Rumah tangga yang telah aku bangun selama dua tahun dengan penuh perjuangan, mulai dari restu dan segala aspek lainnya dan pada akhirnya runtuh dalam sekejap mata. Aku yang salah atau mungkin dia yang terlalu labil dalam menyelesaikan prahara ini? berjuang kembali? bagaimana mungkin hubungan yang telah putus terbina ulang dalam penuh kasih. Berpaling? aku tidak mampu, segalanya telah habis di dia. Lalu aku harus bagaimana? menerima yang datang dengan penuh ketulusan atau kembali dalam rasa yang setengah mati ini? aku hancur dalam cintanya, segala hal tentang dia membuat aku hancur berantakan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lissaju Liantie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_005 Mantan
Dokter Anand?" Tanya Deria seolah sedang memastikan jawaban dari Dariel pasalnya ia sama sekali tidak melihat keberadaan Anand di depan ruangannya.
"Hmmmm, dia langsung kabur tuh!" Jelas Dariel tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi.
"Biarkan aja! Ayo kita ke ruangan Direktur!"
"Ayo...!" Ujar Dariel nurut karena memang sejak awal keduanya janjian untuk barengan menghadap direktur karena sejak tiga puluh menit yang lalu pak direktur memang meminta keduanya untuk datang ke ruangnya.
Sesaat setelah Deria mengetuk pintu ruangan sang direktur utama suara dari salam sana langsung menyambut kedatangan keduanya. Deria membuka pelan pintu lalu perlahan melangkah masuk dengan disusul oleh Dariel telat selangkah di belakangnya.
"Duduklah!" Pinta sang direktur mempersilahkan karena sejak awal ia memang duduk di sofa menunggu kedatangan sang tamu undangan.
"Terima kasih!" Jawab Deria lalu mengambil posisi tepat di sofa yang berhadapan dengan sang direktur.
Dariel hanya ikut duduk disebelah Deria tanpa ucapan sepatah kata pun.
"Apa ada hal penting yang ingin bapak sapaikan?" Tanya Dariel karena sang direktur tak juga kunjung angkat bicara.
"Sebenarnya aku sedang menunggu dua orang tamu lagi, jadi sebaiknya kita tunggu mereka sebentar lagi." Jelas sang direktur.
"Baiklah!" Ujar Dariel dengan mata yang mulai menelusuri seisi ruangan tersebut, sedangkan Deria hanya duduk mematung dengan sesekali melirik kearah sang atasan yang sejak tadi sibuk menatap ke layar ponsel miliknya.
"Maaf, saya terlambat, tiba-tiba ada pasien darurat!" Jelas Hanin salah satu dokter utama rumah sakit ini, dia adalah dokter spesialis dalam yang memiliki bejibun jadwal operasi.
"Silah duduk!" Pinta pak direktur mempersilahkan.
"Terima kasih dan sekali lagi maaf!" Ucap Hanin yang merasa tidak enak karena dia datang telat dan membuat sang atasan serta dokter lainnya harus menunggu kedatangannya.
"Hai..." Sapa Deria dengan senyuman.
"Hai...! Apa ada dokter lain lagi yang harus kita tunggu?" Tanya Hanin dengan suara pelan sesaat setelah ia duduk di sisi kanan Deria.
"Hmmm, sepertinya saru orang lagi, tadi pak direktur bilang masih ada dua tamu, kamu dan..." Deria menghentikan penjelasannya saat ia tau bahwa sang direktur sedang menelpon seseorang.
"Kamu dimana?" Tanya pak direktur setelah panggilannya dijawab.
"Cepatlah!" Suaranya kembali terdengar namun tidak ada nada kasar atau kesal yang terdengar darinya.
"Iya aku datang!" Gumam Anand lantang setelah membuka pintu lebar-lebar.
"Aaaahhh, sorry!" Ujar Anand pelan setelah menyadari bahwa di ruang tersebut tidak hanya ada sang direktur tapi juga tiga dokter lainnya.
"Apa baru selesai operasi?" Tanya sang direktur saat Anand perlahan mulai bergabung di sofa.
"Eummmm!" Jawab Anand pelan lalu duduk disamping sang direktur.
"Apa yang sedang kamu rencanakan? Kamu tidak sedang menyusun rencana untuk menyingkirkan aku kan?" Tanya Anand dengan suara tertahan namun bisa terdengar dengan jelas.
"Apa aku perlu melakukannya? Dasar..." Cetusnya dengan tangan yang sedikit membenarkan posisi kerah kemeja yang Anand kenakan seadanya.
"Khmmmmmm!" Suara deheman Dariel membuat fokus sang direktur kembali ke masalah utama.
