NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:19.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apartemen Mira

Bimo berjalan cepat keluar dari rumah Reyhan dengan napas memburu. Ada sesuatu yang tidak beres.

Reyhan hancur, tapi bukan hanya karena kehilangan Mira. Ada sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang Reyhan tidak tahu… atau mungkin sesuatu yang selama ini Reyhan abaikan.

Dan ada satu orang yang bisa menjawab semua pertanyaannya: Hendi.

"Aku harus menemui Hendi!" Reyhan bertekad. 

 

Hendi duduk di dalam kantornya, menatap kosong ke tumpukan dokumen yang tidak lagi menarik perhatiannya. Sejak Mira pergi, dunia terasa lebih sunyi.

Gertakan pintu yang terbuka kasar membuatnya tersentak.

Reyhan berdiri di ambang pintu, mata tajamnya menatap Hendi dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.

"Kita perlu bicara," suara Reyhan rendah, namun setiap katanya seperti beban yang jatuh perlahan ke udara, menekan seisi ruangan. 

Hendi mengangkat kepalanya, wajahnya tidak menunjukkan emosi yang berarti.

"Aku tidak punya waktu untuk mendengar ocehanmu, Rey." Nada suaranya terdengar dingin, seolah ada dinding tinggi yang memisahkan mereka.

Reyhan melangkah maju, tubuhnya menegang seiring dengan intensitas tatapannya yang semakin dalam.

"Ini tentang Mira."

Kata itu. Satu kalimat itu cukup untuk membuat Hendi menghentikan semua pembelaannya.

Napasnya tertahan sesaat. Lalu, ia bersandar di kursi, memalingkan wajahnya sejenak sebelum menarik napas panjang.

"Apa yang kamu ingin tahu?" kata Hendi dengan suara yang nyaris tanpa energi.

Reyhan tak melepaskan tatapannya, seperti seseorang yang menggali ke kedalaman lautan demi mencari harta yang hilang.

"Semuanya," ucapnya mantap.

Hendi tertawa kecil. Bukan tawa yang menyenangkan, melainkan sesuatu yang terdengar pahit, getir, seperti luka lama yang masih berdarah.

"Kamu pikir aku tidak ingin melupakan semuanya?" gumamnya nyaris tanpa tenaga. 

"Aku sudah mencoba. Sudah berkali-kali. Tapi wajah Mira..." Ia menghentikan kata-katanya sejenak, menelan sesuatu yang terasa tajam di tenggorokannya.

"Wajah Mira selalu muncul di benakku, di mana pun aku berada. Dia tidak pernah benar-benar pergi, Rey."

Mata Reyhan semakin tajam, tapi di balik itu tersimpan kepedihan yang begitu jelas. Ia mengepalkan tangannya, menahan sesuatu yang ingin ia teriakkan.

"Aku tidak ingin mendengar penyesalanmu, Hendi," tukasnya dengan suara serak, hampir berbisik.

"Aku hanya ingin tahu... bagaimana Mira menghabiskan hari-hari terakhirnya."

Hendi menatapnya, tapi Reyhan melanjutkan sebelum Hendi sempat menjawab.

"Dan bagaimana... bagaimana dia bisa—" Suara Reyhan retak, terputus. Dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tidak sanggup menghadapi kenyataan yang menunggu di akhir kata itu.

Hendi menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Hari itu... Mira datang menemuiku." Suara Hendi terdengar berat, seakan membawa beban tak kasat mata yang menghimpitnya. 

Reyhan memperhatikan dengan tegang, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti membuka kotak penuh rahasia.

"Dia datang dengan mata sembab, tangannya gemetar..." Hendi terdiam sejenak, menghela napas panjang sebelum melanjutkan.

"Dan aku tahu... aku tahu dia sudah menyerah." Kata-kata itu menikam udara, menggantung di antara kami. 

Dada Reyhan terasa sesak, dan untuk beberapa saat, ia lupa bagaimana caranya bernapas. 

Mira? 

Menyerah?

"Dia memberikan semua dokumen perceraiannya kepadaku." Hendi memandang kosong, seolah mencoba memahami apa yang dia alami.

"Untuk pertama kalinya, dia menyerah, Reyhan."

Reyhan merasa dunia seolah berhenti berputar. Tubuhnya membeku, tapi pikirannya berputar liar. 

'Menyerah? Mira? Apa yang sebenarnya dia hadapi sampai membuatnya menyerah seperti ini? Apa yang tidak aku ketahui?' batin Reyhan.

"Mira bilang dia ingin pergi jauh," lanjut Hendi, suaranya melembut namun terasa getir. "Dia ingin meninggalkan semuanya. Tapi sebelum itu, dia harus mengambil barang-barangnya dari rumahmu." 

Mata Reyhan membelalak. Sesuatu dalam dadanya tiba-tiba seperti dihantam palu. 

