Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Siang harinya Gevan pulang dan digantikan oleh Tari untuk menemani Ara. Kebetulan hari ini Tari ada kelas pagi saja, jadi setelah selesai, dia langsung pulang dan menuruti perintah kakak sepupunya.
Sedangkan Gevan segera berangkat ke kantor. Meskipun sudah siang, dia tetap datang ke kantor dan memantau di sana.
"Kamu sakit apa?" tanya Tari sedikit khawatir.
Mereka berdua berada di sofa sambil menonton TV.
"Cuma pusing aja, kok," jawab Ara.
Tari mendengus seraya memutar bola matanya malas.
"Jawaban selain itu ada gak, sih? Misalnya kayak, 'iya, aku sakit. Kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, badanku sakit semua.' Gitu!" ucap Tari menyerocos.
Ara terkekeh kecil sambil mengangguk paham.
"Nah, itu yang aku rasain," ucap Ara membenarkan ucapan Tari tadi. Padahal itu hanya contoh saja.
"Serius? Kenapa gak ke dokter aja?" tanya Tari. Dia memegang lengan Ara yang memang panas.
"Udah biasa," jawab Ara.
"Gak boleh gitu, Ra! Kalo sakit harus ke dokter, biar diperiksa lebih lanjut!" ucap Tari menasehati. Dia menatap Ara dengan dalam, berusaha mencari tau apa yang disembunyikan gadis di depannya ini.
Ara mengalihkan pandangannya sambil menjawab.
"Aku udah terbiasa, Tari. Jadi ya gitu. Nanti juga sembuh sendiri."
Tari menghela nafas, "Tapi, udah minum obat, kan, tadi?" tanya Tari dan diangguki oleh Ara.
Tiba-tiba Tari menarik tangan Ara untuk di genggam. Hal itu membuat Ara langsung menoleh ke arah Tari. Suasana menjadi canggung dan terasa aneh.
"Kalau kamu butuh teman cerita, aku siap. Kamu bisa telpon aku kapanpun yang kamu mau, dan aku akan usahakan datang," ucap Tari.
Mata Ara berkaca-kaca. Dia terharu dengan ucapan Tari. Selama ini dia ingin mempunyai teman yang mengerti keadaannya, tapi, tidak ada yang bisa Ara percaya. Sekarang ada Tari yang dengan suka rela mengatakan hal seperti itu. Padahal mereka baru kenal.
Namun, satu hal yang tak Ara sukai tentang Tari. Gadis itu masuk jurusan psikologi.
Psikolog adalah orang yang paling Ara hindari. Sayangnya, Tari adalah orang itu.
Begitu juga dengan Tari. Sejak awal kedatangan Ara ke rumah kakeknya, dia sudah bisa membaca ekspresi Ara, juga tatapan mata Ara yang begitu kosong, meskipun saat itu Ara terlihat biasa saja.
Karena itulah Tari berusaha mendekati Ara dan menjadi teman Ara.
"A-ada Kak Gevan yang selalu di dekat aku," ucap Ara sembari melepaskan tangan Tari dari tangannya. Entah kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal itu, mungkin dia sudah terbiasa akan kehadiran Gevan di sisinya.
Tari tersenyum, "Benar. Tapi, kalau Kak Gevan lagi sibuk, kamu boleh, kok, hubungi aku!" ujarnya.
Ara mengangguk, "Iya, makasih, Tari..."
Tari tersenyum sambil mengangguk.
****
Gevan baru saja selesai bertemu dengan Wildansyah. Pria paruh baya pemilik sekolah yang menjadi tempat Ara untuk menempuh pendidikan.
Akhirnya Gevan membeli sekolah tersebut, meskipun ada sedikit negosiasi, karena tak semudah itu Wildansyah mau menjual sekolah miliknya. Demi Ara, Gevan rela seperti ini.
Rencananya 2 hari lagi akan ada acara di sekolah, untuk mengumumkan pemindahan pemilik sekolah dan Gevan wajib datang, karena dialah pemilik sekolah yang baru.
