"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEDIKIT KEKACAUAN
Sore itu, suasana di rumah masih tegang setelah Lestari meminta uang kuliah. Laksmi duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, masih memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang lagi.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.
Tok! Tok! Tok!
Laksmi mengerutkan kening. Siapa yang datang sore-sore begini? Dengan malas, ia bangkit dan membuka pintu.
Di depan rumah, berdiri seorang pria berseragam oranye dengan logo PLN di dada. Pria itu membawa sebuah papan kecil dan secarik kertas di tangannya.
"Selamat sore, Bu. Saya dari PLN. Mohon maaf, kami datang untuk memutuskan aliran listrik karena tagihan bulan ini belum dibayar," kata petugas itu sopan.
Laksmi terperanjat. "Apa?! Listrik mau diputus?"
"Iya, Bu. Menurut catatan kami, tagihan bulan ini sebesar 450.000 rupiah belum dibayarkan," jawab petugas itu sambil menyodorkan kertas tagihan.
Laksmi merebut kertas itu dan melihat angka yang tertera di sana.
"Empat ratus lima puluh ribu?!"
Matanya membelalak. Kenapa bisa sebanyak ini?
"Kok bisa mahal banget?!" protesnya.
Petugas itu tetap tenang. "Ini jumlah rata-rata pemakaian listrik rumah ini, Bu. Setiap bulan memang sekitar segitu."
Laksmi merasakan kepalanya semakin pusing. Biasanya, masalah seperti ini selalu diurus Anita. Ia tidak pernah tahu berapa besar tagihan listrik atau kapan waktunya membayar.
Sekarang, dengan uang Arman yang sudah ia habiskan untuk bersenang-senang, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba, rasa marahnya muncul.
"ANITA!!" teriaknya dengan suara lantang.
Tidak lama kemudian, Anita muncul dari dapur dengan wajah datar. "Ya, Bu?"
Laksmi menunjuk petugas PLN dengan wajah merah padam. "Kenapa listrik belum dibayar?!" bentaknya.
Anita menatapnya sebentar, lalu berkata dengan tenang, "Uang Mas Arman kan di Ibu semua."
Laksmi terdiam.
Ia ingin memaki, ingin mencari alasan untuk menyalahkan Anita. Tapi, kali ini, tidak ada yang bisa ia katakan.
Ia tahu betul bahwa semua uang Arman ada padanya. Dan sekarang, uang itu sudah habis.
Laksmi merasa kepalanya semakin berat.
Belum sempat ia mencari cara untuk mengusir petugas PLN tanpa membayar tagihan, suara mobil terdengar dari luar.
Arman baru pulang kerja.
Begitu masuk rumah, Arman langsung melihat wajah ibunya yang tegang, petugas PLN yang berdiri dengan sabar, dan Anita yang berdiri di sudut ruangan.
"Ada apa ini?" tanyanya.
Laksmi langsung berlari ke arah Arman, wajahnya penuh keluhan. "Nak, Anita belum bayar listrik! PLN mau memutuskan aliran listrik kita!"
Arman melirik ke arah Anita, lalu kembali menatap ibunya dengan ekspresi datar.
"Tapi, Bu, uang gaji saya kan ada di Ibu semua," katanya tenang.
Laksmi tercekat.
Ia tidak menyangka Arman akan menjawab seperti itu.
Kini, semua mata tertuju padanya. Petugas PLN menunggu pembayaran, Anita tetap diam, dan Arman menatap ibunya dengan penuh pertanyaan.
Lalu, Arman bertanya dengan nada datar.
"Uangnya ke mana, Bu?"
Jantung Laksmi berdegup kencang.
Ia tidak tahu harus berkata apa.
Bagaimana bisa ia mengatakan bahwa uang itu sudah habis dalam sehari untuk belanja barang-barang yang sebenarnya tidak penting?
Arman menghela napas panjang saat menyerahkan uang terakhirnya kepada petugas PLN. Setelah tanda terima diberikan, petugas itu pergi, meninggalkan Arman dengan kepala penuh beban.
Ia menatap dompetnya yang kini kosong. Seharusnya uang itu untuk bensin dan keperluan sehari-hari, tetapi sekarang ia harus rela naik motor besok.
Ia menoleh ke ibunya, Laksmi, yang tampak gugup.
"Bu, uang gaji saya itu ke mana?" tanyanya dengan nada lelah.
