Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Pelayan lantas meminta bantuan Peter dan zang adik mengendong kakaknya menuju kamar utama milik Aarav.
Setelah sampai di kamar itu, Peter merebahkan Olive di ranjang. Pelayan menelepon seorang dokter bernama Andin untuk datang ke rumah itu.
Alesia yang melihat Olive pingsan, takut. Dia tidak berhenti menangis. Alesia pengen telepon Aarav tapi dicegah sama Peter. Dia beralasan kalau Aarav lagi sibuk.
Peter memegang bahu Alesia, mencoba menenangkannya. "Kita tunggu aja dokter Andin datang. Papamu pasti juga mau Olive cepat sembuh," katanya dengan suara pelan.
"Tapi aku khawatir, paman... bibi kelihatan lemah banget," suara Alesia bergetar, air matanya terus mengalir di pipinya.
Pelayan yang berdiri di dekat pintu mengangguk kecil. "Tuan Aarav sudah diberi kabar, Nona," katanya. "Tapi beliau masih dalam pertemuan penting," ucap pelayan sambil memberikan kode kepada Peter. Dia dan Peter bekerja sama untuk membuat tipuan ini agar Alesia tidak terlalu cemas.
Alesia menggigit bibirnya, berusaha meredam kecemasan. Tak lama kemudian, suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Pintu dibuka, dan seorang wanita muda dengan jas putih masuk dengan cepat. Dokter Andin.
"Mana pasiennya?" tanyanya.
Pelayan segera menuntunnya ke kamar utama. Di atas ranjang, Olive masih terbaring dengan wajah pucat. Napasnya terdengar berat, keringat membasahi dahinya.
Andin segera mengambil alat medisnya, mengecek suhu tubuh Olive. "Demamnya tinggi," gumamnya. "Kita perlu menurunkannya segera."
Dia menoleh pada pelayan. "Tolong siapkan kompres dingin."
Pelayan buru-buru keluar, sementara Andin mulai memeriksa tekanan darah dan kondisi lainnya.
Di luar kamar, Alesia duduk dengan gelisah. Peter masih di sampingnya, menjaga agar dia tidak melakukan hal gegabah seperti tiba-tiba pergi ke kantor Aarav hanya untuk menemuinya.
"Bibimu bakal baik-baik aja," kata Peter sekali lagi, meski dalam hatinya pun ada sedikit keraguan.
Setelah beberapa menit, dokter Andin keluar dari kamar. Alesia langsung berdiri.
"Gimana dia, Dok?" tanyanya dengan cemas.
"Demamnya cukup tinggi, tapi saya sudah kasih obat. Kita lihat beberapa jam ke depan. Kalau tidak turun, mungkin harus dibawa ke rumah sakit."
Alesia mengangguk, meski hatinya tetap gelisah. Dia melihat Peter, berharap ada sesuatu yang bisa mereka lakukan lagi.
"Pastikan dia tetap terhidrasi," lanjut Andin. "Kalau ada perubahan, segera kabari saya."
Setelah mengucapkan terima kasih, Alesia masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Olive.
"Bibi, kamu harus cepat sembuh ya..." bisiknya lirih.
Peter menenangkan Alesia karena Bibi Olive akan baik-baik saja. Tapi Alesia tetap menangis.
Peter menghela napas, mencoba memahami perasaan Alesia. Dia tahu gadis itu sangat menyayangi Olive, dan melihatnya sakit tentu bukan hal yang mudah.
"Alesia, Bibi Olive pasti akan segera sembuh," kata Peter lembut. "Dokter Andin sudah datang, dan kita sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita tinggal menunggu."
Alesia menggeleng. "Tapi aku takut... Gimana kalau dia nggak sembuh?"
Peter mengusap punggung Alesia dengan lembut. "Jangan berpikir yang buruk dulu. Kita harus percaya kalau semuanya akan baik-baik saja."
Alesia menghapus air matanya, meski masih terisak. Peter melihatnya dengan penuh perhatian sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Peter meminta pelayan menjaga Olive. Dia akan menghibur Alesia dengan mengajaknya main, tapi Alesia tidak mau.
"Ayolah, cuma sebentar," bujuk Peter. "Aku punya permainan seru."
Alesia tetap menggeleng, wajahnya masih murung. "Aku nggak mau main, Peter. Aku nggak bisa senang sementara Bibi Olive sakit."
Peter tetap tersenyum, dia lantas meminta Alesia main tebak-tebakan.
"Oke, kalau gitu kita main tebak-tebakan aja. Nggak perlu ketawa, nggak perlu senang, cukup jawab pertanyaanku," katanya.
Alesia menatapnya ragu. "Tebak-tebakan?"
"Iya," Peter mengangguk mantap. "Aku bakal kasih pertanyaan, dan kamu coba jawab. Gampang, kan?"
Alesia menghela napas, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah..."
Peter tersenyum lebar. "Oke, pertanyaan pertama. Apa yang selalu naik tapi nggak pernah turun?"
Alesia berpikir sejenak. "Umm... balon?"
"Bukan!" Peter tertawa kecil. "Jawabannya umur!"
Alesia menatap Peter dengan ekspresi datar, lalu menggeleng. "Itu nggak lucu."
"Tapi kamu jawab, kan?" Peter tersenyum puas. "Artinya permainan ini berhasil."
Alesia diam sebentar, lalu menghembuskan napas panjang. "Oke, lanjut."
Peter terkekeh. "Baiklah! Pertanyaan kedua. Aku punya sayap, tapi nggak bisa terbang. Aku bisa berwarna-warni dan suka di dinding. Aku apa?"
Alesia berpikir lebih lama kali ini. "Hmm... Kupu-kupu?"
"Salah! Jawabannya adalah kipas angin!" Peter tertawa.
Alesia melirik Peter dengan kesal. "Itu bukan tebak-tebakan, itu jebakan."
"Tapi kamu jadi lupa sama kesedihanmu, kan?" Peter menatapnya lembut.
Alesia terdiam. Dia baru sadar kalau pikirannya memang sedikit teralihkan. Walaupun hatinya masih khawatir, setidaknya dia tidak terus menangis seperti tadi.
Peter melihat perubahan itu dan tersenyum puas. "Nah, gimana kalau kita lanjut beberapa tebak-tebakan lagi?"
Alesia menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Baiklah... Tapi kali ini aku yang kasih pertanyaan!"
Peter terkekeh. "Deal!"
Meski suasana masih tegang karena Olive, setidaknya Alesia merasa sedikit lebih baik berkat Peter.
"Dimana Papa sekarang? Coba tebak paman?"
***