Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halusinasi Lolyta
Di sebuah kamar mewah bernuansa ungu pastel, seorang gadis tampak meringkuk di sudut tempat tidur, tubuhnya gemetar hebat. Itulah Lolyta, salah satu siswi dari geng populer Sky International School. Namun kini, tak ada sisa kesombongan atau keberanian di wajahnya. Yang tersisa hanyalah ketakutan.
Ia menggigit kukunya yang sudah berdarah, mata membelalak menatap kosong ke arah jendela balkon. Sejak pagi tadi, sejak Mega, sahabat terdekatnya melompat dari lantai atas dan meninggal tepat di depan matanya, Lolyta tak berhenti bergumam ketakutan.
“Bukan aku … bukan aku … bukan aku yang menyuruhnya!” bisiknya berulang-ulang, matanya kosong.
Tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang memanggil, Lolyta menoleh ke arah balkon.
Matanya membesar.
Di sana, di balik tirai tipis yang tertiup angin malam sesosok tubuh berdiri. Seragam sekolah masih melekat, penuh darah. Rambut panjang menutupi sebagian wajah pucat itu.
“Mega?” suara Lolyta lirih, nyaris tak terdengar. “T—tidak … itu tidak mungkin .…”
Sosok itu menatapnya tanpa kata.
“Aaaaaaahhhhhhh!”
Lolyta menjerit histeris dan terhuyung mundur hingga jatuh dari ranjang. Ia memukul-mukul udara, seolah mengusir sesuatu.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka keras. Sepasang suami istri masuk dengan tergesa. Wajah mereka cemas.
“Lolyta!” seru sang ibu, nyaris menangis. Ia segera memeluk putrinya yang menangis meraung.
“Sayang, ini Ayah! Tenang … tidak ada apa-apa!” ucap sang ayah sambil memeriksa sekeliling ruangan dengan mata waspada.
Lolyta terus menjerit, menggenggam erat baju ibunya.
“Dia ada di sana! Dia menatapku! Mega … dia berdiri di balkon … darahnya ... dia berdarah!” ratap Lolyta dengan napas terputus-putus.
Ibunya menatap sang suami dengan wajah panik. “Kita harus panggil psikiater. Ini sudah tidak bisa dibiarkan.”
Sang ayah mengangguk cepat. “Aku akan hubungi dokter pribadi kita sekarang.”
Namun di sisi lain jendela, angin malam kembali menerpa tirai tipis … dan tak ada siapa-siapa di sana.
🍃🍃🍃🍃
Malam telah larut ketika Sky tiba di kediamannya. Suasana rumah yang megah itu tampak sunyi, hanya terdengar suara langkah kakinya yang mantap menyusuri koridor. Setibanya di kamar, ia membuka kancing kemejanya satu per satu dan menggulung lengan sampai ke siku. Langkahnya terhenti di depan meja kecil di samping ranjang.
Sebuah pigura foto berdiri di sana.
Wajah cantik namun datar dalam foto itu menatap lurus tanpa ekspresi. Nova Spire. Gadis yang tak pernah bisa ia lupakan. Gadis yang menusuknya dengan racun … sekaligus membuatnya jatuh cinta hingga sekarang.
Sky menghela napas panjang, jarinya menyentuh permukaan kaca pigura. “Apa kau masih hidup, Nova?” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan angin.
Meski Sky melihat tubuh Nova yang dimakamkan, tapi entah kenapa hatinya berkata jika Nova-nya masih hidup.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan terdengar dari arah pintu. Sky menoleh, “Masuk.”
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Jerry yang rapi dan penuh hormat.
“Maaf mengganggu, Tuan,” ucap Jerry sambil melangkah masuk dan menyerahkan sebuah map hitam.
Sky menerima map tersebut, membukanya perlahan, lalu menatap isinya dengan saksama.
“Ini hasil penyelidikanmu?” tanyanya datar.
“Ya, Tuan. Kami menemukan fakta bahwa Mega dan kelompoknya, yang disebut Geng Loly, sudah lama melakukan perundungan terhadap siswa-siswi beasiswa dan siswa dari keluarga biasa. Beberapa korban bahkan mengalami tekanan mental berat, dan ada tiga kasus bunuh diri dalam dua tahun terakhir,” jelas Jerry tenang, meski jelas nada suaranya menahan amarah.
Sky menutup map tersebut perlahan, rahangnya mengeras.
“Dan pihak sekolah menutupinya?”
Jerry mengangguk. “Benar, Tuan. Sebagian besar karena tekanan dari orang tua para pelaku. Beberapa di antaranya adalah pejabat tinggi pemerintahan dan donatur tetap yayasan.”
