Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Keyakinan Yang Tumbuh
Sabil tidur dalam terjaga, tidak benar-benar lelap. Pikirannya terus bekerja, terutama Hania terus menguasai isi kepalanya. Alarm berbunyi, tandanya ia harus kembali pada realita. Tubuhnya bergerak secara otomatis tanpa perintah dari otak dan hatinya, melakukan aktifitas normal seperti sudah terinstal oleh sebuah sistem, tanpa ada perasaan yang tertinggal di sana.
Kemeja biru langit ia kenakan, dasi berwarna navy melingkar di lehernya dengan ketat. Ia duduk di depan meja makan dengan cangkir kopi yang masih mengeluarkan uap panas dan kabut tipis meliuk di atasnya. Matanya hanya tertuju ke sana tapi tidak dengan pikirannya.
Dia diam, dalam keheningan yang tajam.
Suara kesibukan maid, bude Sunti dan celoteh lucu Jordan di sekitarnya, tidak mempengaruhi pikirannya yang penuh dan berisik, tapi hatinya merasakan keheningan yang beku, dingin dan menusuk.
Suasana ruang kerjanya pagi itu.
Ia membuka laptop, membuka buku jurnal pasien, membuka map demi map persetujuan anggaran, juga rekam medis setiap pasien dengan tubuh yang otomatis bergerak. Ia mendengarkan keluhan pasien dengan tatapan kosong, tanpa ekspresi, tangannya mencatat keluhan, menulis resep, mengeluarkan pertanyaan template "ada alergi obat?"
Tapi ia tidak benar-benar peduli dengan semuanya.
Di ruang rapat, proyektor menyorot layar putih menampilkan materi presentasi dari para koas, berlanjut laporan di ruang OKA mengenai operasi yang dua jam lagi akan ia laksanakan, semua berjalan seolah sempurna. Dia menyimak, mendengarkan dalam diam. Tapi tidak benar-benar menaruh jiwanya di sana. Hanya gerakan statis yang secara otomatis bekerja.
Semua suara terasa menggema dalam ruangan bercampur suara desis udara AC yang menyala memenuhi ruang.
Saat keluar ruang rapat, tidak sengaja berpapasan dengan Wina. Wanita itu menatapnya dengan sorot mata masih menyimpan amarah. Kata-kata Wina kemarin menggema lagi di kepalanya.
"Kamu mengekangnya, kamu membuat dia sulit bernapas, kamu hanya menempatkannya dalam sangkar. Dia lari darimu!"
"Apa benar kamu lari dariku, Hania. Kamu tertekan hidup bersamaku?" gumam Sabil yang kini berdiri di balkon rumah sakit, menatap langit mendung yang menggantung rendah.
Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebatang rokok, kebiasaan yang sudah lama sekali tidak pernah ia lakukan. Rambut berantakan, acak-acakan. Wajah kusut dengan keheningan yang terbaca.
Dia se-kacau itu, tanpa Hania.
Para perawat yang masih sering curi-curi pandang padanya melihat perubahan dokter tampan idola mereka. Keadaan itu menimbulkan persepsi bahwa dokter tampan mereka sangat terpukul atas kematian istri yang hampir ia ceraikan. Semua merasa iba, tidak sedikit juga yang menghujatnya diam-diam, mereka berpikir Sabil menyesali dan menyadari mencintai sang istri setelah orangnya telah tiada.
Tidak pernah ada yang tahu jika isi kepalanya hanya penyesalan tentang kehilangan Hania, bukan kematian Nisa.
Keluar dari ruang operasi, dia menemui keluarga pasien.dan mengatakan, "operasi berjalan dengan baik, pasien akan sadar setelah tiga jam."
Keluarga pasien mengucap syukur, berterima kasih dengan tatapan haru. Tapi Sabil membalasnya dengan anggukan singkat, bibir terkatup rapat, wajah datar tanpa senyuman lega. Dia berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya. Merebahkan tubuhnya di atas sofa, tanpa melepas baju scrub ruang OKA.