Setelah bertemu dengan Wildansyah, Gevan tidak ke kantor lagi, melainkan langsung ke rumah Ara. Mengingat gadis itu masih sakit, Gevan tak tega meninggalkannya sendiri, meskipun sudah ada Tari yang menemani.
Gevan langsung masuk ke dalam rumah Ara tanpa mengetuk pintu. Dia sama sekali tidak menemukan siapa-siapa di dalam sana.
"Arabella!" seru Gevan menggema.
"Di belakang, Kak!" Itu suara Tari.
Segera Gevan menuju belakang rumah setelah meletakkan buah-buahan di atas meja ruang tamu.
Terlihat kedua gadis itu sedang duduk di gazebo sambil menikmati bakso buatan Tari. Iya, tadi Tari membuat bakso di rumah Ara.
"Loh, udah pulang? Cepet banget," ujar Tari.
Gevan menganggukkan kepalanya. Dia langsung duduk di sebelah Ara.
"Kenapa makan bakso? Gak sehat," ucap Gevan. Dia menatap tajam adik sepupunya itu.
"Ini sehat. Aku yang bikin tadi. Kalo Kak Gevan mau, ambil sendiri di dapur," kata Tari.
"Mau?" Kini Ara menusuk salah satu pentol dan dia sodorkan ke arah Gevan. Tanpa menolak, pria itu menerima suapan dari Ara.
Tari berdecih. Kesal sekali rasanya. Dia jadi obat nyamuk sekarang. Ia pun buru-buru menghabiskan baksonya agar cepat pulang dan tak mengganggu Ara dan Gevan.
"Kenapa rambutnya gak diikat?" tanya Gevan.
Bukannya menjawab, Ara malah menyerahkan ikat rambut yang dia jadikan gelang.
Gevan pun mengikat rambut Ara dengan telaten. Bahkan saking niatnya, rambut Ara dia kepang satu. Entah darimana Gevan belajar mengepang.
"Hah! Aku sudah selesai makan," kata Tari.
"Karena udah ada Gevan disini, aku mau pulang aja, deh. Gak papa, kan, Ra?" lanjut gadis itu.
Ara mengangguk saja karena mulutnya sedang mengunyah.
"Kak, jaga Ara baik-baik, loh!" ucap Tari pada Gevan.
"Tanpa kamu suruh pun, pasti ku jaga," kata Gevan.
Bibir Tari mencebik. Dia pun segera pergi dari sana. Namun, sebelum itu dia melipir ke dapur untuk meletakkan mangkuk kotor.
"Mau lagi, gak?" tawar Ara, karena mangkuknya sudah kosong.
"Boleh," jawab Gevan.
Akhirnya mereka masuk ke dalam rumah. Gevan menyuruh Ara duduk di kursi meja makan, sedangkan dirinya mengambil baksonya lagi, kali ini dua mangkuk.
"Sudah minum obat?" tanya Gevan.
Ara mengerjapkan matanya, seketika dia menyengir lebar.
"Hehehe... Belum," jawabnya.
Gevan menghela nafas. Dia mengambil obat milik Ara dan menyerahkannya pada si gadis.
"Nanti, deh. Aku mau makan ini dulu," ucap Ara.
"Minum dulu. Nanti kalo pait, kamu bisa langsung makan baksonya," ucap Gevan ada benarnya. Dia membuka obatnya satu persatu lalu dia berikan pada Ara.
Ara menerima obat itu dengan cemberut dan terpaksa.
Gevan menempelkan tangannya di kening Ara.
"Udah gak sepanas tadi pagi," ucap pria itu.
"Iya lah! Aku tuh kalau sakit gak bisa lama-lama!" sahut Ara. Dia langsung memakan baksonya setelah menelan obat.
Gevan tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap rambut Ara.
"Jangan sakit lagi, ya. Saya khawatir."
***
LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