Mata Sky menggelap, atmosfer di ruangan seketika berubah menjadi dingin.
“Aku membangun sekolah itu untuk menjadi tempat pendidikan terbaik, bukan kandang bagi pemangsa yang berselimutkan kekuasaan,” gumam Sky, suaranya rendah dan tajam.
Ia berjalan ke arah jendela, memandangi taman yang sunyi di bawah sana.
“Aku tidak peduli siapa orang tua mereka. Siapkan konferensi internal dengan seluruh dewan sekolah besok pagi. Kita akan bersih-bersih,” perintah Sky tegas.
Jerry menunduk. “Segera saya atur, Tuan.”
Sky menatap kembali pigura Nova. “Kalau kau masih hidup, Nova … kau pasti sudah turun tangan lebih dulu. Tapi sekarang, biar aku yang menyelesaikannya.”
Jerry melirik pigura itu sejenak, namun tak berani bertanya.
“Baik, Tuan. Saya permisi,” ujarnya.
Sky mengangguk pelan. Setelah Jerry pergi, ia menatap bayangannya sendiri di kaca jendela dan berbisik dingin, “Tak akan ada lagi korban … Di sekolahku, tidak akan ada yang menyentuh mereka yang lemah.”
Meski Sky adalah seorang mafia kejam dan berdarah dingin, tapi Sky tidak pernah menyakiti seseorang yang tidak bersalah seperti yang dilakukan oleh geng Loly itu, dan itu semua ada andil Nova di dalamnya karena Nova-lah yang mengubah Sky menjadi pria yang lebih manusiawi.
****
Pagi itu, suasana ruang makan keluarga Frost terasa sepi namun menegangkan. Aroma roti panggang dan kopi menguar di udara, namun tidak cukup untuk menghangatkan suasana hati dua orang yang duduk di meja makan.
Kaira duduk dengan tenang, menikmati sarapannya dengan gerakan anggun. Ia mengangkat sendok sup perlahan dan menyeruputnya pelan. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tongkatnya bersandar di sisi kursi.
Di seberangnya, Leonel Frost memperhatikan gerak-geriknya dengan kening berkerut. Semakin hari sikap Kaira semakin berbeda, Leonel pikir Kaira hanya merajuk karena sikapnya yang selama ini selalu dingin pada Kaira.
Biasanya, meski tidak diminta, Kaira akan menawarinya secangkir teh atau menyodorkan potongan roti. Namun kini, gadis itu duduk tanpa sepatah kata pun, seolah ia hanyalah bayangan asing di rumah ini.
“Kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya Leonel akhirnya, suaranya terdengar tidak sabar.
Kaira tetap menunduk, memotong roti di piringnya. “Karena tidak ada yang perlu dikatakan,” jawabnya tenang.
Leonel menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Kaira tajam. “Biasanya kau menawariku makanan, meski aku menolaknya. Sekarang kau bahkan tidak melihat ke arahku.”
Kaira berhenti makan. Ia mengangkat kepalanya sedikit, matanya yang kosong menatap lurus namun aura dingin dari sorotnya seolah menembus kulit.
“Lucu juga. Dulu saat aku mencoba bersikap baik, kau hanya mencibir dan menghindar. Sekarang saat aku diam, kau justru merasa terusik?” ucap Kaira, suaranya halus namun sarat sindiran.
Leonel terdiam. Tangannya mengepal di atas meja.
“Apa kau sedang sengaja bersikap seperti ini?” tanyanya lirih, menahan emosi.
Kaira menghela napas pelan, lalu tersenyum kecil. “Atau mungkin ini pertama kalinya kau sadar kalau aku manusia. Bukan boneka buta yang bisa kau perlakukan sesukamu.”
“Kaira .…” Leonel mengucap namanya, namun ragu melanjutkan.
Kaira kembali menyendok supnya. “Kau tidak perlu merasa bersalah. Bukankah pernikahan ini hanya kontrak satu tahun? Bersabarlah sedikit lagi, sebentar lagi semuanya selesai. Kau bisa kembali mengejar wanita yang benar-benar kau cintai tanpa diganggu oleh wanita buta ini.”
Leonel terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang ia duga.
Tak lama kemudian, Kaira meletakkan sendok dengan tenang dan berdiri. Ia meraih tongkatnya dan mengarah ke luar ruang makan.
“Selamat pagi, Tuan Leonel,” katanya ringan sebelum melangkah pergi.
Dan sekali lagi, Leonel hanya bisa terdiam, menatap punggung gadis yang semakin lama semakin tak bisa ia mengerti.
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,