NovelToon NovelToon
Agent UnMasked

Agent UnMasked

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Roman-Angst Mafia
Popularitas:527
Nilai: 5
Nama Author: mommy JF

“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.

Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.

“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.

“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”

“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.

Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”

Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.

Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Inilah Aiden

Langit mulai gelap saat Aksara dan Aliyah sampai di sebuah tempat terpencil yang tampak seperti gudang tua. Aliyah terus memegangi lengannya, mencoba menenangkan dirinya dari rasa panik yang masih menggema.

"Aksara, apa ini tempat aman?" tanya Aliyah dengan suara bergetar, matanya memandang sekeliling.

"Untuk sementara, ya. Kita hanya perlu bertahan di sini sampai waktu janji temu tiba," jawab Aksara tegas.

"Apa mereka akan terus mengejarmu? Sampai kapan kita bisa hidup seperti ini?"

Aksara terdiam, tidak menjawab. Ia memeriksa senjata kecil yang ia bawa, memastikan semuanya siap jika sesuatu yang buruk terjadi. Aliyah merasa hatinya semakin berat melihat betapa tenang tapi waspadanya pria itu.

"Aksara," panggil Aliyah lirih. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Tapi apa semua ini sepadan? Kau bisa saja hidup dengan tenang kalau menyerahkan dirimu."

Aksara menoleh, menatap Aliyah tajam. "Aku tidak bisa. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Bukan hanya nyawaku, tapi semua orang yang pernah bersentuhan denganku juga dalam bahaya. Termasuk kau."

Aliyah menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.

Keesokan harinya, Aksara membawa Aliyah ke sebuah klinik tersembunyi di pinggiran kota. Dokter yang menyambut mereka tampak ragu, matanya meneliti Aksara dengan penuh curiga.

"Aksara Brawijaya, ya?" Dokter itu memeriksa dokumen palsu yang diserahkan. "Ini operasi yang tidak biasa. Anda yakin ingin melakukannya?"

Aksara mengangguk tanpa ragu. "Ya. Dan aku butuh satu permintaan tambahan."

"Apa itu?"

"Ada chip di punggungku. Aku butuh kalian mengeluarkannya setelah operasi wajah selesai. Tidak boleh ada yang tahu soal ini, bahkan tim lain di klinik ini."

Dokter itu mengerutkan kening, jelas bingung. "Chip? Apa maksud Anda? Kenapa bisa ada chip di punggung Anda?"

"Itu tidak penting. Yang penting, Anda bisa melakukannya atau tidak?" Aksara menatap dokter itu dengan mata tajam, membuat pria paruh baya itu akhirnya mengangguk meski tampak enggan.

"Baiklah. Tapi ini akan memakan waktu lebih lama," jawab dokter itu akhirnya.

Aliyah berdiri di sudut ruangan, memperhatikan semuanya dengan rasa tidak percaya. Chip? Kenapa ada chip di tubuhnya? Apa sebenarnya yang Aksara sembunyikan?

Saat operasi berlangsung, Aliyah duduk di ruang tunggu dengan jantung berdebar. Setiap detik terasa seperti sejam, dan ia tidak bisa berhenti memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam.

Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah serius. "Operasi wajahnya berhasil. Tapi soal chip... kami menemukan sesuatu yang tidak biasa."

Aliyah berdiri dengan cepat. "Apa maksud Anda?"

Dokter menatapnya ragu, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantongnya. Di dalamnya terdapat sebuah benda kecil berbentuk bulat yang terlihat seperti logam, dengan cahaya merah samar.

"Apa ini?" tanya Aliyah.

"Kami belum tahu pasti, tapi chip ini bukan chip biasa. Ada perangkat komunikasi yang tertanam di dalamnya. Siapa pun yang menanamkan ini pada Aksara... mereka bisa melacaknya."

Aliyah merasakan tubuhnya gemetar. Jadi selama ini, mereka bisa melacak Aksara karena chip itu?

Beberapa jam kemudian, Aksara terbangun dengan wajah yang masih bengkak akibat operasi. Ia tidak bisa berbicara, hanya bisa menulis di selembar kertas.

"Terima kasih," tulisnya pada dokter.

Namun, sebelum dokter pergi, ia menulis lagi: "Masukkan chip itu ke tubuh korban kebakaran."

Dokter mengerutkan dahi, tetapi akhirnya mengangguk. "Baik. Tapi saya harap Anda tahu risikonya."

Aksara hanya mengangguk pelan. Ia tahu, ini satu-satunya cara untuk mengalihkan perhatian mereka yang mengejarnya.

Setelah dokter pergi, Aliyah mendekat dengan wajah tegang. "Kau harus mulai bicara, Aksara. Siapa kau sebenarnya? Dan kenapa chip itu ada di tubuhmu?"

Aksara menatap Aliyah lama, lalu menulis di kertas lain: "Kalau aku memberitahumu, kau akan menyesal mengetahuinya."

Aliyah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Cobalah aku," desaknya.