Sebelah tangannya ia tekuk di atas wajahnya. Perlahan tangan itu bergerak gemetar disertai isak tangis dengan rintihan rapuh, jiwanya runtuh dalam keheningan ruangan yang membeku.
"Aku hancur tanpamu, Hania," bisiknya lirih.
...***...
Di sebuah gedung pencakar langit.
Hania duduk terdiam menatap langit gelap yang sedang menangis sendu. Rintiknya menampar dinding kaca yang memisahkan ruang hangat dengan dunia luar yang kacau karena badai sedang melanda. Wajahnya masih pucat dan sorot matanya sendu membayangkan harapan yang perlahan pudar, luruh dan hancur. Ia meremas ujung piyamanya yang terbuat dari bahan sutra lembut.
Ia bergumam...
"Innallaha 'alimun bijaatishuduur ... Aku menerima keadaan yang Engkau berikan tanpa menyalahkan kenyataan. Sebab hidup bukan tentang menghindari luka, tapi belajar berdamai dengan rasa sakit yang tidak bisa ku hindari. Surrender (berserah diri) bukan berarti menyerah tapi memilih untuk tetap berjalan. Meski arah angin tidak lagi berjalan sesuai dengan pengharapan, semua orang sedang bertempur dengan takdirnya masing-masing. Aku, Wina, mas Sabil dan juga Raditya ... Semua orang. Bangkitlah wahai diriku, tanpa siapapun di sampingmu."
(Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Al Imran; 100)
Suara pintu kayu terbuka. Hania tidak menoleh, tapi ia tahu siapa yang masuk. Aroma parfumnya bisa ia hapal dalam satu hari. Tapi aroma kali ini murni musk yang warm, tanpa aroma perona pipi, aroma cushion dan aroma lipstik. Itu artinya, Raditya sedang hadir bukan Tya.
"Bonekaku ... " panggilnya pelan.
"Di luar sedang badai, aku tidak tahu jam berapa dan hari apa sekarang. Bolehkah aku meminjam handphone-mu?" tanya Hania membuka obrolan.
Mata Raditya membulat dan berbinar, ia senang mendengar suara bonekanya yang merdu. "B-boleh ... Kamu mau telepon siapa? Keluargamu? Kamu minta dijemput untuk pulang? Kamu —" Raditya menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak! Kamu tidak boleh pulang!" jawabnya panik dan napasnya memburu.
Hania memutar tubuhnya masih duduk di depan dinding kaca.
"Duduk sini ... Kita ngobrol sambil memandang hujan badai." Hania menepuk sisi sebelahnya yang kosong dengan lembut.
Raditya ragu. Tubuhnya kaku memandang 'boneka' hidupnya yang bergerak begitu nyata.
"Sini ... " lagi, Hania menepuk sisi sebelahnya.
Raditya melangkah perlahan, lalu duduk malu di samping Hania. Gadis itu memandanginya dengan kagum, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan Raditya.
"Aku lebih suka penampilan kamu yang seperti ini. Lebih nyata dan manusiawi. Kamu ternyata Le-la-ki. Tetap seperti ini ya, aku tidak takut lagi padamu," ucapnya disertai senyum manis.
Hania ingat kata janji Arman, Papa Raditya, jika bisa mengembalikan Raditya menjadi sosok lelaki, maka ia akan membayar semua usaha Hania. Memberikan semua yang Hania butuhkan, rumah, pekerjaan dan fasilitas hidup yang Hania inginkan.
Hidup harus realistis bukan?
Hania memutuskan untuk melanjutkan hidup, tidak ingin lagi tenggelam dalam kesedihan akan kehilangan. Ia tidak ingin tagihannya menjadi beban Sabil, ia tidak ingin rumah kenangannya dibeli Sabil. Ia butuh uang yang banyak. Ia harus bangkit dan berkembang, demi melanjutkan 'jatah hidup' yang tersisa.