"Dia kembali ke rumah itu?" gumam Reyhan hampir tak percaya. 

Bayangan rumah itu, penuh kenangan dan rasa bersalah, terlintas begitu saja di pikiran. 

Hendi mengangguk pelan. "Aku bilang aku bisa membantunya, tapi dia menolak. Dia bilang itu terakhir kalinya dia masuk ke rumah itu." 

Pernyataan itu membuat bulu kuduk Reyhan meremang. Ada sesuatu yang tidak beres, perasaan yang begitu gelap dan tidak bisa ia.jelaskan dengan kata-kata, merambat perlahan ke setiap sudut kesadaran. 

'Terakhir kali? Kenapa dia bilang begitu? Apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya saat itu?'

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana," suara Hendi mulai bergetar, matanya menerawang jauh seperti mencari sesuatu di udara.

"Aku tidak bisa menghubunginya, pesan,telfon tidak ada respon... semuanya sudah terlambat."

Tubuh Reyhan seperti runtuh dari dalam. "Sudah terlambat?" pikirannya terus bertanya-tanya, memohon jawaban yang rasanya tidak akan pernah memuaskan.

Sebuah lubang dalam hatinya perlahan menganga, menelan ke dalam bayangan firasat buruk yang kini tak terhindarkan.

Reyhan mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata Hendi.

"Apa maksudmu?" tanya Reyhan , meski suara itu terdengar bergetar.

Hendi menggenggam kedua tangannya erat, seolah menyampaikan berita yang bahkan ia sendiri ingin menyangkal.

"Mira… dia ditemukan di apartemennya. Pergelangan tangannya terluka, tubuhnya tenggelam di bathtub…" 

Reyhan terdiam, napasnya tercekat di tenggorokan.

"Aku yang menemukannya, Rey." lanjut Hendi, suaranya bergetar.

Tenggorokannya mendadak kering, seluruh tubuhnya seperti lumpuh.

"Dia masih bernapas saat aku menemukannya," Hendi melanjutkan, matanya tampak berusaha menyimpan rasa sakit yang meluap-luap.

Mata kami bertemu saat ia mengatakan, "Jantungnya berhenti berdetak sebelum fajar menyingsing."

Tawa kecil keluar dari mulutnya, tawa yang getir, seperti bentuk lain dari jeritan putus asa yang sudah tidak mampu ia tahan.

Keheningan menyelimuti ruangan seperti selimut tebal yang mencekik. Reyhan menundukkan kepala, mencoba meredam sesak di dadanya yang seakan siap meledak.

Bayangan Mira mulai mengalir deras di pikirannya. Senyumnya yang lembut dan caranya mencintai Reyhan dengan tulus, lebih dari dirinya sendiri. 

Reyhan ingat kekuatan yang dulu terpancar dari setiap geraknya, namun kini... Mira yang ia kenal tinggal bayangan di ingatan, sementara tubuhnya menjadi nama di atas batu nisan. 

'Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak bisa memahaminya.'

"Kenapa… dia melakukannya?" suara Reyhan hampir tak terdengar, lebih seperti desahan ketidakberdayaan.

Reyhan tahu pertanyaannya menggantung, tidak ada jawaban yang akan cukup memuaskan. Hanya kekosongan yang menyakitkan, menyergap di setiap sudut pikirannya.

Hendi menggeleng. "Mungkin karena kamu. Mungkin karena kelelahan. Mungkin karena dia sudah tidak punya alasan untuk bertahan."

Reyhan menutup mata. Kenyataan ini lebih menyakitkan dari yang dia kira.

Dan yang lebih menyakitkan lagi… Reyhan baru tahu semua ini.

Reyhan berdiri di depan Hendi dengan wajah yang lebih kacau daripada sebelumnya. Matanya merah, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Apartemen Mira... aku ingin kuncinya." Suara Reyhan parau, hampir tidak terdengar, tenggelam dalam campuran rasa bersalah dan getir yang terus menghantui.

Alkohol dan kurang tidur hanya memperburuk segalanya, membuatnya lebih hancur dari sebelumnya.

"Untuk apa?" tanya Hendi dingin, matanya tajam menusuk, penuh kebencian yang tak berusaha disembunyikan.

Sorot matanya begitu menghakimi, seperti ingin membakar setiap kesalahan yang pernah ia lakukan pada Mira. 

Reyhan tahu dia membenciku. Ia tahu. Dan sejujurnya, Reyhan juga membenci dirinya sendiri. 

"Aku ingin melihat semua peninggalannya," ucap Reyhan dengan suara yang bahkan lebih lemah dari sebelumnya.

Namun, tangannya yang terkepal erat di sisi tubuh seolah ingin memohon, memohon kesempatan terakhir untuk mendekap kenangan yang telah hilang.