Namun Aksara hanya menggeleng, lalu menatap ke jendela kecil di sudut ruangan, matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa Aliyah pahami—dendam, ketakutan, dan kesedihan yang mendalam.

Dan di luar sana, seorang pria yang memantau dari kejauhan akhirnya menerima sinyal yang ia tunggu-tunggu selama ini. "Dia tidak bisa lari lebih lama lagi," gumamnya sambil memasukkan koordinat ke dalam perangkatnya.

Aliyah masih menatap kertas dengan tulisan Aksara. Kata-katanya menggantung di udara, membuat pikirannya penuh tanda tanya. Ia menggenggam kertas itu erat, mencoba mencerna semuanya.

“Aksara, tolong berhenti melindungi aku dengan cara seperti ini. Aku tidak ingin terus-menerus hidup dalam bayang-bayang rasa takut,” katanya, suaranya penuh emosi.

Aksara menatapnya sebentar, lalu kembali menulis: "Ini bukan hanya tentang kau. Aku melakukan ini untuk semua orang yang mungkin jadi korban karena aku."

Aliyah mendesah panjang, lalu duduk di kursi di sebelahnya. "Tapi kau tidak bisa terus hidup seperti ini. Sampai kapan kau akan membiarkan dirimu terjebak di masa lalu?"

Aksara berhenti sejenak, lalu menulis: "Sampai aku bisa memastikan bahwa orang-orang itu tidak lagi mengancam."

Aliyah menatap wajahnya yang masih bengkak akibat operasi. Mata Aksara memancarkan tekad yang tidak bisa digoyahkan. Namun, di balik itu, Aliyah melihat kelelahan yang mendalam.

"Apa pun yang kau lakukan, aku ada di sini," katanya akhirnya, meski hatinya ragu.

Aksara menatapnya dalam-dalam, seolah menimbang sesuatu. Ia kemudian menulis: "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Aliyah. Jika kau ingin pergi, sekaranglah waktunya."

Aliyah menelan ludah, tapi ia menggeleng tegas. "Aku sudah bilang, aku tidak akan pergi. Bahkan jika kau berusaha mengusirku."

Aksara menulis lagi: "Kau bisa mati karena ini."

Aliyah tersenyum pahit. "Aku sudah pernah merasa kehilangan hidupku. Kau menyelamatkanku. Kalau harus memilih, aku lebih baik mati karena melawan bersama seseorang yang memperjuangkan sesuatu, daripada hidup dalam ketakutan tanpa tujuan."

Aksara terdiam, kali ini lebih lama. Ia memandang Aliyah, mencari kepastian di balik kata-katanya. Akhirnya, ia menulis satu kalimat: "Kau lebih berani dari yang kau pikirkan."

Aliyah baru saja akan membalas ketika suara ponsel Aksara bergetar pelan. Mata Aksara langsung menyipit, dan ia mengangkat ponsel itu untuk melihat layar. Wajahnya, meski sulit membaca ekspresi dengan kondisi bengkak, tampak tegang.

"Ada apa?" tanya Aliyah cemas.

Aksara tidak menjawab. Ia menuliskan sesuatu di kertas kecil dan menyerahkannya pada Aliyah: "Kita harus pergi sekarang."

Aliyah menegang. "Kenapa? Bukankah kita aman di sini?"

Namun, sebelum Aksara bisa menjelaskan, terdengar suara langkah kaki berat di luar klinik. Ketukan pintu yang keras membuat Aliyah melonjak dari kursinya.

"Aksara," bisiknya gemetar. "Siapa itu?"

Aksara memberi isyarat agar Aliyah diam. Ia mengambil tas kecilnya dan meraih pisau lipat yang tersembunyi di saku. Dengan gerakan pelan, ia mendekati pintu, telinganya menempel di kayu, mendengarkan suara di luar.

"Dia di sini, aku yakin. Jangan biarkan dia lolos lagi," terdengar suara berat pria di luar.

Aliyah merasa tubuhnya dingin. "Apa mereka datang untukmu?" bisiknya.

Aksara mengangguk perlahan, lalu menulis cepat di kertas: "Ikuti aku, jangan bersuara."

Aliyah mengikuti Aksara dengan napas tertahan. Mereka menyelinap keluar lewat pintu belakang, meninggalkan klinik dalam kegelapan malam. Namun, sebelum mereka sempat menjauh, terdengar suara dari belakang.

"HEI! DIA DI SANA!"

Aliyah memekik kecil, tapi Aksara dengan cepat menutupi mulutnya. Ia menariknya masuk ke dalam lorong sempit di antara dua gedung.

"Kita tidak bisa terus lari seperti ini," bisik Aliyah dengan napas tersengal.

Aksara menatapnya, lalu menulis di kertas terakhir yang ia bawa: "Ini belum selesai. Bahkan mungkin baru saja dimulai."

Bersambung.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.

Terima kasih.

1
Aleana~✯
hai kak aku mampir....yuk mampir juga di novel' ku jika berkenan 😊
Erik Andika: mampir di channel ku kak kalo berkenan juga
ziear: oke kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!