Arin adalah perempuan sederhana, manis tapi cerdas. Arin saat ini adalah salah satu mahasiswi jurusan tehnik kimia di fakultas tehnik negeri di Bandung. Orang tua Arin hanyalah seorang petani sayuran di lembang.
Gilang adalah anak orang terpandang di kotanya di Bogor, ia juga seorang mahasiswa di tempat yang sama dimana Arin kuliah, hanya Gilang di jurusan elektro fakultas tehnik negeri Bandung.
Mereka berdua berpacaran sampai akhirnya mereka kebablasan.
Arin meminta pertanggung jawaban dari Gilang namun hanya bertepuk sebelah tangan.
Apakah keputusan Arin menjadi single mom sudah tepat? dan seperti apakah sikap Gilang ketika bertemu putrinya nanti?
Yuuk kita ikuti alur ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yance 2631, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Gilang
Dalam perjalanan pulang, di mobil Gue merasa sangat bahagia, senyum senyum sendiri hampir seperti orang yang kasmaran.. ada suatu perasaan yang gue nggak bisa ungkapan dengan kata-kata, Alina yang dulu terbuang kini menjadi malaikat kecil gue...
"Ya Allah, terima kasih, terima kasih untuk hari ini Engkau mudahkan segalanya untukku.. anak gue bisa dekat sama gue walaupun dia nggak tau gue itu adalah Papanya, gue juga bersyukur Arin mulai bisa menerima gue walaupun terasa canggung, step by step ajalah.." gumam Gilang dalam hati.
Mulai sekarang gue harus menafkahi eneng supaya cita-citanya tercapai, dan ini kewajiban gue sebagai ayahnya.. "gumam Gilang sambil mengemudikan mobilnya.
Tak terasa Gue pun sudah sampai di depan rumah Papi, setelah mobil ada di carport Gilang pun masuk ke rumah.. "Assalamualaikum Mii, Pii.." sapa Gue. Mami pun keluar, "Waalaikumsalam, capek nak..?" tanya mami.
Gue pun mulai bercerita dari awal perjalanan sampai bertemu dengan Arin dan Alina anak gue di rumahnya.
"Mi, coba lihat deh ini video pendek waktu kami makan siang.." Gue arahkan video supaya mami busa lihat detail rekamannya.
"Cantik sekali ya cucu mami Lang.. bibit bebet bobotnya nggak salah, dia dilahirkan oleh perempuan yang tepat" ujar bu Leni memuji Arin.
Gue sempat berpikir, mengingat kata-kata mami barusan..
"Apa gue dan Arin berjodoh ya?, apa mungkin Arin bisa terima gue lagi.. rasanya nggak mungkin, Arin itu S3 dan gue cuma S1, dan Arin tahu gue sudah berumah tangga, mungkin gue nggak usah terlalu berharap dengan Arin yang penting buat gue adalah bagaimana gue akan bahagiakan Alina," guman Gilang.
Yang jelas, gue berharap Alina suatu saat bisa panggil gue.. 'Papa'.
Di suatu sore, Gilang duduk dekat papinya yang sedang santai di sofa ruang tengah, "Pi boleh aku pinjam uang buat beli rumah dekat Alina.." tanya Gilang dengan hati hati, "Memang berapa Lang harganya disana?" tanya pak Bagja.
"Yang paling mahal 800 jutaan Pi, ya memang disana nggak termasuk komplek mewah rata rata masih di bawah 1M Pi" ujar Gilang. "Papi harus lihat dulu rumahnya, terus kamu mau tinggal disana?" ujar pak Bagja.
"Iya kalau bisa aku mau tinggal disana Pi supaya bisa lihat tumbuh kembangnya Alina, mau coba juga ajukan mutasi kantor" ujar Gilang.
