NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan yang Tak Terlihat

Rafael masih terdiam di lantai kamarnya. Napasnya belum sepenuhnya normal setelah kejadian yang baru saja terjadi. Ruangan di sekitarnya terasa hampa, tapi perasaan aneh masih menghantui benaknya. Suara bisikan yang tadi memenuhi kepalanya kini hanya menjadi gema samar, tetapi bayangan tentang makhluk yang muncul di sudut ruangan masih jelas terukir di pikirannya. Dia memalingkan pandangan ke arah topeng yang tergeletak di lantai, ngeri melihatnya. ‘Apa itu tadi?’ pikirnya.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Rafael, sarapannya udah siap, Nak,” suara lembut Bik Minah terdengar dari balik pintu. Rafael tersentak, hampir lupa bahwa dia masih ada di rumah, dalam kenyataan.

Menoleh ngeri ke arah topeng itu, Rafael merasakan dorongan kuat untuk menjauh. Dia bangkit dengan cepat, meninggalkan topeng itu tergeletak begitu saja di lantai. Tanpa berani melihatnya lagi, dia berlari keluar dari kamar, mencoba melarikan diri dari perasaan mencekam yang masih mencengkram dirinya.

Di ruang makan, Rafael duduk di meja dengan perasaan yang masih campur aduk. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Setiap detik terasa seperti mimpi buruk yang belum usai. Tangannya bergetar sedikit saat menyentuh sendok, tapi kepalanya terus kembali pada kejadian di kamarnya. ‘Makhluk itu... apa itu nyata?’ bisiknya dalam hati. Dia merasa seolah-olah sedang mengalami sesuatu yang terlalu sulit untuk dijelaskan.

Bik Minah yang memperhatikan gelagat aneh Rafael merasa khawatir. “Rafael, kamu kenapa, Nak? Beneran sakit?” tanyanya lembut, menghampiri dengan tatapan penuh perhatian.

Rafael menggeleng pelan, meskipun sebenarnya dia sendiri tak yakin dengan jawabannya. Dia tidak sakit secara fisik, tapi pikirannya terasa penuh, seolah ada sesuatu yang menghimpit.

Seolah mencari penjelasan, Rafael tiba-tiba bertanya dengan nada rendah, “Di rumah ini... ada hantunya gak sih, Bik?”

Pertanyaan itu membuat Bik Minah terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Hantu? Mana ada, Nak? Bibik di sini sejak kamu bayi, gak pernah ada aneh-aneh. Rumah ini aman, tenang kok.”

Tapi jawaban itu tidak membuat Rafael merasa lebih baik. Dia tetap terdiam, merenung, matanya menatap kosong ke piring yang ada di depannya. Kata-kata Bik Minah tidak cukup menghapus ingatannya tentang apa yang baru saja dia alami. Bayangan topeng itu, bisikan-bisikan, dan sosok gelap yang mengintai dari sudut kamarnya masih jelas terngiang di kepalanya. ‘Apa yang tadi kulihat... hanya halusinasi?’ pikir Rafael. Rasa takut kembali menghampirinya. Atau... mungkin benturan di kepala semalam membuatnya linglung?

Tapi ingatannya begitu nyata. Sentuhan dingin topeng di kulitnya, tekanan yang tiba-tiba ada di udara, dan bayangan makhluk yang seolah mengintainya—semuanya terasa begitu hidup, begitu dekat. Rasa takut yang mengerikan, seperti sedang diperhatikan oleh sesuatu yang tak terlihat, terus menghantuinya.

“Rafael, kalo makan jangan ngelamun,” tegur Bik Minah tiba-tiba, suaranya memecah lamunan Rafael.

Rafael tersentak, kembali ke dunia nyata. Dia mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih terbelah antara kenyataan dan apa yang baru saja dialaminya. Dengan perlahan, dia mulai makan, tapi setiap suapan terasa hambar di lidahnya. Di dalam benaknya, pertanyaan yang lebih besar muncul: Apa yang sebenarnya disembunyikan topeng itu?

***

Setelah menyelesaikan sarapan dengan pikiran yang masih kacau, Rafael memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tubuhnya terasa berat, meskipun perutnya sudah terisi. Pikirannya belum bisa melepaskan kejadian aneh pagi itu.

Begitu sampai di kamar, Rafael langsung meraih ponselnya dan menelepon Tristan, salah satu teman sekolahnya. Dia tahu, jika tidak ada alasan jelas untuk tidak masuk sekolah, papanya pasti akan meledak lagi.

“Gue nggak bisa masuk sekolah hari ini, Tris,” katanya cepat begitu Tristan menjawab telepon.

Di ujung sana, terdengar suara Tristan yang terdengar heran. “Lo kenapa, bro? Beneran cari alasan buat bolos?”

Rafael mendesah pelan, sudah menduga respons itu. “Nggak, serius. Gue habis kecelakaan.”

Tristan terdiam sebentar, lalu suaranya berubah. “Yang bener lo? Serius?”

Rafael tidak merasa dia berbohong. Semalam dia benar-benar jatuh sampai pingsan. Pagi ini pun kepalanya masih berdenyut hebat. “Iya, gue beneran jatuh sampai pingsan semalam,” jawabnya, meski sengaja menyembunyikan detil yang lebih aneh dari kejadian itu.

