menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33. Permulaan dimulai
Rudi menatap Bu Marni dengan mata yang merah dan marah. "Bu, seharusnya Ibu tidak berkata seperti itu tadi," katanya dengan suara yang bergetar. "Sekarang lihat, Karina pergi dari rumah ini dan meninggalkan aku sendirian. Ibu tidak bisa membayangkan betapa sakitnya aku merasa sekarang."
"Lo, kamu kok malah nyalahin ibu sih?" Bu Marni memandang Rudi dengan rasa kecewa dan sedikit marah. "Ibu belain kamu, Rud, tapi kamu malah membalasnya dengan kata-kata yang menyakitkan?"
Rudi menunduk, matanya menatap lantai dengan rasa bersalah dan penyesalan. "Iya, aku tahu Ibu belain aku," katanya dengan suara yang lembut. "Tapi seharusnya tidak sampai menyakiti hati Karina, Bu. Ibu tahu, Karina itu sangat penting bagi aku..." Suaranya terhenti, dan Rudi mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
Rudi mengangkat wajahnya, matanya memandang Bu Marni. "Biar bagaimanapun, aku masih mencintai Karina, Bu. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku ingin memperbaiki kesalahanku dan membuatnya bahagia lagi."
"Sudahlah, Rud, lupakan Karina! Sudah ada Lisa yang sempurna. Untuk apa lagi kamu bertahan dengannya? Karina itu hanya wanita yang tidak bisa memberikanmu anak, apa gunanya?" ucap Bu Marni dengan nada yang merendahkan, tidak peduli dengan perasaan Rudi yang masih mencintai Karina.
Lisa mendekat dan mengelus-elus pundak suaminya dengan lembut. "Iya, mas, lebih baik sekarang lupain Karina, sudah ada aku dan anak kita," katanya dengan suara yang lembut dan menggoda, berusaha untuk membuat Rudi melupakan Karina dan fokus pada kehidupan barunya bersamanya.
Rudi menarik napasnya dalam-dalam, seolah-olah mencoba untuk mengumpulkan kekuatan dan menghilangkan perasaan yang masih terikat pada Karina. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menganggukkan kepala, menunjukkan bahwa dia telah membuat keputusan untuk melupakan Karina dan fokus pada kehidupan barunya bersama Lisa. Ekspresi wajahnya masih terlihat sedih dan berat, namun dia berusaha untuk terlihat kuat dan percaya diri.
"Lis, aku mau pergi sebentar. Mau cari angin biar nggak suntuk." Tanpa menunggu respon dari Lisa, rudi langsung berdiri dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Lisa.
Lisa berbicara dengan nada yang sedikit keheranan dan kebingungan, matanya mengikuti Rudi yang sudah berjalan menjauh. "Loh, mas, kamu mau kemana?" katanya dengan suara yang agak keras, berusaha untuk menarik perhatian Rudi yang sudah pergi tanpa menjawabnya.
"Sudahlah, biarkan saja suami mu itu pergi. Nanti juga bakal pulang," katanya Bu Marni.
Rani muncul dari arah belakang dengan wajah yang terlihat lelah, matanya memandang ke arah Bu Marni dan Lisa dengan ekspresi yang tidak sulit diartikan. "Bu, terus siapa yang bakalan bersihin ini semua? Masa aku sama Rina lagi, sih. Nggak mau, ah, aku capek," katanya dengan nada yang protes dan tidak mau repot.
Rina mengangguk dan menyahut, "Iya, aku juga capek."
Bu Marni memandang ke sekeliling ruangan dengan mata yang tajam, seolah-olah mencari seseorang atau sesuatu yang bisa dia perintahkan untuk membersihkan kekacauan tersebut.
Bu Marni tersenyum manis memandang kearah Lisa, seolah-olah telah menemukan solusi yang tepat. "Kalian berdua tidak perlu membereskan ini semua, karena sudah ada Lisa yang akan membereskan nya," katanya dengan nada yang santai. "Kalau kalian capek, istirahat saja," tambahnya.
Dengan wajah yang terlihat lega dan senang, Rani dan Rina langsung bergegas menuju ke kamarnya, tanpa menunggu lama dan tidak mempedulikan reaksi Lisa. Mereka berdua berjalan dengan cepat, seolah-olah tidak sabar untuk segera beristirahat.
Lisa terlihat terkejut dan tidak percaya dengan ucapan Bu Marni, matanya membulat dan wajahnya berubah menjadi merah karena kaget. Dengan nada yang terkejut dan protes, Lisa bertanya, "Loh, kok aku Bu yang membersihkan semuanya?"
"Terus, siapa lagi kalau bukan kamu? Kasihan juga Rani dan Rina kecapean mengurus ini semua dari kemarin. Ini kan acara juga untuk kamu, jadi wajar dong kalau kamu yang membereskan," ucap Bu Marni dengan nada memaksa.
"Tapi, Bu. Aku kan..."
