Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membawa Wanita
Ibarat pelangi yang datang dalam waktu singkat, seperti itulah yang dirasakan Raina saat ini. Indah dan manis sikap Nero hanya berlangsung sekejap—dua malam saja. Setelah itu, Nero kembali ke setelan awal. Dingin dan tak peduli.
Terhitung sudah satu bulan penuh sejak Nero mengajaknya makan malam kala itu—makan malam formal yang awalnya gagal dan berakhir dengan makan malam romantis.
Keesokan harinya, Nero kembali ke London, dan tak ada kabar sampai saat ini. Jika percaya dengan Norman, katanya pekerjaan Nero saat ini sedang sibuk-sibuknya. Itu sebabnya tak ada waktu untuk menelepon atau sekadar membalas pesan.
Kecewa? Tentu saja iya. Setiap hari Raina menahan rindu, tetapi tak ada respon baik dari Nero. Namun, ingin marah juga tak ada keberanian. Kenyataan bahwa dirinya bukan istri yang dicintai menciutkan seluruh nyali.
'Setidaknya ada kenangan manis lain darinya.'
Begitulah pikir Raina. Dia menghibur diri sendiri dengan kenangan-kenangan indah yang pernah tercipta antara dirinya dengan Nero, ya ... meski sebagian adalah kenangan palsu.
"Nona Raina!" panggil Norman. Dia menghampiri Raina yang kala itu baru menyelesaikan makan malam.
"Iya, Pak."
"Barusan Tuan Nero menghubungi saya. Katanya sebentar lagi akan menelepon Anda."
Raina terkejut. "Om Nero telfon? Ahh, iya, HP-nya kutinggal di kamar."
Norman mengangguk. "Benar, Nona. Katanya, tadi telepon tapi tidak ada jawaban dari Anda."
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya akan ke kamar sekarang."
"Baik, Nona."
Dengan langkah cepat, Raina bergegas menuju kamar. Tak dipungkiri hatinya luar biasa senang. Setelah satu bulan menunggu, akhirnya Nero menelepon juga. Walau tak bisa mengucap rindu atau sekadar bertanya kabar secara langsung, tetapi setidaknya dia bisa memastikan bahwa Nero baik-baik saja.
Setibanya di kamar, Raina meraih ponselnya dan mendapati dua riwayat panggilan tak terjawab dari Nero. Tanpa membuang waktu, Raina pun menelepon balik.
"Halo, Om. Maaf ya, tadi aku lagi makan di bawah dan HP-nya kutinggal di kamar," ucap Raina setelah sambungan telepon terhubung.
"Hmmm." Nero hanya bergumam pelan.
"Om—"
"Besok aku pulang," pungkas Nero.
Sorot mata Raina berbinar, membayangkan kepulangan Nero yang mungkin ... bisa ada waktu untuk mengulang hal manis seperti tempo hari.
"Kira-kira tiba di rumah siang atau malam, Om?" tanya Raina. Dia ingin memasak lagi untuk menyambut Nero.
"Mungkin malam."
"Baiklah, Om. Kalau gitu hati-hati ya di jalan."
"Hmm." Lagi-lagi hanya gumaman singkat.
Beberapa saat kemudian, keduanya saling diam. Meski banyak kalimat yang ingin dilontarkan, tetapi Raina bingung harus bagaimana mengutarakannya. Sementara Nero, entah apa yang dia pikirkan di seberang sana.
"Ya sudah, cepat tidur. Jangan sampai sakit, aku tidak ada waktu untuk menjagamu," ucap Nero setelah beberapa detik berlalu.
"Iya, Om." Sembari menjawab, Raina tersenyum sendiri. Walau kalimat Nero barusan terhitung sinis, tetapi ada maksud kekhawatiran yang tersirat di dalamnya, dan ... Raina sangat menyukai itu.
"Malam ini aku akan tidur nyenyak," gumam Raina setelah telepon berakhir. Masih dengan senyum yang tersungging, ia meletakkan ponselnya ke atas meja di samping ranjang.
_______
Jarum jam hampir menyentuh angka tujuh ketika Raina sudah menyelesaikan semua masakan. Mulai dari olahan daging, sayur, sampai makanan penutup pun ia buat sendiri hari ini. Pelayan hanya membantu memotong dan mencuci bahan-bahan.
"Bi, saya tinggal ke kamar dulu ya. Mungkin, sebentar lagi Om Nero akan tiba," ucap Raina pada pelayan yang membantunya.
"Baik, Non."
Setelah itu, Raina meninggalkan dapur dan bergegas ke kamar. Norman sudah berangkat ke bandara sejak sempat puluh lima menit yang lalu, seharusnya sebentar lagi Nero akan tiba.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Raina untuk bersiap. Sejak pagi dia sudah ada bayangan dress mana yang akan dikenakan—dress ala-ala Korea dengan warna putih hitam. Rambutnya diikat sebagian ke belakang dengan aksesori berbentuk pita. Sedangkan wajah seperti biasa, hanya dengan polesan make up tipis dan natural.
"Pas banget, itu mobil Om Nero."
Baru saja Raina ke balkon dan mengintip ke bawah, mobil Nero tampak memasuki gerbang. Dengan riang Raina keluar kamar dan menuruni anak tangga, guna menyambut Nero di depan sana.
Namun, senyum Raina memudar seketika saat ia tiba di pintu utama. Bukan hanya Nero yang datang, melainkan juga seorang wanita cantik dengan pakaian minim. Rambutnya cokelat dan wajahnya khas orang bule. Andai mereka hanya berjalan sejajar, mungkin Raina masih bisa berpikir positif. Akan tetapi tidak, wanita itu menggelayut manja di lengan Nero.
"Om." Suara Raina sangat lirih, hanya serupa bisikan.
"Jadi ini istri kamu, Nero. Sangat tidak cocok dengan kamu, terlalu jauh di bawah."
Seorang wanita yang tak lain adalah Ava, berbicara dalam bahasa Inggris. Namun, Raina juga pernah kuliah dan dia paham benar dengan apa yang dikatakan Ava. Apalagi tatapan wanita itu juga jelas meremehkan. Raina dibuat sesak olehnya.
Dengan mata yang mulai memanas, Raina menatap Nero. Berharap lelaki itu memberikan pembelaan untuknya. Namun tidak, Nero justru mengajak masuk, seolah tak terjadi apa pun.
Bersambung....