Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 05 - Person of the Past
"Ashana!" seseorang memanggilnya dengan cukup keras.
Saat itu Ashana baru saja selesai kuliah kedokterannya dan tengah berjalan ke parkiran kampus. Mendengar namanya dipanggil, Ashana membalikkan tubuh dan mencari sumber suara.
Faza melambaikan tangannya, meminta Ashana untuk mendekatinya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tak ada yang menyaksikan pertemuan mereka berdua.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Kak?" tanya Ashana dengan lugunya. "Seharusnya Kak Faza kerja kan?"
Faza mengangguk lalu tersenyum. "Aku sengaja menemuimu sekarang, aku punya sesuatu untukmu Ashana." Faza tampak merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah.
Kontan Ashana membekap mulutnya sendiri dengan tangan kanannya, merasa takjub dengan apa yang ditunjukkan Faza kepadanya.
"Ini untukku?" tanyanya memastikan.
Faza mengangguk penuh keyakinan. "Tentu saja untukmu, Ashana. Kaulah satu-satunya gadis yang kucintai dan ingin kunikahi," kata Faza.
Ashana tersipu, matanya masih tak lepas memandang cincin bermata biru yang indah itu. "Tapi, Kak."
"Ssst, aku tahu Ayahmu tak menyetujui hubungan kita, tapi aku yakin, lambat laun Ayahmu akan menerimaku, Ashana. Aku akan membuktikan kesungguhanku padamu, aku janji itu."
Lagi-lagi Ashana tersenyum, senyum yang membuat Faza tertawan. "Aku yakin, Kak. Akan aku ingat janji Kak Faza."
"Sini biar aku pasangkan cincinnya." Faza meraih tangan Ashana dan menyematkan cincin itu di jari manis seorang Ashana Lazuardi.
"Cantik, seperti namamu," kata Faza sambil tak henti-hentinya menatap Ashana, membuat pipi gadis itu berubah kemerahan.
•••
Ashana membuka kedua matanya, pemandangan yang pertama kali ia lihat saat bangun adalah langit-langit kamarnya yang masih gelap. Pertemuannya dengan Faza semalam sukses membawa kepingan kecil kenangan lama yang berniat dilupakannya.
Entah sudah berapa kali ia terbangun lantaran memimpikan Faza selama tujuh tahun terakhir ini. Sepertinya, ia tak pernah benar-benar melupakan pria itu hingga sekarang. Ashana memijit tulang di antara kedua alisnya.
Berdiam sebentar di tepian kasur, sambil berpikir bagaimana langkah yang harus ia ambil selanjutnya. Kemudian, mengayunkan kakinya turun, Ashana berjalan masuk ke kamar mandi, menyegarkan tubuh sekaligus menyegarkan kembali pikirannya yang kusut.
Apa yang Faza katakan dan minta darinya berhasil membuat gadis itu terjaga semalaman memikirkannya. Memikirkan bagaimana penghinaan Faza terhadapnya, membuat sudut lain hati Ashana merasa terluka. Memikirkan konsekuensi apa yang sekira akan ia terima jika ia menerima penawaran itu.
Ashana berdiam diri di bawah kucuran shower, membiarkan seluruh badannya basah oleh air. Membiarkan air itu menyentuh tiap inci kepalanya dan berharap setiap kata yang ia dapati semalam akan hilang bersama air.
Setelah mandi, Ashana berjalan ke dalam walk-in-wardrobe, membuka lemari pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaian kerjanya. Tepat saat itu, sudut matanya terpaku pada laci khusus berisi perhiasan dan aksesorisnya.
Entah niatan dari mana, tangannya bergerak membuka laci itu, mengeluarkan sebuah kotak beludru biru dari dalam laci. Cukup mencolok di antara kotak perhiasan Ashana yang lainnya. Seingatnya, Ashana tak membeli perhiasan dengan kotak yang sama.
Satu tangannya bergerak membuka kotak beludru biru itu. Cincin itu masih setia pada tempatnya.
Ia tak tahu mengapa ia melakukannya, mungkin agar ia tetap mengingat pemberian romantis pria itu. Ashana tak dapat mengerti perasannya sendiri, sebelumnya ia membenci pria itu dan yakin akan terus membencinya.
Tapi pertemuan mereka semalam seolah mengaduk perasaan Ashana, membuatnya jadi tak terkendali. Membuka kembali perasaan yang sempat ditutupnya dengan rapat.
Tidak, Ashana. Kau harus tetap membencinya. Kau tidak boleh mencintainya lagi.
