Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Salah Sangka
Tanpa sadar aku menguras seluruh tenaga saat memukul Dave. Aku berhenti sejenak. Mengatur napas untuk memulihkan tenaga. Sedangkan si terdakwa menatapku bingung sambil berdiri berkacak pinggang.
"Sayang, kau lupa kalau aku berdarah campuran?" kalimat tanya yang lolos dari mulut Dave malah membuat emosiku kembali bereaksi.
Pertanyaan konyol macam apa itu? Hal yang tidak harus dia tanyakan. Aku menatapnya tajam atas jawaban dari pertanyaannya. Melihat tingkahku yang masih dalam mode cemburu membuat Dave meneruskan kalimatnya.
"Laura keponakan mama. Anak dari adiknya yang tinggal di Paris."
Kedua netraku membulat. Aku mencerna kalimat yang diucapkan Dave. Tidak mungkin Dave berbohong. Apalagi bawa-bawa mama Melani.
"Masa kau lupa? Waktu kita menikah dia juga hadir," timpal Dave.
Pria tampan itu masih menatapku. Menanti kepastian dari penjelasannya. Aku berusaha mengingat acara pernikahan kami lima tahun lalu. Memang ada beberapa kerabat yang berbeda warna kulit hadir di acara pernikahan kami.
"Ah, kenapa dulu aku tidak memperhatikan tamu-tamu yang hadir!" kesalku dalam hati.
Dave merogoh saku celana dan mengeluarkan benda pipih persegi panjang miliknya. Ku lihat jemarinya sibuk berselancar di atas layar ponsel.
"Ini!" seru Dave sambil memperlihatkan sebuah gambar dari ponsel.
Aku dan Dave berdiri di pelaminan diapit oleh seorang gadis muda dengan rambut cokelat sebahu berdiri di sampingku. Bahkan, kami saling berpelukan dan kedua orangtuanya berdiri di samping Dave.
Lalu Dave beralih ke gambar yang memperlihatkan seorang wanita cantik yang sama persis dengan foto yang dikirim oleh sahabatku tiga hari yang lalu. Bedanya gambar di ponsel Dave menunjukkan mereka sedang makan malam dengan kedua orang tua wanita itu.
Laura memang terlihat jauh berbeda dari lima tahun yang lalu. Mungkin dulu karena dia tidak berdandan. Aku tersenyum malu. Aku tertunduk sambil memainkan ujung bantal. Salahku juga karena dulu tidka mendekatkan diri dengan keluarga mama Melani. Mau bagaimana lagi? Hatiku senang bukan kepalang saat itu karena bisa menikah dengan lelaki pujaan hati.
"Ma_maaf," ucapku terbata.
Dave langsung memelukku erat dan mengecup puncak kepalaku.
"Lain kali jika kau mendapat kiriman foto yang aneh-aneh sebaiknya bicarakan dulu denganku baik-baik, ok!" pinta Dave lembut.
Aku mengangguk setuju. Bibirku kelu setelah tadi mencecarnya karena terbakar cemburu.
"Mengapa kau pulang? Biasanya kau makan siang di kantor," aku baru sadar Dave pulang lebih awal.
"Tentu saja untuk menyelesaikan masalah kita. Kau tahu? Rasanya aneh bertengkar seperti ini," jelas Dave sambil tertawa kecil.
Aku mengangguk lalu mulai tertawa. Menertawai kebodohan yang kulakukan. Sungguh bibir berucap sangat gampang. Nyatanya begitu diuji sedikit, aku langsung murka.
Dulu sekali saat aku masih remaja. Aku pernah berucap, "Tidak masalah jika nanti Dave akan memiliki banyak istri tapi yang terpenting aku adalah istri pertamanya. Dia anak tunggal, sangat wajar jika ingin memiliki banyak keturunan jika aku tidak mampu."
Begitulah kira-kira yang aku ucapkan. Ternyata benar, ucapan adalah doa. Untung saja Yang Maha Kuasa memberi sentilan. Coba jika wanita itu benar-benar wanita simpanan Dave.
Tak dapat kubayangkan bagaimana perasaanku. Tentunya nasib rumah tanggaku berada di ujung tanduk. Aku perbanyak istigfar dalam hati. Bertobat dengan ucapanku tanpa pikir panjang dulu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," ucapku.
Dave menghela napas lelah. Mungkin selama tiga hari yang lalu, aku tanpa sengaja telah membuat pikirannya susah hingga membuatnya tampak frustasi.
"Kau sendiri yang tidak ingin tinggal di mansion dan memilih rumah sederhana ini."
"Apa hubungannya?" aku mendongak.
"Aku memasang cctv untuk keamanan. Jika ini mansion tentunya ada banyak penjaga dan pelayan yang dapat melaporkan tentang keadaan rumah."
Aku terkejut mendengarnya. Sepengetahuanku di rumah ini tidak ada cctv. Kapan Dave memasangnya?
"Aku memasangnya saat kau pergi tiga hari yang lalu. Aku tidak ingin seperti orang bodoh yang tidak tahu kemana istrinya pergi setelah keluar dari pagar rumah," jelas Dave dengan nada mengejek.
"Ada-ada saja," balasku sambil mencubit perutnya.
"Ouch! Sakit sayang!" ringis Dave.
"Itu akibat untukmu. Urusan kita sudah selesai. Ayo, makan! Kau pasti lapar," aku menuntun Dave menuju ruang makan.
Satu bulan usai kejadian salah sangka itu, keadaan rumah tangga kami membaik. Semua kembali seperti semula. Bedanya selama sebulan terakhir aku tidak lagi mengantar makan siang untuk Dave.
Semenjak pulang dari villa, Carla sedikit cerewet. Sesekali dia merengek minta bertemu dengan bi Ijah. Wanita paruh baya itu berhasil mendapatkan perhatian putri kecilku. Bi Ijah sosok yang penyayang, lemah lembut, dan senang mengajari Carla hal-hal yang baru. Mungkin itu yang membuat Carla menyukainya.
Untuk itulah, aku berusaha mengibur Carla agar tidak terlalu mencari bi Ijah. Sebenarnya gampang saja, aku tinggal meminta bi Ijah untuk tinggal bersama kami dan mengurus Carla. Akan tetapi, bi Ijah memiliki sebuah tanggung jawab yang harus dia jalankan. Putri bungsunya mengalami kelumpuhan usai kejadian tabrak lari yang dialaminya dua tahun lalu saat hendak pergi ke sekolah.
Kebetulan rumah bi Ijah tidak begitu jauh dengan villa. Jaraknya sekitar dua kilo meter. Cukup memudahkan bi Ijah untuk bolak-balik merawat putri bungsunya. Meski ditinggal bersama kerabat dekatnya, tetap saja bi Ijah tidak enak hati membiarkan putrinya begitu saja.
Jadilah, aku berusaha semaksimal mungkin untuk mengalihkan kerinduan Carla pada bi Ijah. Caraku cukup berhasil. Dengan sering menemaninya bermain dan melakukan aktivitas lainnya bersama. Hingga Carla kembali seperti sedia kala.
Beberapa hari terakhir, perubahan Carla semakin membaik. Gadis kecil itu sudah bisa aku tinggal bersama Maya meski sebentar. Untuk itu, hari ini aku berencana untuk menghampiri Dave dengan membawa makan siang untuknya. Aku yakin Dave pasti terkejut dan senang akan kehadiranku.
Semua perbekalan sudah siap. Carla juga sedang asyik bermain di kamarnya bersama Maya. Akupun berlenggang menuju teras depan di mana pak Ujang telah siap untuk mengantarku ke perusahaan Wiratama. Dari rumah ke perusahaan membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit jika jalan raya lancar.
Waktu yang cukup membuatku berkhayal membayangkan reaksi Dave saat aku tiba. Aku sengaja tidak memberitahunya. Tanpa terasa, mobil yang ku naiki telah memasuki halaman depan perusahaan. Aku meminta pak Ujang untuk segera pulang sebelum turun dari mobil. Aku ingin pulang bersama Dave nanti.
"Selamat siang nyonya," sapa pak Rody yang merupakan salah satu petugas keamanan di depan.
"Selamat siang pak," jawabku tersenyum sambil melewatinya.
Aku berbelok ke kiri menuju lift khusus yang selalu digunakan Dave. Urutan angka bercahaya bergantian di setiap lantai yang dilewati.
Ting
Pintu lift terbuka tepat di bagian depan ruangan Dave. Aku keluar dan melihat Dara yang tak lain adalah sekretaris pribadi suamiku. Gadis muda itu tersenyum saat menyapaku. Dia hendak mengabari atasannya bahwa aku berada di depan ruangannya. Namun, aku menggagalkan rencananya.
"Jangan diberitahu!" perintahku dengan suara lembut.
Dara tersenyum lalu berkata, "Baik nyonya."
"Ada tamu ngga?" tanyaku lagi.
"Sepertinya ngga ada nyonya," jawab Dara singkat.
"Ok. Saya masuk ya," ucapku langsung saja memasuki ruangan Dave.
"Eh, tapi tadi saat aku ke toilet kayaknya ada yang masuk ke ruangan pak Dave deh!" Dara mengetuk kening berusaha mengingat.
Namun, si nyonya muda sudah masuk lebih dulu. Dara memainkan bahunya tanda tak peduli. "Palingan juga pak Roy, asistennya pak bos," ucapnya sendiri.
Aku berdiri sesaat di depan pintu sebelum masuk ke ruangan Dave. Sayup-sayup kudengar ocehan Dara. Aku tersenyum lalu membuka pintu yang tidak terkunci itu.
"Sa..."
Bruk
Aku jatuh pingsan saat melihat pemandangan di depan mata.