"Hmmmm, langsung saja ke intinya, besok kita kedatangan tujuh orang koas dan dua orang residen, saya sudah rapat dengan para dokter senior lainnya dan mereka semua sepakat untuk menyerahkan kesembilan anggota baru kepada kalian berempat, tolong bimbing dan ajarkan mereka dengan baik." Jelas Sang direktur.
"Nggak!" Jawab Anand tegas.
"Anand!" Ujar pak direktur.
"Sean, no! Jangan aku!" Tolak Anand yang bahkan langsung bangkit dari tempat duduknya.
"Anand..." Ujar sang direktur yang bernama lengkap Sean Mahendra yang tak lain merupakan sepupu dari Anand.
"Lakukan sesuka mu! Sebaiknya pecat saja aku! Toh rumah sakit sudah menggait dokter ortopedi yang lebih lihai!" Guma Anand.
"Kenapa aku jadi bahan perdebatan kalian berdua? Pak Sean, aku akan terima koas, biar aku yang menanganinya, selesai kan!" Jelas Dariel.
"Tidak bisa begitu dokter Dariel, dua orang akan berada di bawah bimbingan mu, dan untuk spesialis dalam hanya satu orang residen dan itu akan langsung berada dibawah bimbingan Hanin, selanjutnya tiga orang koas spesialis saraf akan diambil alih oleh dokter Ria sisanya satu orang residen dan dua orang koas spesialis ortopedi bakal ada dibawah bimbingan dokter Anand, keputusan sudah final, setuju atau tidak kalian harus menerimanya." Jelas Sean.
"Sean!" Gumam Anand kesal.
"Anand..." Suara lantang Sean terdengar jauh lebih kesal daripada suara keluhan Anand.
"Apa sudah selesai? Boleh aku pergi sekarang?" Tanya Dariel.
" Iya, silahkan Dok!" Jelas Sean.
"Kalau begitu saya juga pamit pak!" Ujar Hanin yang bangun lalu beranjak dari sana.
"Hanin, kamu tetap tinggal sebentar, masih ada yang harus aku bicarakan dengan mu." Jelas Sean.
"Baik pak!" Jawab Hanin patuh.
"Haissssh!" Gumam Anand dan langsung pergi.
"Dokter Ria, bisa tolong...." Ucapan Sean terhenti.
"Maaf pak, saya sekarang hanya seorang mantan istri dari dokter Anand jadi saya tidak lagi punya hak ataupun kewajiban untuk membujuknya, sekali lagi maaf pak. Dan saya permisi!" Jelas Deria lalu ikut keluar meninggalkan Sean bersama dokter Hanin.
"Huuuf!" Sean menarik napas kasar dan penuh dengan beban pikiran yang cukup membuat dia stres.
"Sepertinya kita kehilangan cara untuk menjinakkannya!" Jelas Hanin lalu kembali duduk di sisi kanan Sean.
"Aku stres memikirkan kelakuannya, jika saja..." Sean menghentikan ucapannya lagi-lagi dia hanya bisa menghela napas berat.
"Hmmm, kali ini biar aku yang coba bujuk, ya meski tidak ada harapan sama sekali, setidaknya kita harus mencoba." Jelas Hanin.
"Kalau bisa bujuk dia dengan cara apapun, abang rasa kamu lebih paham tentang abang kesayangan mu itu." Cetus Sean.
"Kesayangan? Bukankah dia adalah adik kesayangan abang? Sampai aku pun menjadi urutan kedua." Ujar Hanin dengan mulut yang sedikit manyun manja.
"Sejak kapan kamu jadi nomor dua?"
"Terus??"
"Masih ada Arman loh terus Heri dan..."
"Stop! Terserah, aku memang jauuuuh terletak entah di urutan ke seratus berapa!" Hanin terlihat semakin kesal.
Hal tersebut membuat Sean semakin tertawa puas karena berhasil menggoda sang adik sepupu Anand dari pihak ibu yang kini berstatus sebagai kekasih Sean yang merupakan abang sepupu dari pihak papa Anand. Sedangkan Heri adalah adik kandung Sean dan Arman adalah adik kandung Anand.
Hanin beranjak dari sofa dan hendak keluar karena kesal dengan Sean yang terus menerus menertawakannya.
"Sayaaaang!" Panggil Sean setelah beberapa kali berusaha untuk menahan tawanya.
"Sayang? Ciiiih, sejak kapan aku jadi kesayangan abang! Aku mau kembali ke ruangan aku, awas!" Tegas Hanin yang langsung menepis tangan Sean yang berusaha menahan kepergiannya.
"Sayang, sorry! Kamu pasti lelah banget kan karena seharian di ruang operasi, udah yok kita makan siang buat isi tenaga kamu biar full kembali!" Ajak Sean lalu menggenggam lembut jemari kanan Hanin.
"Serius??"
"Hmmm, ayyo!" Ajak Sean lalu memandu Hanin untuk ikut keluar bersamanya.
~~