Ashana cepat-cepat meletakkan kembali kotak itu dan mulai bergegas untuk pergi bekerja. Setelah bekerja, ia masih memiliki sebuah janji temu dengan Bartha dan mendiskusikan kembali masalah investor yang lain.
•••
Sore hari, seperti yang sudah dijadwalkan, Ashana menemui Bartha di kantornya. Pria itu tampak sangat sibuk dengan berkas-berkas di meja. Ashana mengetuk pintu dan masuk begitu terdengar suara sahutan dari dalam.
"Sore, Om."
Bartha mendongak, mengalihkan atensinya dari berkas di meja ke Ashana. "Sore, Ashana. Silakan duduk, bagaimana kabarmu? Apakah pertemuannya semalam berjalan lancar?" tanyanya langsung pada inti.
Semalam, Ashana menolak memberitahukan hasil pertemuannya dengan alasan lelah dan ingin segera beristirahat, perempuan itu mengatakan bahwa ia akan menemuinya nanti dan membicarakannya.
Ashana duduk, meletakkan tas yang di bawanya ke samping, lalu mengambil nafas panjang sebelum berbicara. "Kabarku baik, Om. Sayangnya, pertemuan itu tidak berjalan begitu baik. Maksudku, yah, kami tidak menemukan kesepakatannya."
Bartha tampak bingung, "Kenapa? Apakah dia tidak jadi menanamkan modalnya di sini? Atau dia menginginkan hal lainnya?" tanya Bartha penuh selidik, melihat raut wajah Ashana yang terlihat kurang nyaman saat membicarakan calon investor mereka, Bartha yakin ada sesuatu yang tak beres.
Ashana terdiam sesaat, menarik nafas panjang berkali-kali, sepertinya ia tak bisa menyembunyikan hal ini dari Bartha. "Calon investor itu adalah Faza, Om."
"Apa? Maksudmu Faza Nawasena?" tanyanya cukup terkejut.
Ashana mengedikkan bahu, "Siapa lagi? Hanya dia satu-satunya, Om."
"Berani-beraninya dia!" Bartha menggertakkan gigi, rahangnya mengetat, mendengar nama Faza disebut dan mengingat apa yang sudah dilakukannya kepada Ashana tujuh tahun lalu, membuat kepalanya seolah terbakar. "Berani sekali dia menemuimu setelah apa yang dilakukannya kepadamu, Ashana."
"Aku juga tidak mengira itu dia, Om," kata Ashana.
"Lalu? Apa yang terjadi semalam? Semoga dia tidak melakukan hal-hal yang aneh kepadamu." Jelas sekali bahwa Bartha mengkhawatirkan perempuan itu.
"Dia memintaku menjadi istrinya, dengan jaminan dia akan menanamkan modal yang cukup besar dk perusahaan Ayah. Tapi kurasa, dia hanya ingin menguasai perusahaan Ayah."
"Bagus kau menolaknya. Sudah, jangan khawatir, kita akan mencari investor lain, aku akan mencoba mencari informasi dari relasiku."
"Terima kasih, Om." Ashana tersenyum tulus berterima kasih kepada Bartha yang bersedia membantunya mengatasi semua kesulitannya.
Namun, meskipun Bartha berkata bahwa ia tak perlu khawatir soal investor. Ashana tetap merasa tak yakin. Haruskah aku menerima tawarannya itu?
Ashana berdeham pelan, menatap Bartha yang kini sudah sibuk dengan teleponnya. "Om," panggilnya pelan.
Bartha pun menoleh, "Kenapa Ashana?"
"Sepertinya aku harus kembali ke rumah sakit, aku permisi dulu, ya. Kabari aku jika Om sudah menemukannya," katanya dengan agak gugup.
Bartha mengangguk, "Pasti, Ashana. Hati-hati di jalan," ujarnya. Ashana berbalik dan dengan pelan-pelan menutup pintu.
Maaf, Om, tapi sepertinya hanya Faza satu-satunya pilihanku. Biarlah aku yang menanggung konsekuensinya sendirian.
Ashana lalu mengendarai mobilnya menuju sebuah tempat di mana ia bisa menemui pria itu. Meski sempat mengalami beberapa pergolakan batin, akhirnya Ashana memantapkan diri. Ia akan menerima tawaran itu.
Dengan keyakinan bahwa Faza tak akan berani melakukan apapun padanya selain kenyataan bahwa sekarang Ashan sudah jatuh miskin, dan kenyataan lain bahwa pria itu mungkin masih memiliki sedikit perasaan pada Ashana dan menginginkannya kembali.