Hendi menghela napas berat, lalu mendengus dengan kemarahan yang sulit ia tahan.

"Apa gunanya sekarang, Reyhan? Orangnya sudah mati."

Kata-kata itu seperti pedang yang menusuk langsung ke hatiku. 

"Mira sudah mati." 

Rasanya tidak nyata, meski aku tahu itu adalah kenyataan pahit yang harus ia telan.

Tidak ada lagi suara lembutnya yang menenangkan di tengah kekacauan. Tidak ada lagi tatapan penuh harap yang selalu kulalaikan. Tidak ada lagi hangatnya senyuman yang dulu selalu ada untukku. Semua itu... hilang. Semua itu... salahnya.

"Kamu yang membiarkannya mati tanpa pernah benar-benar menghargainya." Suara di kepala Reyhan berbicara seperti hakim yang memberi vonis. Tubuhnya gemetar, ia tak mampu lagi berdiri di hadapan kenyataan ini. 

Reyhan bersimpuh di lantai, tangannya menggenggam kuat celana Hendi. 

"Aku mohon, Hen... Berikan kunci apartemen Mira padaku," suara Reyhan pecah, setengah merintih, setengah menangis.

Hendi menatap dengan ekspresi terkejut, seperti tak percaya melihat Reyhan yang dulu begitu tinggi hati kini remuk di depannya.

Tapi Reyhan tidak peduli. Tidak ada harga diri yang perlu ia jaga. Reyhan hanya ingin satu kesempatan terakhir untuk berada di dekat sisa-sisa kehadirannya, untuk meminta maaf meski ia tahu itu tidak ada gunanya lagi.

Reyhan Pratama, pria yang selalu berdiri dengan angkuh, pria yang tidak pernah mau mengakui kesalahannya, kini berlutut di hadapannya dengan wajah penuh keputusasaan.

“Beri aku kunci itu, aku mohon, Hendi.” Suara Reyhan terdengar parau dan penuh keputusasaan. Ia tahu aku terlihat menyedihkan, tapi ia benar-benar tak punya pilihan lain. 

Reyhan hanya ingin sedikit rasa lega, sedikit saja.

Hendi menggeretakkan giginya, tatapannya tajam menusuk.

“Untuk apa? Apa kamu ingin menghancurkan peninggalannya juga, Rey?” katanya dengan dingin. Kata-katanya menghantam seperti palu godam.

Mungkin dia benar. Mungkin ia memang tak layak, setelah semua yang terjadi. Namun, a

Reyhan tak bisa menyerah. Ia menggigit bibir, mencoba menahan gejolak emosi yang makin sulit dikendalikan. 

Air mata perlahan turun, menorehkan luka di wajahnya. 

“Aku... aku tidak tahu...” suara itu akhirnya keluar, lemah dan nyaris seperti bisikan. “Aku hanya... aku hanya ingin melihatnya lagi. Walau hanya lewat barang-barangnya. Aku tak sanggup melupakan, Hendi...” 

Dia menata Reyhan lama, terlalu lama. Mata kami bertemu, dan di sana ada sesuatu yang ia rasakan, amukan dendam bercampur iba. 

Reyhan tahu dia membencinya. Dia punya alasan untuk itu. Tapi ia juga tahu, di satu sisi yang kecil, dia masih mengingat bagaimana Mira mencintai Reyhan dulu, sebelum ia menghancurkan segalanya.

Itu adalah penyesalan hidupnya sendiri. Perlahan, dengan tangan yang gemetar, dia merogoh saku jaketnya. Reyhan lihat dia mengeluarkan kunci itu, menggenggamnya seakan berat untuk menyerahkan padanya. 

Matanya tak lepas dari Reyhan saat ia akhirnya meletakkan kunci itu di tangan.

“Pergilah,” katanya, suaranya datar tapi mengandung banyak hal yang tak terucapkan. Ada kemarahan, kekecewaan, dan mungkin, jauh di dalam lubuk hatinya, belas kasih yang kecil. 

Reyhan ingin mengatakan sesuatu, entah itu terima kasih atau permintaan maaf, ia tidak tahu, tapi tidak ada satu pun kata yang mampu keluar dari mulut. Reyhan hanya menatapnya sekilas, lalu berlari dengan kunci itu di tanganku. Jantungnya berdetak begitu keras, sementara udara malam menusuk tajam.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di apartemen Mira. Begitu ia membuka pintunya, bau khas itu segera menyeruak, bau yang membawaku kembali pada kenangan-kenangan itu.

Segala hal di dalamnya tetap sama.

Sunyi. Dingin. Kosong.

Hati kecil Reyhan berbisik lirih. 'Mira, aku di sini. Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Apa yang harus aku lakukan dengan diriku sendiri?

Bersambung... 

1
Serani Waruwu
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!