Apa reaksimu ketika tiba-tiba saja seorang gadis cantik dari planet lain masuk ke kamarmu?
Terkejut? Kaget? Ya, begitu juga dengan Nero. Hanya beberapa jam setelah ia ditolak dengan kejam oleh siswi sekelas yang disukainya, ia bertemu dengan seorang gadis mempesona yang masuk melalui lorong spasial di kamarnya.
Dari saat itulah Nero yang selama ini polos dan lemah perlahan berubah menjadi pribadi yang kuat dan menarik. Lalu membalikkan anggapan orang-orang yang selama ini telah menghina dan menyepelekannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J.Kyora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Bahkan aku... tidak lagi mengenali diriku sendiri
...
Mentari tersenyum menyisir pagi, cahaya ramahnya masuk melalui kaca jendela kantin sekolah, membelai hangat seorang gadis yang termangu, menopang dagu sambil memainkan sedotan, bahkan air soda di dalam gelasnya masih utuh.
Matanya terpaku jauh ke gerbang sekolah, seluruh hatinya berada di sana, menunggu seseorang seperti setiap hari yang selalu dilakukannya selama ini.
Pandangannya teralihkan ketika seorang anak muda tampan datang ke arahnya, Nadia tersenyum, Aaron membalasnya lalu duduk di kursi seberang Nadia, "Sudah lama disini?" tanya Aaron membuka obrolan, ia mengambil tisu, mengelap sedikit bagian meja, bertepatan pelayan datang mengantarkan pesanannya.
"Baru saja," jawab Nadia,
Tiba-tiba suara ponsel berdering, Aaron merogoh sakunya dan mengeluarkan smartphonenya.
"Sudah... aku lagi di kantin"
diam sejenak,
"Ok... kamu datang saja ke sini, aku tunggu"
Panggilan berakhir, Aaron meletakan ponselnya dan membuka botol minuman di depannya, meminumnya sedikit.
"Klub akan mengadakan rapat penting tentang struktur kepengurusan," ujar Aaron.
"Oh.. kapan?" tanya Nadia, matanya melayang sekilas ke gerbang.
"Mungkin nanti siang, aku harap kali ini bisa terpilih jadi pengurus," jawab Aaron.
Nadia tersenyum, lalu pandangannya beralih dan menangkap seorang laki-laki seniornya di klub berjalan kearah mereka, Aaron mengikuti pandangan Nadia.
"Nah sudah datang, sebentar aku temui dulu," Aaron menggeser kursinya dan bangkit berdiri.
Nadia mengangguk, pandangannya kembali melayang ke gerbang sekolah, namun ia belum melihat Nero datang.
Drrtt!
Suara pesan masuk ke ponsel di depannya, itu ponsel Aaron. Nadia melirik, layarnya menyala, nama pengirim muncul dibagian atas layar, diikuti pesan yang tidak terlihat jelas.
[Om Arrundy:]
Nadia tertegun, itu kan nama keluarganya, penasaran ia men scroll notifikasi itu kebawah.
[Om Arrundy: Aaron, apa Nadia masih berhubungan dengan anak laki-laki itu? Beritahu om kalau ada berita yang baru.]
Nadia terbelalak, menaikan scroll notifikasi, ia menggambar garis password, ia tahu sandinya karena secara tidak sengaja pernah melihat Aaron membuka di dekatnya.
Tubuh Nadia menggigil, ia membaca semua chat percakapan Aaron dan papanya, juga video yang di kirimkan oleh Aaron, sama dengan yang diperlihatkan papanya pada malam itu.
Wajahnya merah padam, kemarahan hebat melanda hatinya, hatinya menjadi sangat sakit. Menahan isak ia mengambil tisu dan menyeka matanya, namun air matanya terus mengalir. Aaron masih terlihat berdiskusi serius dengan temannya.
Nadia tidak tahan lagi, ia ingin melepaskan tangis sejadi-jadinya, perasaan ditikam dari belakang membuat emosinya sangat rusak.
Ia berdiri, tanpa menoleh kepada Aaron lalu berjalan pergi, Aaron yang melihatnya berjalan sambil menangis segera mengejar, "Nadia ..., kamu kenapa?"
Nadia membalikkan tubuhnya, matanya memandang penuh kebencian kepada Aaron, " Teganya kamu lakukan itu padaku," isak Nadia." Jangan pernah kau dekati aku lagi bajingan!" bentaknya, seumur hidup, mungkin baru hari ini Nadia mengatai seseorang dengan kata itu.
Aaron terkejut, cepat berpikir lalu teringat ponselnya, ia segera mengambilnya, membuka dan melihat pesan baru dari papa-nya Nadia yang telah terbaca, padahal ia belum membukanya.
Wajah Aaron pucat pasi, ia melihat punggung Nadia pergi. "Nadia, aku bisa jelaskan!" Aaron mengejarnya, namun Nadia membalikan tubuhnya dan menunjuk Aaron dengan wajah ganas. Tidak ada satu kata pun yang ia ucapkan, namun sikapnya sangat-sangat penuh ancaman.
Aaron membeku, jantungnya serasa berhenti berdetak, hatinya bergemuruh melihat Nadia pergi, apa yang sudah kulakukan? Jeritnya dalam hati, matanya memicing, merasakan sakit kepala yang sangat hebat.
Ia mendapatkan video itu sudah lama dari Stella, namun ia tidak terlalu peduli waktu itu, tidak mungkin Nadia bersama dengan Nero walau bagaimanapun jalannya, namun akhir akhir ini Nero membuat nama untuk dirinya sendiri, dan ia cemburu.
...
Nadia tidak menyangka Aaron seperti itu, karena selama ini Aaron baik makanya ia mau berpacaran dengannya. Sifatnya tidak angkuh, ia mau berteman dengan siapa pun bahkan termasuk Nero, jika bukan karena hal itu, Nadia tidak akan pernah menerimanya.
Apa yang membuat hatinya sakit bukanlah pengkhianatan Aaron, namun ia menyesalkan karena tindakannya itu ia dan Nero menjadi terpisah, ia tidak peduli kepada Aaron, yang dipedulikannya hanyalah Nero.
Nadia memperhatikan wajahnya di dalam cermin toilet, wajahnya benar-benar tidak karuan, memejamkan mata ia mencoba rileks.
...
Di dalam hati, Nero masih berharap Nadia seperti sebelumnya, Nadia yang peduli padanya, Nadia yang selalu membelanya, namun harapannya hanya menjadi kekecewaan ketika Nadia masuk kelas masih tetap tidak menoleh kepadanya.
Hampir tidak ada harapan, sampai kapan ini akan seperti ini? Nero menatap kursi sebelahnya yang kosong, lalu memandang Nadia di kejauhan yang kini menjadi asing.
Tidak satu pun pelajaran pagi ini yang masuk benaknya, hingga bel istirahat berbunyi, Nero masih diam di bangkunya.
Nero memperhatikan Aaron tidak menjemput Nadia seperti kemaren, namun ia tidak berpikir terlalu banyak. Memang biasanya Aaron tidak begitu, mungkin kemaren hanyalah kebetulan, pikirnya.
Nero sedang merapikan bukunya ketika tiga orang siswa masuk kedalam kelas, mereka melangkah lurus ke tempat Nero berada.
Nero meliriknya sekilas sambil memasukan buku-bukunya kedalam tas.
"Nero, ketua kami memanggilmu," salah seorang berbicara.
Nero menyimpan tasnya ke dalam laci, lalu memandang ketiganya,
"Kalian dari mana?" Nero balik bertanya dengan dingin.
"Klub Karate," jawab anak itu, ia bersidekap di dadanya dengan sikap mengintimidasi, anak-anak lain di kelas yang belum sempat keluar memandang mereka dengan penuh perhatian.
Nero diam sejenak, memperhatikan wajah ketiga anak itu, mereka siswa kelas dua.
Nero mengernyit, berpikir ada keperluan apalagi Juno memanggilnya, kesepakatan terakhir dengan klub Karate adalah mereka tidak akan lagi mengganggu jika ia menang melawan Buja, sepertinya klub Karate tidak akan melepaskannya dengan mudah.
"Maaf, saya tidak lagi punya urusan dengan klub karate," ujar Nero.
Ketiga siswa itu saling pandang,
"Bukan kamu yang menentukan kamu punya urusan atau tidak dengan klub, jika ketua mengatakan kamu harus menemuinya, maka kamu wajib datang,"
nada suaranya terdengar arogan,
menyebarkan dominasinya ke seluruh ruangan kelas.
Nero memandang mereka dengan tajam, entah kenapa amarahnya langsung tersulut, namun ia meredamnya dan berkata,
"Kalau Juna ada perlu denganku, suruh ia sendiri yang datang, jangan menyuruh orang tidak berguna seperti kalian,"
"Kamu berani!" mereka menunjuk ke wajah Nero.
Kata kata Nero membuat wajah mereka merah padam, tidak sedikit siswa di dalam kelas yang mendengarkannya, jika ini tidak di tangani dengan benar, klub Karate akan menanggung penghinaan.
Nero bangkit dari kursinya, dengan langkah tenang ia berjalan keluar, melewati ketiga siswa itu.
Walau bagaimanapun marahnya ketiga anak laki-laki tersebut, mereka tidak berani gegabah, bahkan Buja dihajar sampai patah lengannya oleh Nero, sedikit kecerobohan bisa mengakibatkan mereka akan bernasib sama. Namun dengan sikap Nero yang tidak memberi wajah kepada mereka, amarah naik keubun-ubun salah satunya, ia hendak menyerang Nero ketika siswa yang berbicara tadi menahannya.
"Jangan, lebih baik tidak membuat masalah di sini," ia mengingatkan.
...
Nero berjalan keluar kelas menuju ke danau di belakang sekolah.
Mengambil batu pipih ia melemparkan sekuat tenaga, batu itu berselancar jauh ketengah, ia mengambil lagi, melemparnya lagi, berulang-ulang entah sampai berapa kali hingga tidak terhitung.
Hatinya terasa semakin sakit, Ia hanya memiliki seorang sahabat, yang selalu peduli dan perhatian kepadanya. Lalu kini orang itu menjauh darinya.
Tiba-tiba ia terduduk, matanya berkaca-kaca, ia merasa sangat kesepian, kesunyian luar biasa menyergap hatinya, rasa letih menerkam batinnya, ia dengarkan riak air, desah dedaunan diterpa angin, air memercik di bebatuan, seperti orkestra yang mengantarnya makin larut dalam keterasingan.
Ini adalah pertama kali di dalam hidupnya mengalami rasa seperti ini.
"Nero,"
Nero tersentak, menoleh ke belakang ia melihat seorang gadis cantik berdiri menatapnya.
...