~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan di siang bolong
“Mbak Ana, mbak … ini sudah siang lho mbak! Apa nggak ngantor hari ini?”
Suara ketukan pintu cukup keras terdengar nyaring di telinga Anastasia. Ia menggeliat lemah dibalik selimut. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan lelah sekali. Salah satu efek dari pertemuan dengan makhluk alam sebelah adalah terkurasnya energi. Hal yang sangat dipahami Anastasia.
“Mbak Ana, simbok masuk ya?!”
Anastasia tak menjawab, ia membiarkan mbok Parmi masuk ke dalam kamarnya. Wanita yang tak pernah meninggalkan kebaya dan kain jarik itu berjalan pelan menghampiri Anastasia.
“Oalah, sudah bangun to mbak. Kenapa nggak jawab, mau dibuatin kopi?” mbok Parmi berkata sambil membuka tirai jendela yang masih tertutup.
“Jamu aja gimana mbok, bisa?” Tanya Anastasia setengah malas untuk keluar dari selimut.
“Jamu? Lah, mbak Ana mau dapet apa? Perasaan belum tanggalnya lho.” Mbok Parmi menghitung dengan jarinya.
Melihat itu Anastasia tersenyum miring, “persis kayak Kanjeng Mami, dikit-dikit dihitung.”
“Lho simbok kan dapet ‘sepesial order’ dari Kanjeng Mami buat jagain mbak Ana selama di Yogyakarta.” Sahutnya dengan gaya bahasa Jawa yang kental.
Anastasia terkekeh geli mendengarnya. “Buatin deh mbok, bentar lagi saya mau sarapan. Tolong siapin sekalian ya?”
“Siap 86, den ayu. Menu sarapan kali ini opor ayam ples sambel goreng ati ampela.”
“Wiiih enak tuh, berasa kayak lebaran. Telor puyuhnya ada kan?”
“Jelas ada dong mbak, kalau gitu saya buatin jamu dulu ya mbak?” Mbok Parmi bergegas keluar kamar.
Anastasia memaksa diri dan menyeret kakinya ke kamar mandi. Sebelumnya ia mengirim pesan pada stafnya melalui Nathan, untuk bersiap briefing usai jam makan siang.
Tak berapa lama kemudian, Anastasia sudah duduk manis di meja makan ditemani mbok Parmi. Sepiring nasi, opor ayam, dan juga sambal goreng sudah nyaris habis setengah dilahapnya.
“Ini jamunya mbak, semalam pulang larut banget. Banyak kerjaan, mbak?”
Anastasia mengangguk, ia tak banyak bicara lagi. Otak Anastasia menyuruh untuk terus melahap makanan untuk kembali mengisi energinya.
“Mbak nggak ngantor?” Simbok kembali bertanya setelah Anastasia justru duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Siangan aja mbok, lagi males.”
Mbok Parmi dengan sigap duduk di ujung sofa, memijat kaki Anastasia. “Kayaknya lagi mikir sesuatu, nih. Kangen sama Kanjeng Mami?”
Anastasia menarik nafas dalam-dalam, “ya kangen sih, tapi sama cerewetnya ... nggak!”
Keduanya tertawa, “mbok udah lama kan tinggal di Yogyakarta, pernah denger rumor serem tentang lokasi hotel kita nggak sih?” Anastasia bertanya setelah keduanya terdiam sesaat.
“Rumor seram …,” mbok Parmi mencoba mengingat. “Yang mbok tahu dulu lokasi hotel itu tadinya ada losmen gitu mbak.”
“Losmen? Besar?” Anastasia mulai antusias bertanya.
“Seingat simbok nggak besar banget sih mbak, cuma terkenal karena didalam pekarangannya ada pohon Flamboyan. Bukan cuma satu tapi tiga. Dulu jadi satu-satunya tempat yang punya pohon itu. Kalau nggak salah inget, namanya Losmen Flamboyan.”
Mata indah Anastasia seketika membulat, ia mendekat ke arah mbok Parmi. “Pohon Flamboyan? Mbok nggak salah ingat kan?”
“Ya kalau nggak salah, ya betul mbak.” Sahut mbok Parmi cengengesan.
“Iiih, apaan sih simbok ni. Saya nanya serius lho mbok.”
“Ehm, iya mbak. Memang ada tiga pohon yang tersebar di halaman belakang. Kebetulan dulu paklek-nya simbok kan tinggal di sekitar situ. Jaman belum rame kayak sekarang.”
Anastasia manggut-manggut mengerti. “Terus pemiliknya kemana mbok, masih inget nggak siapa?”
“Nama pemiliknya pak Surya,” suara lelaki dari arah ruang tamu terdengar.
“Lho, Dam. Kok kamu kesini? Ada apa nih?” Anastasia terang saja terkejut, Adam sama sekali tidak memberitahukan padanya jika akan berkunjung.
“Aku dapat laporan semalam, katanya kamu turun dari lantai empat pake tangga darurat?” Adam duduk di hadapan Anastasia, mbok Parmi segera pergi untuk menyediakan minuman.
“Heem, iya. Makanya nanti siang kita meeting bentaran. Keterlaluan banget masa lift bisa mati dan nggak ada yang laporan. Untung tamu yang datang belum banyak. Coba kalau udah soft atau grand opening? Malu kan kita, hotel baru, lift macet.” Anastasia mengomel kesal, mengingat semalam ia benar-benar disiksa berjalan.
“Sejak kapan lift macet? Kamu jangan mengada-ngada deh. Aku nggak nerima laporan apa pun tentang lift macet. Semalam aku turun pake lift kok, dan sudah aku pastikan kalau semua lift berjalan baik.”