“Yaudah, nanti gue izinin lo ke guru,” sahut Tristan dengan nada khawatir. “Lo jaga diri, ya, Raf. Jangan ngaco.”

Setelah basa-basi singkat, Rafael menutup telepon dan membiarkan ponselnya jatuh ke atas kasur. Sejenak, dia merasa sedikit lega karena masalah sekolah bisa ditunda untuk sementara. Tapi perasaan lega itu tak berlangsung lama. Ketika matanya menyapu kamar, pandangannya kembali jatuh pada benda yang masih tergeletak di lantai—topeng itu. Masih di sana, tepat di tempat dia melemparkannya tadi.

Rasa ngeri kembali menyeruak di benaknya. Topeng itu, meskipun tidak bergerak, seakan memancarkan sesuatu yang kelam dan menakutkan. Perasaan tak nyaman semakin menyelimuti dirinya. “Tapi kalau dibiarkan di situ…”

Rafael menggeleng. Dengan cepat, Rafael meraih topeng dari lantai. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh permukaannya yang dingin. Dia tidak ingin menatapnya terlalu lama—setiap detik menatap topeng itu membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Dengan gerakan buru-buru, dia memasukkan topeng itu ke dalam laci meja belajarnya. Laci itu ditutupnya rapat-rapat, seolah berharap benda itu hilang begitu saja.

Setelah itu, Rafael melompat ke kasur. Dia membenamkan kepalanya di bantal dan menatap langit-langit, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang terus menghantui benaknya. Namun, segala hal yang terjadi pagi tadi masih terus berputar di kepalanya—bayangan sosok yang muncul ketika topeng menempel di wajahnya, bisikan-bisikan yang tidak bisa dijelaskan.

Rafael memejamkan mata, berharap kegelapan bisa membantunya menghilangkan pikiran yang mengganggu. Namun, semakin dia mencoba tenang, perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasinya tak kunjung hilang. Napasnya mulai melambat, tetapi dalam ketenangan itu, tiba-tiba sebuah suara halus terdengar—seperti ada sesuatu yang bergetar di dekatnya.

Rafael membuka matanya perlahan, jantungnya berdetak lebih cepat. Suara itu semakin jelas, berasal dari arah laci di meja belajarnya. “Laci itu… bergerak?” pikir Rafael, tidak percaya. Namun, saat dia memperhatikan lebih saksama, laci meja itu mulai bergetar, perlahan namun semakin kuat. Seakan ada sesuatu di dalamnya yang ingin keluar.

“Apaan ini…?” bisiknya, tubuhnya mulai tegang.

Getaran semakin keras. Tiba-tiba, dengan suara berderak tajam, laci itu terbuka sendiri, menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga di keheningan kamarnya. Rafael tersentak kaget, matanya membelalak, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Seperti ada kekuatan yang membuatnya membeku di tempat.

Dari dalam laci, topeng itu muncul, melayang dengan perlahan namun pasti, seperti tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Rafael menatap tak percaya, napasnya tertahan di tenggorokan. Topeng itu melayang lebih dekat, semakin dekat, hingga akhirnya tepat di depan wajahnya—seolah ingin menyatu kembali dengan dirinya. Mata kosong topeng itu menatap lurus ke dalam matanya, senyum menyeramkan diukir di bibir tipis topeng itu.

Rafael ingin berteriak, ingin bergerak, tapi tubuhnya seakan lumpuh. “Kenapa gue nggak bisa gerak?! pikirnya panik. Seluruh tubuhnya kaku, seperti dipaku ke kasur. Dadanya terasa semakin sesak, udara seolah tersedot keluar dari paru-parunya. Napasnya tercekik. Dia mencoba menarik napas, tapi tidak ada udara yang masuk. Jantungnya berdetak kencang, seolah berusaha kabur dari dadanya.

Topeng itu mendekat lebih jauh, melayang hanya beberapa inci dari wajahnya. Bisikan samar mulai terdengar lagi, memenuhi kepalanya dengan suara yang asing namun menakutkan. “Kau milikku… Kau tidak bisa lari...”

Rafael ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya semakin kaku, dan matanya mulai berair karena kurangnya oksigen. Dunia di sekitarnya berputar, menjadi gelap, semakin gelap...

Dan tiba-tiba, semuanya berhenti.

Rafael terbangun dengan napas tersengal-sengal, jantungnya berdetak kencang seolah baru saja lari maraton. Keringat dingin membasahi wajah dan lehernya, matanya masih melebar karena ketakutan. Dia terbaring di kasur, tidak bergerak selama beberapa detik, hanya mendengarkan suara detak jantungnya yang memekakkan telinga.

Itu hanya mimpi buruk.

Dia menoleh ke arah laci dengan rasa takut yang masih tersisa. Laci itu tetap tertutup, tidak ada tanda-tanda bergerak. Topengnya pasti masih di dalam, tersembunyi dari pandangan. Tapi rasa ngeri itu tidak hilang. Meski hanya mimpi, Rafael merasa seolah-olah ada sesuatu yang nyata dari kejadian tadi—seperti sebuah peringatan yang datang dari tempat yang lebih gelap daripada sekadar mimpi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!