Bu Marni memotong kalimat Lisa. "Sudahlah, jangan banyak protes!" katanya dengan suara yang sedikit keras, membuat Lisa terdiam. Dengan ekspresi yang lelah dan ingin segera beristirahat, Bu Marni melanjutkan, "Lebih baik sekarang kamu ganti baju di kamar Rudi. Setelah itu, kamu bereskan semuanya.Ibu juga capek, mau istirahat," tambahnya dengan suara yang lelah.
****
Karina memandang Andrew dengan ekspresi yang bingung, kemudian dia mengangguk pelan. "Saya membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya. Saya ingin memastikan bahwa saya membuat keputusan yang tepat."
Setelah itu, Karina berpamitan dengan Andrew dan berjalan menuju rumah orangtuanya, membiarkan pikirannya bekerja untuk mempertimbangkan penawaran yang telah dia terima. Selama perjalanan pulang, Karina tidak bisa tidak memikirkan tentang penawaran Andrew dan apa yang mungkin terjadi jika dia menerima atau menolaknya.
Sesampainya di rumah orangtuanya, Karina masuk ke dalam rumah dengan langkah yang santai. Dia melewati ruang tamu dan berjalan menuju kamarnya. Karina kemudian membuka pintu kamar yang dulu pernah menjadi kamarnya saat masih lajang. Kamar itu masih terlihat sama, dengan tempat tidur yang sama, meja rias yang sama, dan foto-foto yang masih tergantung di dinding.
Kamar yang dulu pernah menjadi milik Karina itu memang terlihat tetap rapi dan bersih, meskipun sudah lama tidak ditempati. Tidak ada debu yang menumpuk, tidak ada benda yang berserakan, dan tidak ada aroma tidak sedap yang menguar. Semua itu menunjukkan bahwa kamar itu masih terawat dengan baik.
Karina duduk di tepian tempat tidur, merasakan kelembutan kasur yang masih terasa seperti dulu. Dia memandang sekeliling kamar, mengenang kembali kenangan-kenangan yang pernah terjadi di kamar ini. Matanya berhenti di beberapa benda yang masih terletak di tempat yang sama, seperti foto-foto di dinding, boneka di atas meja, dan buku-buku di rak. Karina merasa sedikit nostalgia dan rasa tenang, seolah-olah dia telah kembali ke masa lalu.
Saat Karina sedang terlarut dalam kenangan-kenangan masa lalunya, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan lembut. Karina menoleh ke arah pintu dan tersenyum ketika melihat Bu Indri, ibunya, berdiri di ambang pintu dengan senyum yang hangat.
"Bu..."
Bu Indri masuk ke dalam kamar Karina dan duduk di sampingnya di tepian tempat tidur, dengan gerakan yang lembut dan penuh kasih sayang. Dia memandang Karina dengan mata yang penuh perhatian, Bu Indri kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Karina, memberikan sentuhan yang hangat dan nyaman.
"Meskipun kamar ini sudah lama tidak kamu tempati, namun ibu tetap membersihkannya setiap hari," ucap Bu Indri dengan suara yang lembut. "Ibu selalu berharap suatu saat nanti kamu akan menempati kamar ini kembali." Bu Indri berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang penuh harapan. "Kamu tahu, Karin, ibu selalu merindukanmu, tidak ada hari tanpa memikirkan bagaimana nasib kamu di sana. Apakah suami mu dan keluarganya memperlakukan mu dengan baik atau tidak."
"Maafkan aku, Bu. Seharusnya dulu aku menuruti omongan bapak sama ibu untuk tidak menikah dengan mas Rudi. Ternyata firasat kalian benar." Kedua matanya yang berkaca-kaca membuat Bu Indri merasa terharu.
Bu Indri kemudian memeluk Karina erat dan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, Karin. Ibu dan bapak hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami tidak pernah menyesal karena kamu menikah dengan mas Rudi, tapi kami hanya khawatir kamu tidak bahagia."
Air mata Karina mulai mengalir deras, dan dia tidak bisa menahan tangisannya lagi. Dia menangis dengan keras, seolah-olah semua kesedihan dan kekecewaan yang telah dia simpan selama ini akhirnya keluar.
Setelah puas menangis, Karina mulai tenang kembali. Dia menghapus air matanya dengan tissue yang diberikan oleh Bu Indri, dan kemudian menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
"Bagaimana dengan penawaran Nak Andrew? Apakah kamu akan menerima tawarannya?" tanya Bu Indri.
Karina menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku belum tahu, Bu," katanya dengan suara yang pelan. "Aku bingung, aku juga tidak tega dengan Aldo. Dia sudah menganggapku seperti ibu kandungnya." Karina berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang terdengar bergetar. "Aldo datang di saat aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Bu."
"Baiklah, kamu pikirkan baik-baik saja dulu semuanya. Tanyakan juga pendapat bapakmu tentang keputusan yang akan kamu ambil," kata Bu Indri dengan nada yang lembut dan bijak.
Karina pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Bersambung...
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu