“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 6
Bab 6
Mahira dan Doni terlonjak kaget.
“Kenapa sih lu dekat-dekat gue,” kesal Mahira.
“Astaga, gue lagi nenangin lu. Gue enggak tega dengar anak perawan nangis malam-malam.”
“Emang gue nangis tadi?” tanya Mahira.
Doni menggeleng heran kemudian Doni menunjukkan tangannya.
“Nih, cium tangan gue. Masih bau ingus sama iler lu,” ujar Doni.
Mahira melongo tak menyangka dia nangis sampai keluar ingus sama iler “Sudah, jangan bertengkar. Sekarang gimana kita dituduh mesum?” tanya Mahira gelisah.
“cih,,sedari tadi yang ngajak bertengkar siapa” pikir doni pusing
Belum sempat mereka berpikir mencari solusi, para pemuda sudah datang.
“Kalian kenapa mesum di pos ronda, ha?” ucap seorang pemuda.
“Sudah, jangan banyak tanya, Bro. Bawa saja ke balai RW, kita adili mereka,” kata lelaki paruh baya.
Doni berdiri tegap.
“Tenang, Bapak-bapak dan Abang-abang… kami enggak mesum. Kami tadi sedang berteduh, baru saja hujan.”
“Bohong!” sahut seorang pemuda. “Gue tadi lihat mereka pelukan. Lu memang lelaki enggak modal. Kalau mau pacaran ke hotel saja, ngapain di pos ronda. Jadi ternodakan pos ronda.”
“Iya, neduh boleh. Tapi lihat posisi kalian terlalu dekat. Kalian enggak bisa mengelak. Kalian harus dibawa ke balai warga,” tegas pria paruh baya.
Mahira semakin panik, badannya gemetar “nasib buruk apalagi ini Tuhan” gumam Mahira dalam hati
“Tenang, Pak… kami sudah menikah. Jadi buat apa diadili,” ujar Doni. Mencoba menenangkan suasana
“Alah, kalian masih bocah. Masa sudah nikah?” gumam pria paruh baya.
Wajah Mahira dan Doni memang baby face. Sekilas tidak ada yang menyangka kalau Mahira usianya 25 tahun.
“Kalau sudah menikah, mana surat nikah kalian?” pinta seorang pemuda.
Mahira dan Doni diam, karena surat nikah memang tidak ada. Mereka menikah siri.
“Kami menikah secara agama, Pak,” jawab Doni.
“Alah, yang kemarin kami gerebek juga begitu ngakunya nikah agama, tapi pas didatangkan orang tuanya malah belum menikah.”
“Saya sudah menikah,” tegas Mahira.
“Apa buktinya, Neng? Ih… kamu pasti masih SMA. Masih kecil, Neng. Jangan pacaran. Sayangi orang tua, banting tulang, kalian malah pacaran,” oceh pria paruh baya.
“Ini, Pak, bukti saya sudah menikah.”
Mahira memberikan ponselnya. Terlihat foto dan video Mahira menikah dengan Doni.
“Uh… untung saja enggak gue hapus video menyebalkan itu,” pikir Mahira lega.
Semua orang melihat video itu.
“Ini kan Ustad Dasun… berarti benar mereka sudah nikah,” ucap pria paruh baya.
“Ya sudah kalau kalian sudah menikah… kalian naik saja ke atas. Di sana tertutup, ada bantal dan kasur juga. Daripada di bawah enggak enak, terbuka lagi. Mending di atas saja, lumayan kan pos ronda jadi tempat ibadah kalian,” kata pria paruh baya, kini nadanya sedikit bercanda.
“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami akan melanjutkan perjalanan,” ucap Doni dengan tenang.
“ya udah ini sudah mulai subuh, kalau mau istirhat silahkan tapi kalau mau disini juga ga apa-apa” ucap pria paruh baya
Semua orang bubar.
“Uh, hampir saja,” ucap Mahira mengusap dadanya.
“Ini semua gara-gara lu, coba kalau lu enggak deket-deket gue,” kesal Mahira.
Doni mendengus kesal.
“Lu lagian, gue peluk malah diam. Kayak nyaman aja gitu dekat gue.”
“Ih, sebel!” kesal Mahira.
“Iya, kenapa juga gue nangis di dada pria, bahkan aku tidak pernah berpelukan dengan Rangga,” batin Mahira.
Suasana hening. Yang terdengar hanya detak jarum jam di pos ronda, hembusan angin kian menusuk.
“Kenapa diam?” tanya mereka bersamaan.
“Diam salah, jawab salah,” ucap Doni. “Apes… apes.”
“Apa lu bilang? Lu itu bikin apes. Coba kalau lu enggak masuk ke kamar gue, enggak jadi kayak gini kan gue,” kesal Mahira.
“Sebenarnya ada yang janggal kenapa gue bisa masuk ke kamar lu,” ucap Doni pelan.
“Maksud lu?” tanya Mahira.
Kemudian Doni bercerita.
Doni terus berlari setelah dikejar-kejar pria kekar.
“Sial, enggak bawa ponsel, ketinggalan lagi,” gumam Doni sambil mengedarkan pandangan.
“Wey, dia ada di sana!” ucap seorang pria kekar.
“Ah, sial,” ucap Doni setelah melihat di depannya ada tembok.
“Waduh, banyak banget lagi,” gumam Doni melihat sepuluh orang mengelilinginya.
"Serbu" teriak pria kekar itu.
Sepuluh orang langsung maju bersamaan.
"Bajingan" umpatan Doni meluncur begitu saja.
Ia menerjang duluan. Satu pukulannya menghantam rahang lawan, tapi sebuah pukulan balasan mengenai pipinya. Sudut bibirnya langsung mengeluarkan darah.
"Kalian tidak akan selamat" geram Doni. Dengan napas berat dan mata merah, ia menerjang lagi. Tiga orang tumbang oleh tendangan kerasnya, dua lagi jatuh setelah hantaman siku. Namun wajah Doni pun sudah berantakan, darah menetes dari alis dan pipi.
Tiga puluh menit berlalu. Sepuluh orang itu akhirnya terkapar.
Tiba tiba derap langkah berat terdengar. Doni mendongak. "Gila banyak banget sih mereka."
Tiga puluh orang muncul. Melawannya sama saja dengan bunuh diri. Doni langsung lari sekencang mungkin, menerobos gang demi gang, sampai akhirnya melihat rumah yang sedang mempersiapkan hajatan.
“aku harus ke tempat hajatan, mereka ga akan berani membuat kekacauan kalau ditempat ramai”
Doni berlari dengan sekuat tenaga ke arah orang hajatan, dan akhirnya sampai di rumah Mahira
Benar saja. Para pengejarnya berhenti.
Doni menahan pusing, napas tersengal, lalu menyelinap lewat sisi rumah hingga tiba di area belakang.
Terdengar suara telepon dari dalam.
"Bagaimana sih, dimana cari pengemis malam malam begini" keluh seorang wanita.
"Iya, kenapa gembel itu tidak datang. Bisa hancur semua rencana ini" sahut wanita paruh baya.
Tangan Doni yang gemetar menyenggol pot bunga.
Prang.
"Siapa itu?" suara wanita itu mendekat.
Ratna dan Rukmini keluar membawa ponsel sebagai lampu. Mereka mendekati Doni.
"Tolong saya" ucap Doni lirih.
Ratna menyorotkan cahaya ke wajahnya. "Mukanya lumayan jelek. Cocoklah."
Doni hampir jatuh. Pandangannya berputar.
Ratna dan Rukmini segera menyeretnya masuk. "Duduk dulu di situ" perintah Ratna.
Diam diam Rukmini membuka kamar Mahira memakai kunci cadangan yang ia buat tanpa izin.
"Masuk ke kamar itu" bisik Ratna.
Doni berjalan sempoyongan, hampir roboh, lalu masuk ke kamar Mahira.
…
"Jadi begitulah ceritanya," tutur Doni.
"Sial," umpat Mahira. "Jadi dua genderowo itu yang merencanakannya?"
"Ya mungkin," jawab Doni sambil mengangkat bahu.
"Terus kenapa lu nggak jelasin ke mereka?"
"Lu tahu sendiri gimana situasinya. Tiap kali gue mau ngomong, mereka nyerobot," jelas Doni. "Lagian, mau pembelaan kayak apa pun, tetap aja mereka nggak bakal percaya. Lu memang udah dirancang buat disalahin."
Mahira mengembuskan napas berat. "Bener juga sih."
"Tapi gue heran," gumam Mahira, memicingkan mata. "Kenapa Rangga bisa ada di rumah? Dari sore gue hubungin, nomornya mati."
"Yaelah… polos amat si nona," celetuk Doni.
"Maksud lu?" tanya Mahira, alisnya terangkat.
"Ya jelas Rangga juga terlibat lah. Kalau dia beneran percaya sama lu, dia pasti bela lu. Dia bisa aja minta tes virginitas kalau mau."
Mahira terdiam. Kata-kata Doni menancap kuat di kepalanya.
"Sebenernya hubungan lu sama si Rangga akhir-akhir ini gimana?" tanya Doni, nadanya lebih serius.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh