Terjebak dalam kesalahpahaman di masa lalu, menyebabkan Lauren dan Ethan seperti tengah bermain kejar-kejaran di beberapa tahun hidup mereka. Lauren yang mengira dirinya begitu dibenci Ethan, dan Ethan yang sedari dulu hingga kini tak mengerti akan perasaannya terhadap Lauren. Berbagai macam cara Lauren usahakan untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu, namun berbagai macam cara pula Ethan menghindari itu semua. Hingga sampai pada kejadian-kejadian yang membuat kedua orang itu akhirnya saling mengetahui kebenaran akan kesalahpahaman mereka selama ini.
“Lo bakal balik kan?” Ethan Arkananta.
“Ke mana pun gue pergi, gue bakal tetap balik ke lo.” Lauren Winata.
Bagaimana lika-liku kisah kejar-kejaran Lauren dan Ethan? Apakah pada akhirnya mereka akan bersama? Apakah ada kisah lain yang mengiringi kisah kejar-kejaran mereka?
Mari ikuti cerita ini untuk menjawab rasa penasaran kalian. Selamat membaca dan menikmati. Jangan lupa subscribe untuk tahu setiap kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Choi Jaeyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Entah Sampai Kapan
"Gimana Ra, ada info nggak?”
"Gue mah ada trus info, lo nya aja yang kapan balik lagi?" Yara menyandarkan punggungnya ke dinding. "Semua orang dah nungguin lo, Ren."
Lauren terkekeh, menghisap rokok elektriknya dan menghembuskan asapnya kemudian. "Jatuhnya alay banget, segala nungguin gue."
Sudah tak terhitung berapa kali Lauren menghisap rokok elektriknya itu, sejak dia dan Yara memilih duduk santai di taman belakang kampus. Memang sudah jadi kebiasaan kedua gadis itu, teruma Lauren sendiri yang harus segera menuntaskan kebiasaannya itu saat waktu istirahat. Teman-temannya pun tidak heran lagi dengan Lauren yang seorang perokok, bahkan Gevan dan Geo. Karena Lauren sendiri tidak ada takutnya menyembunyikan fakta kalau dia seorang yang kecanduan merokok.
Jika tak salah, awal mula Lauren mengenal rokok waktu dia masih SMA tepatnya di kelas 11. Dia sangat penasaran dengan rokok yang selalu dihisap oleh teman-teman laki-lakinya secara diam-diam di sekolah. Hidup cuma sekali, apa salahnya untuk mencoba menghisap rokok itu sekali saja pikir Lauren. Dari rasa penasaran itulah, gadis itu sampai sekarang kecanduan merokok. Hanya saja dia menggunakan rokok elektrik, alih-alih menggunakan rokok biasa.
Lalu bagaimana Gevan dan Geo bisa tahu, tetapi tidak melarang Lauren? Jangan salah, Lauren sempat membuat ayah dan kakaknya itu mendiamkan dirinya karena ketahuan merokok. Dia sendiri yang terlalu nekat, merokok di balkon kamarnya yang notaben nya bersebelahan dengan balkon kamar Geo. Kakaknya yang punya kebiasaan memanggil-manggil Lauren dari balkon pada malam hari, spontan mengamuk saat melihat adiknya yang tengah duduk santai dengan rokok elektrik bertengger di tangannya.
Pada malam itu pula, Lauren dihakimi oleh Gevan dan Geo. Tidak terlalu kejam, Gevan hanya menanyakan alasan kenapa Lauren bisa mendapatkan dan bisa menghisap rokok tersebut. Berbeda dengan Geo, laki-laki itu duduk di hadapan Lauren dengan wajah yang merah padam karena menahan emosi. Jika tidak dilarang oleh ayahnya, rokok elektrik yang ditangan Lauren akan dia hancurkan begitu saja.
"Aku belinya pake duitku sendiri, dan alasan kenapa aku bisa ngerokok? Ya karena aku penasaran aja, trus nyoba dan akhirnya keterusan."
Sederhana, tapi Geo marah. Pertanyaan Gevan yang Lauren jawab dengan ekspresi santai, mampu menyulut emosi Geo. Tetapi kembali Gevan cegah, dengan alasan hal ini tidak baik dibicarakan dengan emosi yang berlebihan seperti itu. Setelah melewati pembicaraan serius, Gevan pun memperingati Lauren agar segera menghentikan kebiasaannya itu. Itu tak lain Gevan lakukan, karena ayah mana yang tega melihat kesehatan anaknya terganggu akibat kecanduan yang diakibatkan rokok.
Tapi kembali lagi ke diri Lauren, dia sama sekali tidak menghiraukan larangan Gevan dan tetap saja nekat merokok. Gevan pun dibuat resah dengan kelakuan putrinya sendiri, akhirnya dia memilih alternatif lain dengan cara memotong uang sakunya Lauren. Hampir satu bulan Gevan melakukan hal tersebut, tetapi semakin ke sana Lauren semakin ke sini. Gevan saja terheran-heran, walau sudah dipotong uang sakunya Lauren tetap saja merokok dan tetap seperti biasanya. Dia jadi bertanya-tanya, dimana anak itu mendapatkan uang selain darinya?
Satu bulan berlalu, akhirnya Gevan pun menyerah terhadap Lauren. Tepat saat Lauren berada di balkonnya untuk merokok, Gevan datang menghampiri dan memberikan sisa uang saku yang dipotongnya selama satu bulan.
"Cieee, koruptor akhirnya bertanggung jawab yaa sama anak satunya lagi."
Mengingat ucapannya malam itu kepada ayahnya, Lauren terkekeh kecil yang tentunya membuat Yara keheranan.
"Habis obat lo, Ren?"
Lauren tersadar, lalu memutar bola matanya malas. "Sampah banget tu mulut."
Bukannya marah, Yara malah terkekeh. "Dah lah, daripada lo ketawa-ketawa sendiri begitu. Mending pastiin aja deh, lo kapan bisa balik lagi."
"Kayaknya minggu ini gue bisa balik deh."
"Jangan pake kata kayaknya lah, Ren. Pastiin yang benar-benar, biar gue bisa lanjut kasih info ke mereka."
Asap yang kesekian kalinya keluar dari mulut Lauren. "Ya lo tau sendiri abang gue gimana. Setelah kejadian itu, dia jadi over protektif dan nggak ngebolehin gue balik lagi."
"Dih. Sejak kapan, lo nurut sama abang lo. Cupu lo sekarang?"
"Bangsat lo Ra, keknya bener-bener minta dihajar," tidak serius, Lauren berucap demikian sambil tertawa kecil. "Bukan masalahnya gue nurut atau nggak, ngambeknya abang gue kek cewek puber anjir," gadis itu meluruskan kedua kakinya jenjangnya. "Lo kan pernah gue ceritain. Kalo abang gue pernah sebulan mogok ngomong sama gue, hanya karena gue ketahuan ngerokok."
"Ah, iya iya. Gue inget," kali ini Yara tertawa hingga menampakkan gummy smilenya. "Lo jadi repot buat lakuin apa pun, biar abang lo akhirnya berhenti mogok ngomong kan?"
"Nah itu, anjir. Gue takutnya kejadian lagi, entar gue yang repotnya cuk."
"Iya deh, terserah lo aja. Tapi kalo bisa, secepatnya ya pastiin. Biar kita nggak kere-kere amat, gara-gara lo udah istirahat lama."
"Aelah Ra, kek orang miskin banget lo. Bokap lo noh, manajer perusahaan besar. Nggak bakal miskin lo, tanpa ngelakuin bisnis kita."
"Iya sih, tapi keperluan buat perawatan kesayangan gue kan banyak. Jadi perlu duit lebih juga lah, kampret," kesayangan yang Yara maksud itu adalah motor sport miliknya.
Lauren tersenyum, kemudian berdiri. "Hooh hooh. Gue bakal pastiin secepatnya deh, lo tenang aja."
"Nah, gitu dong. Ini baru yang namanya bestie gue," Yara melompat dan memeluk tubuh Lauren.
...*****...
Sore hari jalanan mulai dipadati oleh kendaraan yang lalu lalang. Memang sekarang waktunya orang-orang pulang dari lelahnya bekerja seharian, wajar saja jika jalanan dipenuhi kendaraan baik itu kendaraan beroda empat maupun roda dua.
Hal itu juga dirasakan Lauren yang baru saja pulang. Sebenarnya pukul 16.00 yang lalu gadis itu sudah pulang dari kampus, hanya saja dia ingin pulang terlambat dan pergi ke bengkel milik kakaknya sendiri, Geo. Iya, laki-laki itu memang memiliki bisnis bengkel yang sudah setahun lebih dia jalani. Kesukaannya terhadap motor sport, membuatnya tertarik untuk membuka bisnis bengkel. Ditambah lagi Gevan sangat mendukung keinginannya tersebut, jadi Geo pun sangat bersemangat menjalani bisnis itu hingga sudah berjalan satu tahun lebih.
Jadi bengkel itulah tempat yang biasa Lauren singgahi jika pulang dari kampus, dan memang lokasinya tak jauh dari situ. Selain tempat itu nyaman untuk bersantai bagi Lauren, dia pun memanfaatkan tempat tersebut untuk sesekali memeriksa motor sport nya sendiri. Hitung-hitung service motor secara gratis kata Lauren. Meski pun terkadang Geo mengeluhkan hal itu, dia sama sekali tidak mempedulikannya. Dasar adik durhaka.
Kini Lauren sudah sampai di depan komplek perumahannya, tapi ada satu hal yang menarik perhatiannya dan mengharuskan dirinya untuk singgah.
"Mie ayam, neng?"
"Iya bang, mie ayamnya 3 bungkus ya. Minta tolong, kuahnya pisah aja."
"Siap neng, tunggu sebentar ya."
Yup, hal yang menarik perhatian Lauren adalah abang tukang bakso dan mie ayam yang memang berjualan di depan komplek perumahannya. Mungkin bisa dibilang abang-abang ini langganannya Lauren membeli mie ayam.
"Bang, baksonya satu ya. Makan disini aja."
Lauren sedikit tersentak, suara familier yang baru saja dia dengar langsung membuatnya tak nyaman. Saat dia tak sengaja melirik ke arah sumber suara, ternyata orang itu juga menatap ke arahnya. Walaupun saat ini Lauren tengah memakai helm full face, tidak menutup kemungkinan bahwa orang itu mengenalnya.
Tatapan tajam itu, sampai sekarang tatapan itu masih sama. Walau berapa lama waktu yang berlalu, nyatanya orang itu masih sama seperti dulu. Sikapnya yang dingin, dengan tatapan matanya yang tajam menyimpan dendam besar di dalamnya. Sebenarnya Lauren tahu, hal yang menyebabkan orang itu memendam hal menakutkan di dalam dirinya.
Tetapi dia heran, sampai kapan orang itu harus memendam semuanya sendirian seperti itu? Kapan orang itu bisa berdamai dengan masa lalu? Atau orang itu memang tidak berniat berdamai, sekalipun itu berdamai dengan dirinya sendiri? Seketika pertanyaan-pertanyaan tersebut melintas di kepala Lauren.
"Sampai kapan lo harus begini, Ethan?"