"Lalu mamanya Alina kamu nggak coba deketin lagi?" ujar pak Bagja, "Soal itu kalau memang Arin masih berminat sama aku akan terima dengan senang hati Pi, tapi prioritas aku hanya Alina, mungkin Arin juga sudah punya pacar lagi, dia kan cantik dan pintar, laki-laki mana yang nggak tertarik sama dia, apalagi di ITB banyak dosen muda," ujar Gilang.
"Ya, ya.. nanti papi lihat dulu rumahnya sekalian ada waktu mampir nengok Alina cucu papi" ujar pak Bagja sambil tersenyum.
Bu Leni, mami Gilang.. tampak juga berbincang dengan suaminya, pak Bagja.
Bu Leni melihat Alina kecil seperti merasakan ada persamaan dengan putrinya yang meninggal, kakak dari Gilang.. "Itulah kenapa aku langsung sayang dengan Alina saat pertama melihatnya Lang," ujar maminya.
"Lang, ajak Alina nginep disini ya nak.." ujar bu Leni pada Gilang.
"Mi, harus pelan-pelan bujuk Arinnya dan Alina juga belum tahu kalau aku adalah papanya" ujar Gilang.
Bu Leni pun mengangguk, mengerti apa yang di maksud oleh Gilang.
Di tempat lain, terlihat Alina kecil sedang berbincang hangat dengan ibunya..
"Ambu, Om Rayhan itu kok baik sekali ya, jauh jauh dari Jakarta ke Bandung hanya untuk nengok eneng aja" ujar Alina.
"Iya nak, ambu juga heran.." ujar Arin singkat.
"Ambu, kalau Om Rayhan jadi ayah eneng aja bisa nggak ya?" tanya Alina dengan wajah polosnya.
"Amang Aril kan juga sudah seperti ayah untuk eneng, baik, sayang sama eneng" ujar Arin berusaha menjawab walaupun sebenarnya ia mulai bingung, cemas dengan pertanyaan pertanyaan Alina yang cerdas.
"Oh iya, ambu punya nomor Hp Om Rayhan?" tanya Alina. "Ambu nggak punya eneng" jawab Arin singkat.
"iiiihh kenapa sih ambu jawabnya singkat singkat aja nggak kayak biasanya" ujar Alina protes.
"Ambu emang nggak punya neng, masa ambu harus bohong?" ujar Arin dengan nada sedikit meninggi.
Alina pun terdiam, dia begitu takut bila mendengar nada bicara ambunya mulai meninggi.
Arin mulai memikirkan pernyataan Alina, Arin akan membicarakan hal ini dengan ayahnya.. tapi di lain hal Arin takut kalau Alina akan menilai dirinya adalah pembohong, karena mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal dunia.
"Ambu, eneng mau jalan jalan deh ke Sumarecon Mall yang baru itu" ujar Alina, mendengar itu Arin langsung menyetujui permintaan putrinya, kuatir putrinya menjadi sedih.
"Oke anak cantik, kita pergi yuk sekarang" ujar Arin. "Eneng pakai gamis yang pink ya ambu.." ujarnya, Arin pun mengangguk.
Tak lama Arin dan Alina pun pergi berdua ke Sumarecon Mall, sepanjang perjalanan Alina pun terus berceloteh menceritakan tentang sikap Om Rayhan yang ternyata sudah menyentuh hatinya.
Tiba di Mall, Arin membiarkan Alina bermain sesukanya di area Timezone terbesar di bandung ini, Alina terlihat riang sekali, selesai bermain di salah satu wahana permainan Alina menghampiri Arin.. "Ambu, eneng nanti mau ajak Om Rayhan kesini biar bisa main sama eneng" ujar Alina tersenyum, dan kemudian ia berlari lagi ke arah wahana bola basket.
"Eneng sudah ya mainnya, jangan terlalu capek" ujar Arin menatap Alina yang mulai lelah. Merekapun akhirnya menyudahi dulu bermain di area Timezone itu di Mall, Alina pun duduk di dekat Arin dan beristirahat dengan nafasnya yang naik turun karena capek bermain..
"Ambu, eneng capek banget deh.. tapi seneng apalagi nanti ada Om Rayhan yang temenin eneng, mau duduk dulu sebentar" ujar Alina. Arin pun mengangguk, sambil merasakan betapa dekatnya hubungan batin antara Alina dan ayahnya.
Ponsel Arin pun berbunyi, Arin melihat panggilan dari nomor yang tidak ia kenal.. Arin mencoba menerima panggilan itu,
"Halo, Assalamualaikum Rin.. maaf ganggu," ujar si penelpon. "Eeh, iya waalaikumsalam.. Gilang?" ujar Arin yang sangat hapal dengan suara itu, suara itu adalah suara Gilang.
"Alina ada Rin?" ujar Gilang.
"Ada, dia lagi main.. kita lagi di Timezone" jawab Arin. "Mm, aku video call sebentar ya" ujar Gilang merubah mode di ponselnya ke video call.
"Boleh .. "ujar Arin singkat.
"Halo Rin.... mana Alinanya?" ujar Gilang.
"Itu dia disana, dia lagi main lagi barusan di game dance.." ujar Arin sambil mengarahkan ponselnya ke arah Alina yang sedang dance di area Timezone.
Gilang pun tersenyum melihat putrinya yang cantik dan lincah, lalu memberikan ponsel pada maminya supaya bisa melihat cucunya,
"Arin, apa kabar? ini saya mamanya Gilang" ujar bu Leni tersenyum.
"Kabar Arin baik bu, alhamdulillah.. ibu sehat?" ujar Arin.
"Ibu baik-baik saja Arin, ini nomor Hpnya Gilang, kamu save ya supaya dia bisa komunikasi dengan Alina.." ujar bu Leni.
"Iya bu, nanti Arin save..." ujar Arin.
Terlihat Alina datang ke arah ibunya, "Ambu eneng udah selesai sekarang.." ujar Alina sambil terengah-engah.
"Oh iya, sini nak.. ini ada Om Rayhan videocall" ujar Arin memberikan ponselnya.
"Halo eneng anak cantiknya Om nih.. apa kabar sayang? kamu lagi main ya?" tanya Gilang.
"Halo juga Om, kabar eneng baik ini aku lagi main di Timezone di anter sama ambu, kapan kapan ada waktu Om temenin ya antar eneng main kesini lagi mau ngga?" tanya Alina cerewet tapi lucu.
"Mau dong anak cantik, nanti Om temani ya eneng main disana, eneng nanti sepuasnya.." jawab Gilang sambil menatap Alina bahagia.
"Asyiiiiiiik Om mau kesini temenin eneng main.." teriak Alina bahagia.
Terlihat oleh Arin di sampingnya betapa bahagia wajah putrinya, juga wajah Gilang yang tersenyum seperti menunjukkan kasih sayangnya.. saat ayah dan anaknya berkomunikasi.
"Apa sebaiknya aku beritahu saja eneng kalau Om Rayhan itu adalah ayahnya?", atau itu terlalu cepat?, aah biar engkinya saja nanti yang bicara.. "gumam Arin dalam hati.
Alina pun masih terlihat terus saja bicara tanpa henti dengan "Om Rayhannya" alias Gilang seperti teman lama.. dan Gilang pun dengan sabar mendengarkan, menanggapi setiap celotehannya yang lucu..
"Eneng, jangan capek capek ya mainnya.. kasihan sama ambu nanti," ujar Gilang.
"Iya Om, ini mau udahan kok.. eneng kan abis ini mau ke McD beli burger terus eneng juga mau ke bookstore beli alat sekolah sama crayon untuk gambar Om" ujar Alina.
"Oh gitu ya, nanti kalau Om kesana kita juga jajan ya di McD, kita cari es krim terus Om juga mau beliin eneng alat sekolah, crayon, tas sekolah, atau mungkin sepatu cats eneng boleh?
"Mm, boleh banget Om.. haaah banyak banget, itu buat eneng semuanya? beneran? why not? I'll be happy! hehehe.." ujar Alina tertawa renyah.
Arin yang terus memperhatikan Alina.. hanya menggelengkan kepala saja, ada senyum tersirat di wajah Arin hari ini.
"Eneng, ayo ah udahan dulu video callnya, kasihan Omnya mau istirahat.." ujar Arin.
"Ya sudah ya neng, Om mau istirahat dulu, eneng yang sehat ya, bye bye anak cantik.. Assalamualaikum" ujar Gilang mengakhiri video callnya.
"Iya Om Ray, terima kasih eneng udah di telpon.. Waalaikumsalam" ujar Alina menggemaskan bicaranya.
Alina memberikan ponsel kepada ambunya, Arin pun mengajak Alina membeli alat sekolahnya lalu kemudian mereka pun pulang ke rumah.
Gilang pun terlihat bahagia sekali sesudah video callnya bersama putrinya Alina,
"Cantiknya anak gue, kebayang anak gue gadis nanti, pasti dia cantik seperti kak Gina.. "gumam Gilang.
"Pi, sepertinya aku jadi mau beli rumah dekat Alina.. "ujar Gilang tiba tiba sambil duduk di samping pak Bagja.
"Iya Lang, papi ngerti.. Papi kan juga harus lihat rumahnya dulu" ujar pak Bagja. "Aku nyicil deh sama papi bayar tiap bulan nanti.. hehe.." ujar Gilang.
"Emang gajimu berapa bisa buat nyicil, di pakai jajan sama Alina juga abis gaji kamu.. "ujar pak Bagja sambil tersenyum meledek Gilang.
Mereka pun tertawa.
Pagi hari seperti biasa Gilang pergi bekerja, setelah memarkir kendaraannya Gilang berjalan menuju ruangannya.. tampak terlihat pak Taufik mertuanya menunggu di pintu kantor,
"Gilang, langsung ke ruangan saya, saya tunggu!" ujar pak Taufik.
Singkat cerita mertua Gilang atau pak Taufik menanyakan perihal perceraian yang diajukan Gilang sebelumnya, untuk berpisah dari Devi.
Pak Taufik juga menceritakan percobaan bunuh diri Devi tadi malam, tapi reaksi Gilang seperti biasa saja. Gilang dan mertuanya sempat berargumen, tapi Gilang tidak melawannya.. Gilang hanya diam dan bicara seperlunya sedangkan pak Taufik mulai mengungkit ungkit kembali karena jasanya lah Gilang ada di posisi seperti sekarang ini.
Hubungan antara Gilang dan istrinya Devi, mungkin sudah tidak bisa diselamatkan. Bahkan mertuanya pun mengancam untuk segera memecat Gilang dari perusahaannya.
"Silahkan pak, itu wewenang bapak untuk melakukan apapun di perusahaan ini, apapun resikonya saya akan terima.. termasuk memecat saya, silahkan.. terima kasih untuk waktunya pak, saya undur diri" ujar Gilang, lalu meninggalkan ruangan kerja Direksi.
Menjelang sore Gilang pun bergegas pergi dari kantornya, Gilang berhenti dan bertemu teman lamanya di sebuah coffee shop untuk sekedar bercerita.
"Lang, ini mah kalau emang elo jadi dipecat sama mertua, apa berminat kerja di bidang Engineering pesawat? Perusahaan asing Aviasi untuk maintenance pesawat bekerja sama dengan company gue di GMF tangerang, elo kan lulusan elektro ya?" ujar Denny sahabatnya.
"Iya gue elektro, insyaaAllah .. nggak ada salahnya gue coba, thanks bro infonya" ujar Gilang. Denny pun mengangguk.
Gilang lalu menyeruput kopinya lagi sambil berpikir untuk menyelesaikan perceraiannya dengan Devi, matahari sore pun mulai tenggelam.
Terdengar sayup suara adzan magrib, Gilang pun segera berjalan menuju mushola yang ada di coffee shop itu untuk melaksanakan sholat.
**********