Raditya berkedip singkat saat melihat senyum Hania. Seakan jika ia berkedip lama, senyuman itu akan lenyap dari wajah Hania.
"Namaku Hania, panggil Nia. Aku manusia bukan boneka. Aku hidup, aku bernapas, aku bisa nangis dan sedih, aku juga bisa bernyanyi, aku bisa tertawa dan aku bisa menjadi temanmu, menjadi sosok Tya yang ada dalam diri kamu. Kamu cukup menjadi Raditya, seperti ini, gagah, tampan, energik, cerdas dan menjadi Presdir handal yang sanggup menjalankan kerajaan bisnis keluargamu." Hania menarik napas sebentar.
"Kita berteman? Mau?" tanyanya.
Raditya mengangguk ragu. Namun akhirnya dia tersenyum lebar. Ia menyodorkan kelingkingnya di depan wajah Hania, gadis itu menyambutnya. Mereka menjalin dua kelingking mereka dengan tawa renyah.
"Teman." Raditya bergumam pelan.
"Teman," beo Hania. "Juga sahabat dan Tya," jawab Hania. "Ingat ya, Tya yang ada dalam dirimu akan aku perankan. Kamu berperan menjadi Raditya, sang Presdir!" Hania menunjuk dada Raditya dengan pelan.
"Kamu Tya, aku Radit. Oke, oke aku mau ... aku mau. Aku setuju!" Radit mengetuk pelipisnya seakan memasukan memori yang baru saja ia masukkan melalui jarinya ke dalam kepala.
"Baiklah Presdir, ini sebuah perjanjian bisnis di antara kita. Ayo buat aturan dan perjanjiannya, aku sudah tidak sabar menerima honor pertamaku!" Hania menaikkan dagunya dengan lucu.
"Perlu pengacara pribadiku datang ke sini?" tanya Raditya.
"A-ah, tidak! Ini sudah malam, di luar sedang badai. Presdir juga harus manusiawi. Kamu tidak boleh semena-mena dengan bawahan. Aku pernah menjadi asisten CEO, sangat kesal kalau disuruh datang tengah malam di saat tubuhku butuh istirahat."
"Jadi gimana?" tanya Raditya bingung sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Selama ini dia tinggal tunjuk dan perintah, tanpa berpikir, orang lain yang bergerak dan berpikir yang terbaik untuknya, untuk perusahaan nya.
"Kamu buka laptop, kita tulis poin-poin perjanjiannya dulu. Besok setelah jam kerja dimulai, kita serahkan perjanjian ini pada pengacara dan Tuan Arman untuk dikaji demi kebaikan aku juga kamu," tutur Hania mengarahkan Raditya.
"Baik, aku setuju. Sekarang kamu dulu yang sebutkan aturannya." Raditya siap mengetik di atas keyboard laptop.
"Satu. Perjanjian ini berlaku satu tahun. Dan selama itu di antara kita tidak boleh ada kontak fisik, menjaga privasi masing-masing ... "
Tangan Raditya berhenti mengetik saat Hania menyebutkan 'Tidak boleh ada kontak fisik'. Bahunya merosot seolah tidak bisa menerima poin pertama.
"Kenapa?" tanya Hania saat Raditya tidak melanjutkan ketikannya.
"Aku nggak setuju! Boneka harus dipeluk."
"Aku kan bukan boneka, aku Tya."
"Papa aja peluk Tya," protes Raditya.
"Aku bukan Tya anak Papa, dan kamu bukan Papa."
"Aku nggak setuju!" debat Raditya.
"Ya sudah nggak jadi!" balas Hania.
"Nia," wajah Raditya memelas.
"Tidak jadi!" Hania melengos sambil melipat tangan di dada.
Bersambung...
Guys, tolong bantu like dan komen cerpen terbaru dan pertamaku ya... Judulnya :
"Desah Di Balik Dinding"
Ditunggu juga kritik dan sarannya. 🙏