Cinta Sejati Sang Pewaris

Di sebuah rumah megah, Arsen tampak berjalan masuk dengan gagahnya. Beberapa pelayan langsung berbaris dan sedikit membungkukkan kepala hormat, menyambut kedatangan satu-satunya pewaris keluarga Harrington.

"Di mana Kakek?" tanyanya saat pintu utama dibuka, ia membenarkan pakaian dan melepas kacamata hitam yang tadi bertengger di wajahnya yang tampan namun datar itu.

"Tuan Besar sedang berada di ruang baca, menunggu Tuan Muda datang," jawab seorang pengawal. Arsen langsung melangkahkan kakinya ke ruang baca, melewati lorong-lorong yang begitu panjang.

Di sana, di dalam ruang baca, Kakeknya, Areef Harrington tengah berdiri menatap ke luar jendela sambil memegang buku. "Bagaimana kabar, Kakek?" sapa Arsen sambil menghampiri Kakeknya.

"Kau terlambat 5 menit, Arsenio Harrington" Areef meletakkan bukunya kembali ke meja, lalu menatap lurus ke arah cucu satu-satunya.

"Ayolah, Kakek, hanya 5 menit. Aku terjebak macet di jalan tadi. Kakek seperti tidak tahu saja bagaimana padatnya Ibukota," sahut Arsen, ia menyalami tangan Kakeknya itu, hormat.

"Bagaimana bisa kau jadi pewaris jika tidak menghargai waktu?" sindir Areef sambil menggelengkan kepalanya, sedangkan Arsen hanya mengangkat bahunya, acuh.

"Maaf, Kakek. Lain kali aku janji tidak akan telat dan akan lebih menghargai waktu," ujar A Arsen kemudian ia memapah Kakeknya untuk duduk. "Bagaimana kabar Kakek akhir-akhir ini?" tanyanya, lalu berjongkok di hadapan Kakeknya.

Arsen meletakkan kepalanya di atas lutut Areef, dengan perasaan sayang Kakek yang berusia hampir 85 tahun itu mengusap pucuk kepala cucu satu-satunya.

"Apakah kau tidak ada hal lain untuk ditanyakan pada Kakek, Arsen? Kau pun tahu usia Kakek mungkin tinggal menghitung hari"

Arsen mendongak, "Kakek! Kakek jangan berkata begitu. Arsen selalu berdoa agar Kakek panjang umur dan sehat selalu." Lengan Arsen beralih memijat pelan kaki Areef. "Hanya Kakek, keluarga Arsen satu-satunya, tolong jangan berkata begitu, Kek"

Areef tersenyum singkat. "Berapa usiamu sekarang, Nak?" tanya Areef tiba-tiba yang membuat Arsen menghentikan pijatannya.

"25 tahun," jawabnya yang membuat Kakeknya itu mengerutkan keningnya. "Oke, maaf, 28 tahun bulan November nanti."

"Usiamu sudah cukup matang untuk menikah, bukan?" pertanyaan Areef itu sukses membuat Arsen tersentak.

"Kakek, ayolah. Jangan bahas ini, aku tidak ingin menikah!" sergah Arsen tak suka, tiap kali ia bertemu Areef, yang dibahas Kakeknya itu pastilah bujukan untuk menikah.

Areef sejujurnya memaklumi keengganan Arsen untuk menikah. Perceraian orang tuanya 10 tahun lalu pasti membawa luka mendalam terhadap laki-laki berusia 28 tahun itu.

Namun, di sisi lain, ia juga mengkhawatirkan cucunya. Semua orang pasti butuh pendamping hidup, termasuk Arsen. Ia tak ingin Arsen seperti dirinya yang kesepian selama bertahun-tahun.

Saat muda dulu, ia juga seperti Arsen sekarang, menganggap pernikahan bukanlah sesuatu yang penting. Tapi, semakin usianya habis ditelan waktu, ia memahami.

"Setiap orang membutuhkan seseorang untuk menemani sisa hidupnya, Arsen. Percayalah, Nak, bersama seseorang yang tepat, hidupmu akan terasa lebih berharga," ujar Kakeknya, Arsen terpaku.

"Kalau menikah membuat orang bahagia, kenapa Ayah dan Ibuku berpisah, Kek?" akhirnya, pertanyaan yang mengusik kepalanya sejak 10 tahun lalu keluar juga.

Areef tampak menghela napasnya sejenak sebelum membuka suara, Arsen menatapnya serius, menantikan jawabannya.

"Kau tahu, Nak? Kadang dunia pernikahan itu lebih rumit dari dunianya orang dewasa. Banyak hal yang harus kau pahami di dalamnya. Yang dapat Kakek katakan, menikahlah agar kau bisa mengalaminya sendiri. Menikahlah dengan orang yang tepat."

"Sebab bersama dirinya lah, kamu akan menghabiskan sisa waktu. Kau juga pasti tahu, menikah bukan hanya untuk satu atau dua hari, satu bulan, dua bulan, setahun atau sepuluh tahun. Tapi untuk seumur hidup. Dan seumur hidup itu sangat lama, Nak."

"Maka, pilihlah dia yang dapat membantumu belajar setiap hari, yang dapat memahamimu dengan baik, yang mau menemanimu melewati semua suka-dukamu. Menikah itu indah, Arsen, jika bersama orang yang tepat."

Arsen serius mendengarkan, wajahnya tertunduk. Sebelumnya ia memang tak pernah belajar arti pernikahan yang sesungguhnya. Yang ia lihat, pernikahan orang tuanya hancur, dan ia tak mau mengulangi hal itu.

"Kakek tidak memintamu untuk menikah secepatnya, Nak. Kakek hanya ingin kau berusaha mencari cinta sejatimu lalu menikah dan bahagia, itu saja."

"Tentu jika kau tidak ingin menikah, itu adalah keputusanmu. Kakek tidak akan berkomentar, tapi pikirkanlah kembali ucapan Kakek tadi."

Arsen menyugar rambutnya ke belakang, merasa bingung.

"Akan Arsen pikirkan baik-baik, Kek." Areef merenda senyumnya indah. Ia mengusap kepala Arsen sekali lagi.

"Kau tahu tidak, melihatmu Kakek seperti melihat Ayahmu waktu muda. Bedanya, Ayahmu itu suka sekali berkencan, sedangkan kau, Kakek tidak pernah melihat pun satu wanita yang mendekatimu."

Arsen mengedikkan bahunya, "Mana aku tahu? Aku tidak suka membuang waktu dengan hal-hal semacam itu." Areef tertawa.

Areef menepuk-nepuk bahu cucunya itu pelan. "Arsen, gunakan wajah tampanmu dengan baik, Nak. Perempuan akan luluh jika diberi perhatian dan kasih sayang. Untuk apa memiliki wajah tampan tapi sikapmu dingin, perempuan mana yang akan tertarik?"

"Kakek! Berhentilah menggodaku seperti itu," protes Arsen. Kakeknya itu gemar sekali meledeknya. Areef tertawa membuat Arsen bersungut dalam hati.