Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Kutukan Makin Kuat**
# **
Dua bulan.
Dua bulan sejak Wulan tau dia hamil—dan dua bulan juga sejak Arsyan... makin parah.
Parah dalam artian—dia bukan cuma lemah lagi. Dia... rapuh. Kayak kertas basah yang tinggal disobek dikit langsung hancur.
Pagi itu, Arsyan bangun dari kasur—atau nyoba bangun—kakinya gemetar waktu nyentuh lantai. Kepala pusing berputar. Pandangan kabur sebentar.
Dia pegang pinggir kasur—napas berat—tunggu sampe dunia berhenti muter.
"Mas... jangan dipaksa dulu..." Wulan udah bangun—duduk di kasur—mata khawatir, tangan nyaris ngulur tapi dia tahan. Jaga jarak. Kayak biasa sekarang.
"Nggak... gue harus... harus buka warung..." suara Arsyan parau—serak—kayak nggak dipake lama.
"Warung bisa ditutup sehari, Mas. Kesehatan Mas lebih—"
"GUE NGGAK BISA TUTUP WARUNG!" Arsyan tiba-tiba teriak—nggak marah ke Wulan—tapi ke situasi—ke dirinya sendiri mungkin. "Kita... kita butuh uang, Wulan. Lo hamil. Lo butuh... butuh makan yang bagus, vitamin, periksa dokter. Kalau gue nggak jualan... dari mana—"
Batuk.
Batuk keras—tiba-tiba—bikin tubuhnya melengkung. Tangan nutup mulut refleks.
Dan pas dia liat tangannya—
—darah.
Lagi.
Darah segar—lebih banyak dari kemarin—netes ke lantai, bikin bercak merah gelap di kayu kusam.
Wulan langsung turun dari kasur—tapi berhenti di tengah jalan—nggak berani deket. Jarak satu meter. Cuma bisa natap dengan mata berkaca-kaca, tangan mengepal erat di samping tubuh.
"Mas..." suaranya putus. "Mas harus istirahat. Kumohon..."
"Nggak apa-apa." Arsyan ngusap darah di mulutnya pake punggung tangan—kayak nggak peduli. "Cuma... cuma dikit."
"Itu bukan dikit, Mas! Itu... itu udah tiga kali hari ini! Baru jam enam pagi!"
Arsyan diem. Karena Wulan bener. Ini ketiga kalinya pagi ini. Belum sampe siang. Belum sampe dia mulai aktivitas berat.
Dia jalan ke kamar mandi—lambat—setiap langkah kayak angkat beban puluhan kilo. Cermin di kamar mandi nunjukin refleksi yang... asing.
Orang di cermin itu siapa?
Pipi cekung. Mata celong. Kulit pucat pasi—nyaris abu-abu. Bibir pecah-pecah, kering. Rambut mulai rontok di beberapa bagian.
*Gue... gue jadi kayak mayat hidup.*
Arsyan ngusap wajahnya—tangannya kurus—tulang-tulang jari keliatan jelas. Dulu tangannya lebih berisi. Sekarang kayak... kayak tangan orang tua.
Dia naik timbangan—digital murahan yang angkanya suka loncat-loncat.
45 kg.
Arsyan natap angka itu lama.
Dulu—sebulan lalu—dia 50 kg. Udah kurus sih, tapi masih... masih oke.
Sekarang 45.
Lima kilo ilang dalam sebulan.
*Gila. Gue... gue kurus banget.*
Tapi dia nggak punya pilihan. Dia harus kerja. Harus jualan. Karena uang mereka... tinggal dikit. Sangat dikit.
Siang itu—Arsyan maksa buka warung meskipun Wulan nangis minta dia istirahat.
Dia dorong gerobak—susah payah—tangan gemetar—napas ngos-ngosan cuma buat jalan seratus meter.
Sampai di tempat biasa—pinggir jalan deket pasar—dia duduk lemes di bangku plastik. Keringat dingin ngucur meskipun cuaca nggak panas-panas amat.
Pembeli dateng—dikit—cuma dua orang sampe jam dua siang.
Salah satunya ibu-ibu langganan yang kaget pas liat Arsyan.
"Mas Arsyan... Mas kenapa? Kok kurus banget? Sakit?"
"Nggak, Bu. Cuma... capek aja."
"Capek atau sakit sih, Mas? Muka Mas pucat banget. Mas harus ke dokter."
"Udah, Bu. Udah ke dokter. Kata dokter sehat."
Ibu-ibu itu natap Arsyan nggak percaya—tapi nggak nanya lebih lanjut. Dia makan sotonya cepet-cepet, bayar, terus pergi sambil sesekali noleh ke belakang—tatapan khawatir.
Jam tiga sore—Bhaskara sama Dzaki dateng.
Dan begitu mereka liat Arsyan—mereka berdua kaget berat.
"ANJIR, GAS!" Bhaskara langsung jalan cepet—megang bahu Arsyan—natap dari deket. "LO... LO KENAPA?! LO KELIATAN KAYAK MAU MATI!"
"Lebay lo, Bhas..."
"LEBAY APANYA?! LO KURUS KAYAK RANGKA! MATA LO CELONG! MUKA LO ABU-ABU!"
Dzaki juga panik—tangan gemetar buka buku doa—baca sesuatu pelan-pelan—kayak lagi nyoba ngusir sesuatu.
"Mas Arsyan... ini... ini nggak normal. Ini... ini kutukan makin kuat..."
Arsyan natap Dzaki—tapi nggak jawab.
Bhaskara tarik napas—coba tenang—tapi gagal. "Gas. Dengerin gue. Lo HARUS ke rumah sakit. Sekarang."
"Udah. Gue udah—"
"Ke rumah sakit BESAR, Gas! Bukan puskesmas! Lo harus... harus cek menyeluruh! CT scan, MRI, apapun! Lo... lo nggak bisa kayak gini terus!"
"Tapi uangnya—"
"GUE YANG BAYAR!" Bhaskara teriak—matanya merah—napas berat. "Gue sama Dzaki udah ngumpulin duit. Nggak banyak tapi... tapi cukup buat cek lengkap. Jadi lo... lo HARUS ikut kita sekarang!"
Arsyan diem.
Liat Bhaskara yang matanya berkaca-kaca. Liat Dzaki yang tangannya nggak berhenti baca doa, gemetar.
Sahabatnya. Dari SMP. Sampe sekarang. Masih setia. Masih peduli.
"Oke..." bisiknya pelan. "Oke. Gue... gue ikut."
---
Rumah Sakit Umum Daerah—gedung tua, cat dinding kuning kusam, bau antiseptik campur bau nggak enak lainnya.
Arsyan duduk di kursi tunggu—Bhaskara di kanan, Dzaki di kiri—kayak ngawal tahanan.
Nama dipanggil. Masuk ruang dokter. Dokter umum dulu—cewek, muda, pake kacamata, kliatan masih fresh graduate.
"Keluhan apa, Mas?"
"Lemah. Batuk darah. Berat badan turun."
Dokter nulis cepet. "Sudah berapa lama?"
"Dua bulan lebih."
"Pernah cek sebelumnya?"
"Udah. Di puskesmas. Hasilnya... normal semua."
Dokter berhenti nulis—natap Arsyan—kayak nggak percaya. "Normal? Tapi kondisi fisik Anda..."
"Iya, Dok. Saya juga bingung."
Dokter mikir sebentar—terus nulis rujukan panjang. "Saya rujuk Anda ke lab buat cek darah lengkap, rontgen thorax, dan USG abdomen. Kita lihat hasilnya dulu."
Tiga jam kemudian—setelah diambil darah sampe pusing, di-rontgen sampe berdiri lama di mesin dingin, di-USG sampe perutnya basah gel—Arsyan duduk lagi di ruang tunggu.
Bhaskara beliin roti sama teh kotak. "Makan, Gas. Lo dari tadi belum makan."
"Nggak laper."
"Makan tetep. Lo butuh tenaga."
Arsyan makan—maksa—rotinya kering, susah ditelan. Tapi dia makan juga. Sedikit-sedikit.
Sejam kemudian—nama dipanggil lagi. Masuk ruang dokter. Dokter tadi udah liat hasil lab—mukanya... bingung. Bingung berat.
"Mas Arsyan..." dia buka map—liat hasil lab—liat lagi—kayak nggak percaya. "Hasil lab Anda... semuanya normal."
Hening.
"Normal gimana, Dok?"
"Normal dalam artian... tidak ada infeksi. Tidak ada anemia. Fungsi ginjal normal. Fungsi hati normal. Rontgen paru bersih. USG juga tidak ada kelainan."
Arsyan natap dokter—kosong. "Terus... terus saya kenapa, Dok?"
Dokter diem lama—buka tutup map—buka lagi—tutup lagi—gelisah.
"Saya... saya tidak tahu, Mas. Secara medis... tubuh Anda sehat. Tapi kondisi fisik Anda..." dia natap Arsyan—tatapan simpati. "...kondisi Anda seperti orang yang... yang sedang sekarat. Tapi saya tidak menemukan penyebabnya."
Bhaskara yang dari tadi diem langsung buka suara. "Dok, masa nggak ada apa-apa? Dia batuk darah, Dok! Kurus kayak gini! Masa nggak ada penyakit?!"
"Saya juga bingung, Mas. Kalau memang ada penyakit... pasti terdeteksi di hasil lab atau rontgen. Tapi ini..." dokter geleng-geleng kepala. "Ini pertama kali saya lihat kasus seperti ini."
Dzaki di pojok bisik pelan—cuma Arsyan yang denger. "Karena ini bukan penyakit, Mas. Ini kutukan..."
Arsyan nutup mata—napas berat.
*Kutukan. Bener. Ini kutukan. Nggak ada dokter yang bisa bantuin.*
Dokter ngasih resep vitamin sama suplemen—meskipun dia sendiri kayaknya nggak yakin bakal ngaruh.
"Istirahat yang cukup. Makan bergizi. Kalau kondisi memburuk... segera ke IGD."
Arsyan ngangguk lemah—terima resep—keluar ruangan.
Di koridor rumah sakit—Bhaskara jalan di sebelahnya—diem aja—tapi tangannya ngepal kuat. Dzaki jalan di sebelah lain—mulutnya gerak-gerak pelan—baca doa terus.
"Gas..." Bhaskara suaranya serak. "Lo... lo harus bilang gue. Sebenernya lo kenapa sih?"
Arsyan diem.
"Gas, gue sahabat lo dari SMP. Gue tau... gue tau ada yang lo sembunyiin. Dan gue... gue nggak bisa bantuin kalau lo nggak jujur."
Arsyan berhenti jalan—natap Bhaskara—mata capek, berkaca-kaca.
"Bhas... lo... lo nggak akan percaya kalau gue jelasin."
"Coba aja. Gue... gue akan dengerin."
Arsyan napas panjang—liat sekeliling—koridor sepi—terus dia bisik pelan.
"Gue... gue dikutuk, Bhas."
Bhaskara natap Arsyan—nggak kaget—malah... kayak udah tau.
"Gue udah duga dari awal, Gas."
Arsyan kaget. "Lo... lo tau?"
"Nggak tau detail. Tapi gue tau... istri lo bukan manusia biasa. Dan gue tau... ada sesuatu yang... yang gaib terjadi sama lo." Bhaskara pegang bahu Arsyan—erat. "Tapi Gas... apapun yang terjadi... gue ada. Zak juga ada. Lo nggak sendirian."
Arsyan nangis—tiba-tiba—nggak kuat nahan—nangis di koridor rumah sakit—Bhaskara peluk dia—Dzaki ikutan peluk dari belakang—mereka bertiga berdiri gitu—di tengah koridor yang dingin—pelukan yang... hangat.
"Makasih, Bhas... makasih, Zak..." bisik Arsyan di tengah tangisan.
"Udah, Gas. Lo nggak usah bilang makasih. Lo keluarga gue."
Dan malam itu—Arsyan pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan.
Meskipun badannya makin lemah.
Meskipun kutukan makin kuat.
Setidaknya... dia nggak sendirian.