau dia tidak pernah mengingatku?”
Bimo tidak bisa menjawab. Ia tahu itu adalah kemungkinan yang nyata.
Mata Reyhan menatap kosong ke lantai, pikirannya berputar seperti pusaran badai.
Jika waktu tidak bisa mengembalikan Mira kepadanya, maka apa yang bisa?
Dan jika Mira tidak pernah ingat… apakah dia harus membuat perempuan itu jatuh cinta padanya lagi?
Keheningan memenuhi ruangan setelah pintu tertutup, hanya menyisakan Mira dan Hendi di dalamnya. Suara detak jam di dinding seolah menjadi satu-satunya yang berani berbicara di antara mereka.
Hendi duduk di tepi ranjang, menatap Mira dengan sorot mata penuh kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan, tetapi ia tahu, satu pertanyaan ini yang paling penting.
“Mira…” Hendi menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Apa benar kamu lupa Reyhan?”
Mira mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menatap hamparan langit yang mulai meredup di ujung sore. Cahaya keemasan menyapu wajahnya, memberikan siluet yang hampir menenangkan, jika saja bukan karena pertanyaan itu.
Setelah beberapa detik, Mira menoleh dan menatap Hendi langsung. Tatapannya tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
“Apa aku punya alasan untuk bohong, Hen?” suaranya datar, tetapi ada sesuatu di balik nada itu yang sulit dijelaskan.
Hendi menggigit bibirnya, mencoba mencari celah dalam ekspresi Mira.
“Berapa lama kita kenal?” lanjut Mira. “Apa aku pernah sembunyiin sesuatu dari kamu?”
Hendi diam.
Tidak, Mira bukan tipe orang yang suka menyembunyikan sesuatu. Sejak awal persahabatan mereka, Mira selalu terbuka, selalu jujur, bahkan ketika kejujuran itu menyakitkan.
Tetapi kali ini… ada sesuatu yang terasa tidak biasa.
“Mira, ini bukan hal sepele. Kamu benar-benar tidak ingat dia? Sama sekali?” suara Hendi terdengar mendesak, nyaris memohon.
Mira menatapnya dengan tenang, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.
“Sama sekali,” jawab Mira singkat.
Kata-kata itu seperti tameng yang ia kenakan, melindunginya dari pertanyaannya yang tajam.
Hendi menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. Mira tahu dia belum puas, tapi dia memilih menahan diri.
“Kalau memang itu kenyataannya… aku tidak akan memaksa kamu untuk ingat,” kata Hendi akhirnya, menyerah sementara.
Senyum kecil tersungging di bibir Mira, sekadar basa-basi. Tapi dalam hati, ia tahu itu senyum yang kosong, hambar, jauh dari ketulusan.
Hendi selalu bisa membaca dirinya, dan kali ini sepertinya tak berbeda. Mira merasa ada sesuatu yang mulai mencair di dalam diriku, sesuatu yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.
Hendi menatap Mira sekali lagi, lama, seperti mencoba memahami sesuatu yang tak ia katakan. Mira benci betapa tajam tatapannya, seolah bisa menembus pertahanannya.
“Baiklah, Mir. Aku harus kembali bekerja. Kalau kamu perlu apa-apa, jangan ragu untuk telepon aku. Suster juga sudah aku perintahkan untuk menjagamu 24 jam,” katanya lembut, berusaha memberi keyakinan.
Mira memaksakan tawa kecil, mencoba mengalihkan suasana.
“Berlebihan, Hen. Aku baik-baik saja,” jawab Mira ringan.
Tapi benarkah Mira baik-baik saja? Entah kenapa, rasa berat di dadanya seakan bertambah. Ia tidak hanya menyembunyikan sesuatu dari Reyhan, tapi juga dari Hendi... dan lebih buruk lagi, dari dirinya sendiri.
Hendi berjalan keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah mantap. Masih ada banyak pekerjaan yang menunggunya di kantor, dan sejujurnya, ia juga membutuhkan waktu untuk berpikir. Percakapan dengan Mira tadi masih berputar-putar di kepalanya.
Mira benar-benar melupakan Reyhan? Atau… dia sengaja melupakannya?
Hendi mengusap wajahnya, mencoba mengusir kegelisahan itu.
Saat ia baru saja melangkah ke lorong rumah sakit, seseorang tiba-tiba menghadangnya.
Langkah Hendi terhenti. Matanya menajam, mengenali sosok itu dalam sekejap.
Reyhan.
Pria itu berdiri dengan tangan disilangkan di depan dada, tatapannya tajam dan penuh emosi.
"Kita perlu bicara," kata Reyhan, suaranya berat dan dingin.
Hendi menghela napas dalam. Ia sudah menduga ini akan terjadi.
"Aku tidak punya waktu untuk debat, Reyhan," balasnya tenang. "Aku harus pergi."
Reyhan tidak bergerak dari tempatnya. "Kalau begitu, aku akan buat ini singkat."
Hendi menatapnya tajam. "Apa lagi yang kamu mau?"
Reyhan mendekat, menurunkan suaranya. "Mira. Aku ingin dia kembali."
Hendi terkekeh sinis. "Kembali? Setelah semua yang kamu lakukan? Kamu pikir Mira masih akan memilihmu?"
Reyhan menggertakkan giginya. "Dia istriku."
Hendi balas menatapnya dengan tajam. "Dia bahkan tidak ingat kamu."
Reyhan terdiam sejenak, tetapi matanya semakin gelap. "Aku tidak peduli. Aku akan membuatnya mengingatku. Aku tidak akan menyerah."
Hendi mendengus. "Lalu apa yang akan kamu lakukan? Memaksanya? Menghancurkan hidupnya lagi?"
Reyhan mengepalkan tangannya.
"Aku hanya ingin dia kembali…" suaranya lebih lirih kali ini, ada sesuatu yang terdengar seperti putus asa di sana.
Hendi menghela napas panjang. Ia bisa melihat Reyhan benar-benar tersiksa dengan ini semua.
"Kalau kamu benar-benar ingin Mira kembali," kata Hendi akhirnya, "maka berhenti memaksanya. Karena kalau tidak, dia akan semakin menjauh."
Reyhan terdiam, tetapi ekspresinya tetap keras.
Hendi melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
Namun, sebelum ia benar-benar menjauh, ia masih bisa mendengar suara Reyhan berbisik lirih di belakangnya.
"Aku sudah terlalu jauh untuk mundur…"
Bersambung...