Laksmi menghindari tatapannya, menunduk seolah mencari jawaban di lantai.
"Ibu... ibu habiskan buat belanja," akunya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Arman terdiam.
Ia bekerja siang dan malam, mengumpulkan uang, dan sekarang semuanya hilang begitu saja?
"Belanja?" tanyanya dengan suara pelan, tetapi nadanya jelas menahan emosi.
Laksmi mengangguk pelan. "Iya... buat beli baju, sepatu, tas... dan beberapa barang rumah."
Arman mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Sebelumnya, ia tidak pernah dipusingkan dengan urusan rumah tangga. Ia bekerja, menerima gaji, lalu membagi 3 kepada Anita istrinya, kepada ibunya dan buat dirinya sendiri, karena ibunya kemarin yang meminta mengatur keuangan. Karena Anita dianggap boros dan berani membangkang pada ibunya dan Anita berani memasukan Amira ke pesantren, Lakmsi berfikir kalau uang Arman di pegang Anita pasti uangnya akan habis untuk membiayai Amira.
Arman adalah anak baik berbakti pada orang tua, apa yang dikatakan orang tuanya adalah sabda yang harus di ikuti tanpa harus dipertimbangkan benar dan salahnya.
Sekarang, baru kali ini ia benar-benar merasakan beban urusan rumah tangga.
Sebelum ia sempat mencerna semuanya, suara dari dalam rumah memanggilnya.
"Mas!"
Arman menoleh dan melihat Lestari, adiknya, berjalan mendekat dengan ekspresi penuh harapan.
"Bayaran kuliahku udah waktunya. Aku butuh uangnya sekarang," katanya, berdiri di hadapan Arman.
Arman menatap ibunya lagi, berharap masih ada sisa uang.
Namun, Laksmi hanya menggelengkan kepala.
Pikiran Arman berputar semakin kacau.
Jadi, tidak hanya tagihan listrik yang menumpuk, tetapi sekarang juga uang kuliah Lestari belum dibayar?
Ia menekan pelipisnya, lalu menatap Lestari.
"Tunggu tiga hari lagi, ya. Aku usahakan," katanya dengan suara berat.
Lestari tampak kecewa, tetapi ia mengangguk pelan dan kembali ke kamarnya tanpa banyak bicara.
Arman mendesah keras. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia benar-benar dibuat pusing oleh urusan rumah tangga seperti ini.
Dulu, Anita yang mengurus semuanya. Ia memastikan tagihan selalu dibayar tepat waktu, memastikan kebutuhan rumah tangga tidak terlewat. Sekarang, diawal bulan sudah habis, dan kebutuhan kebutuhan pokok belum terbayarkan.
Tapi alih-alih menyadari kesalahannya, ibunya justru menyalahkan Anita.
"Ini semua gara-gara Anita! Coba kalau dia kerja, kita nggak bakal repot begini!" seru Laksmi tajam.
Arman menoleh dengan ekspresi tak percaya.
"Apa?"
"Iya! Kalau dia kerja, pasti bisa bantu keuangan keluarga. Tapi dia malah enak-enakan di rumah!"
"Bu," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan emosi, "Anita sudah mengurus rumah tangga kita selama ini. Semua berjalan lancar karena dia. Ini bukan salah dia!"
"Tapi lihat sekarang, Man! Kamu jadi susah! Uang nggak cukup, tagihan numpuk, Lestari nggak bisa bayar kuliah! Ini semua karena istrimu nggak kerja!"
Arman mengepalkan tangannya.
Ibunya tidak mau mengakui bahwa semua ini terjadi karena dirinya sendiri.
Karena ibunya sendiri yang meminta semua gaji Arman.
Karena ibunya sendiri yang menghabiskan uang itu untuk kesenangannya.
Tapi sekarang, justru Anita yang disalahkan?
"Ceraikan saja dia!" kata Laksmi tiba-tiba.
Arman membeku.
"Apa?"
"Ceraikan Anita! Dia nggak berguna, Man! Kamu lebih baik tanpa dia!"
lagi dan lagi laksmi menyuruh arman menceraikan Anita hanya karena Anita memilih menjadi ibu rumah tangga dianggap menjadi beban keluarga padahal kalau dipikir pikir Laksmi juga tidak bekerja begitu juga dengan Dewi tapi kenapa Anita yang seolah olah dianggap beban dan tak berguna.