Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Game Of Power And Pride (2)
Riin kembali ke kantornya malam itu. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi ia masih duduk di depan komputer, mencoba menyelesaikan satu bab terakhir dari tugas terjemahannya. Suara ketikan keyboard memenuhi ruangan yang sepi. Di mejanya terdapat beberapa kamus besar dan catatan kecil dengan coretan-coretan kata yang sulit dipahami.
Lampu meja menerangi ruangannya dengan hangat, tetapi kelelahan mulai terasa di pundaknya. Ia menyesap kopi yang mulai dingin di cangkirnya, mencoba tetap terjaga.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sebelum Riin sempat menoleh, suara familiar yang dingin memecah kesunyian.
"Hei! Apa kau sedang berusaha meningkatkan biaya listrik kantorku?" tegur Jae Hyun dengan nada sinis.
Riin terlonjak. "Astaga! Kau mengagetkanku saja!" serunya sambil menepuk dadanya.
Jae Hyun, dengan setelan jas hitam rapi, melangkah mendekati meja Riin. Ia sedikit membungkuk, memperhatikan layar komputer Riin. Wajahnya dekat, dan aroma parfumnya yang maskulin menyelimuti Riin_kombinasi kayu hangat, citrus segar, dan sedikit garam laut.
Riin menggeleng pelan, mencoba menyadarkan dirinya dari pikiran aneh yang tiba-tiba muncul.
"Sudah cukup kerjanya. Pulanglah," perintah Jae Hyun ketus, tanpa basa-basi.
"Akan saya kerjakan sedikit lagi, setidaknya sampai menyelesaikan satu bab," tolak Riin, berusaha terdengar sopan meskipun nada suaranya tegas.
Jae Hyun melirik jam tangannya. "Kau naik transportasi umum, kan? Terlalu berisiko kalau kau pulang selarut ini."
Riin mengerutkan kening. Sikapnya berubah aneh, pikirnya. "Tempat tinggal saya cukup dekat, jadi saya rasa masih aman."
"Terserah kau saja," ujar Jae Hyun, mengangkat bahu. "Yang penting, aku sudah memperingatkanmu."
Ia berbalik pergi, tetapi dengan sengaja mematikan saklar lampu ruangan sebelum keluar.
"HEI! DASAR BOS MENYEBALKAN!" teriak Riin kesal.
Jae Hyun menoleh sebentar, senyum kecil terlihat di wajahnya. "Biaya listrik kantor ini mahal. Kalau tidak mau bekerja dalam gelap, pulanglah!" balasnya sambil tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan.
Riin menghela napas panjang. "Aku tidak tahu apakah dia benar-benar peduli atau hanya ingin bermain-main dengan kesabaranku." Namun, ia memutuskan untuk membereskan pekerjaannya dan pulang. Tidak ada gunanya bertengkar dengan bos yang sulit dipahami seperti Cho Jae Hyun.
***
Riin melangkah masuk ke ruangan CEO dengan penuh percaya diri. Ia merasa lega setelah menyelesaikan tugas menerjemahkan tiga novel tebal dalam waktu dua bulan. Meskipun pekerjaannya menguras energi dan waktu, ia bangga karena berhasil memenuhi tantangan dari bos perfeksionisnya.
"Permisi, selamat pagi," sapa Riin dengan nada formal.
Jae Hyun, yang duduk di balik meja dengan tumpukan berkas di sekitarnya, mengangkat pandangannya. Ia terlihat seperti biasa: tenang, dingin, tetapi tak bisa disangkal_mempesona. "Pagi. Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi, matanya kembali pada dokumen di tangannya.
"Saya ingin melaporkan kalau tugas yang Anda berikan sudah saya selesaikan dengan baik," kata Riin sambil menyerahkan flashdisk yang ia genggam.
Jae Hyun melirik sekilas ke flashdisk itu, lalu meletakkannya di meja tanpa berkata banyak. "Baiklah, aku akan memeriksanya nanti."
Riin mengerutkan kening. 'Hanya itu?' pikirnya. Setelah semua kerja keras dan lembur yang tak terhitung, ia berharap setidaknya mendapat sedikit apresiasi.
"Kalau begitu, saya permisi kembali bekerja," ucap Riin, mencoba menahan nada kesalnya.
"Tunggu," suara Jae Hyun menghentikan langkahnya. Pria itu meraih sebuah buku tebal dari laci mejanya, kemudian meletakkannya di depan Riin. "Ini tugasmu selanjutnya."
Riin menatap buku itu dengan rahang mengeras. "Lagi?"
"Kenapa? Bukankah kau di sini untuk menerjemahkan buku?" balas Jae Hyun dengan senyum kecil yang tak ramah. "Jika kau tidak mau bekerja, kau tahu pintunya ada di mana."
Riin menelan kekesalannya. 'Sabar, Riin. Ini demi karirmu', pikirnya, meskipun hatinya mendidih. "Baiklah. Akan saya kerjakan," katanya sambil mengambil buku tebal itu.
"Selesaikan dalam waktu tiga minggu," perintah Jae Hyun tegas.
Riin hanya mengangguk dan melangkah keluar ruangan. Namun, dalam hati ia mengomel, 'Ya Tuhan, kalau saja aku tidak memikirkan masa depanku, aku pasti sudah melemparkan buku ini ke mukanya!'
***