Anastasia terkejut bukan main, ia tak percaya. “Nggak usah bela karyawan deh Dam, mereka jangan kamu manjain begitu. Kalau kerjaan nggak bener, ya udah tegur. Bukan dibelain, fatal lho ini!”
“Gimana kalau kita buktikan sendiri sekarang? Aku temani kamu cek semua lift.” Adam menatap tajam Anastasia, berharap wanita mapan di depannya itu berkata ‘ya’.
“Aku berangkat siangan, badanku lagi nggak enak.” Anastasia memundurkan punggungnya lagi dan mengubah pandangan ke arah televisi.
“Jangan bilang semalam kamu ketemu makhluk halus?” Pertanyaan Adam sukses membuat Anastasia menoleh padanya, tapi ia enggan menjawab.
“Kopinya, mas Adam.” Mbok Parmi meletakkan secangkir kopi hitam ke hadapan Adam.
“Mbok, tadi belum selesai lho ceritanya. Sini mbok, duduk sini.” Anastasia menarik tangan mbok Parmi memaksanya duduk disebelahnya.
“Yang losmen itu mbak?” Anastasia mengangguk, “betul kata mas Adam pemiliknya pak Surya tapi saya nggak tahu gimana cerita selanjutnya sampai itu losmen jadi nggak terurus terus dijual, mbak.”
“Oh, kirain tahu. Terus kisah seremnya losmen gimana mbok, tahu nggak?”
“Yang aku dengar, keluarga pak Surya itu hanya tersisa satu anak.” Adam tiba-tiba menyela.
“Satu?” kening Anastasia berkerut, ia mencium aroma tidak beres.
“Iya mbak, betul tinggal satu. Yang lainnya meninggal secara tragis. Katanya sih kecelakaan, ada juga yang bilang karena kutukan hantu.”
Anastasia yang semula serius, tertawa geli. “Masa hantu bisa kasih kutukan gitu mbok. Yang paling mungkin itu keluarga ikut pesugihan, jadi habislah anak keturunannya karena tumbal.”
“Tapi …,” Anastasia seketika menyadari sesuatu. “Dam, kamu yang urus akta jual belinya kan?”
“Iya, kenapa?”
“Kamu ketemu dong sama anaknya?” Anastasia bertanya lagi.
“Eehhm … nggak!” Adam menjawab dengan yakin.
“Lho terus, sama siapa?”
“Cucunya, kebetulan dia sedang ada urusan di Jogyakarta dan ibunya ini kasih kuasa sama dia.”
Anastasia mengangguk kecewa, tadinya ia berharap bisa bertemu dengan salah satu keturunan pemilik losmen. Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum hotel itu berdiri.
“Kamu bisa hubungin pak Wisnu, dia pasti masih simpan semua dokumen terkait si pemilik tanah dan bangunan.”
Suara dering telepon berbunyi menggema, mbok Parmi segera menjawab. Wanita paruh baya itu mengangguk mengerti pada perkataan seseorang diujung sana. Ia lalu berjalan mendekati Anastasia dengan pesawat telepon di tangannya.
“Mbak, ini buat mbak Ana,” ucapnya sambil mengedipkan mata.
“Kok gitu matanya mbok?”
“Kanjeng mami,” Sahut mbok Parmi setengah berbisik.
“Aduuuh, gawat!” Anastasia menunjukkan ekspresi masam, menatap sejenak alat komunikasi itu sebelum akhirnya menjawab dengan jantung berdebar.
“Halo … Kanjeng Mami,”
“Anaaa!!” Suara lengkingan kuat terdengar hingga Adam terkikik geli.
“I-iya Mam,”
“Kamu siapkan satu suite mewah buat Mami sama pak Broto. Kita sedang ondeway ke Jogyakarta, kira-kira dua jam lagi sampai. Jadi kita mau inspeksi sebelum itu hotel dibuka. Pastikan semua kelengkapan, peralatan, pelayanan, dan fasilitas hotel siap!”
“Eeh kok mendadak gini sih Mam?”
“Mendadak bagaimana, kita itu sudah merencanakan semuanya dari jauh-jauh hari. Kemarin kita sudah ke Salatiga terus ke Semarang, jadi sekarang giliran Jogyakarta! Awas kalau sampai persiapan hotel ada yang kurang satu atau tidak sempurna, kamu bakal … Mami copot!”
“Eeh ya nggak bisa gitu dong Mi, kok main copot aja?! Kan Ana juga udah semaksimal mungkin bekerja.” Protes Anastasia sambil berdiri spontan, kesal dengan sikap Kanjeng Mami-nya.
“Itu hak prerogatif Mami sebagai pemilik hotel! Kamu bakal Mami demosi jadi istri Adam!”
“Hah!!! Kok gitu siih?!”
“Nggak usah protes dan sok kaget gitu kayak si Rora! Kalian itu suka nggak becus cari pasangan jadi biar Mami yang turun tangan. Titik!”
“Eeh, Mami … nggak gitu juga dong, Ana masih bisa kali cari jodoh sendiri Mi?!”
“Titik nggak pake koma! Sudah mami siapin semuanya buat kamu juga Adam! Ya sudah, sampai ketemu di Yogya!”
“Eeh, Mi tunggu dulu dong … lah, Mi … Mami?!” Suara sambungan telepon terputus begitu saja. Anastasia membanting alat komunikasi itu ke sofa.
“Iiiissh, kebiasaan! Selalu aja maksa deh.” Anastasia menoleh kesal ke arah Adam. “Jangan bilang kalau kamu udah tahu masalah perjodohan ini?”
Adam tersenyum canggung, mengangkat kedua bahunya bingung. “Titah Kanjeng Mami siapa yang bisa interupsi?” Jawabnya santai membuat Anastasia bersungut-sungut.
“Mamiiii!!!!”
Bersambung …,