Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Takdir Hidup.
Bagi Zenaya, langit kini tak lagi sama seperti sebelumnya. Mendung senantiasa singgah di hati wanita berusia 29 tahun itu.
Jika ditelisik lebih jauh, Zenaya merupakan seorang wanita kuat tapi berhati ringkih, yang hingga kini masih berusaha menyembuhkan mentalnya. Namun, kenyataan pahit sekali lagi menghantam batinnya yang belum pulih total.
Entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir membasahi pipi Zenaya, sebagai gambaran rasa sakit yang hadir menerpa hidupnya.
Kini tepat di usianya yang kedua puluh sembilan, sesosok janin mungil berusia sepuluh minggu tumbuh sehat dalam rahimnya.
Zenaya termenung. Kilas balik akan kejadian yang menimpanya saat itu kembali muncul. Namun, kendati demikian, Zenaya tidak ingin menyalahkan kehadirannya. dia bahkan tidak pernah memiliki kebencian pada sosok yang ada dalam tubuhnya ini.
Kenapa? Mungkinkah karena potret sang bayi mungil yang terpampang jelas di layar monitor ultrasonografi?
Entahlah. Yang jelas rasa itu semakin besar ketika suara detak jantung sang bayi tertangkap indera pendengarannya.
Setetes air mata penuh keharuan pun tidak dapat Zenaya bendung.
"Ma, salahkah aku jatuh cinta pada bayi yang seharusnya tidak diinginkan ini?"
Itulah kalimat pertama yang Zenaya ucapkan pada sang ibu, yang juga menemaninya, saat itu.
Amanda menggelengkan kepalanya. "Bagaimanapun caranya dia hadir, seorang ibu akan tetap mencintai anaknya."
Zenaya kembali menangis mengingat jawaban sang ibu. Perlahan dia pun memegang perutnya yang masih terlihat rata.
"Tumbuhlah dengan baik, Nak. Mommy janji, kamu tidak akan pernah kekurangan cinta dari keluargamu," ucapnya lirih.
Pintu kamar Zenaya kemudian terbuka. Reagen rupanya datang sambil membawa sebuah nampan berisi susu hangat dan kue kering yang Zenaya sukai. Meski mereka belum dapat tinggal bersama, Reagen selalu menyempatkan diri mampir ke rumah keluarga Winston untuk melihat keadaannya.
Dia juga sudah kembali diizinkan bekerja di kantor. Craig tidak lagi memberikan putranya itu hukuman.
Zenaya memalingkan wajahnya dan buru-buru menghapus jejak-jejak air mata yang ada.
Bicara soal pernikahan, kedua keluarga telah bersepakat mengadakannya bulan depan, dalam sebuah upacara sederhana yang hanya dihadiri beberapa orang kerabat terdekat saja. Baru pada malam harinya, mereka akan mengadakan makan malam bersama para kolega di sebuah hotel berbintang milik suami Grace, Vian.
Demi nama baik keluarga dan juga bayinya, Zenaya pun akhirnya tidak dapat menolak pinangan pria itu.
Reagen meletakkan nampan yang dia bawa di atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang Zenaya.
"Minum dulu susunya," titah pria itu sembari menyodorkan segelas susu hangat pada Zenaya. Kata Amanda, Zenaya hanya bisa mengonsumsi susu dan makanan ringan saja. Selebihnya, dia selalu memuntahkan kembali semua makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
Zenaya mengambil gelas tersebut dari tangan Reagen tanpa berkata apa-apa.
Walau hatinya sedikit pilu akan sikap Zenaya yang enggan melakukan kontak mata dengannya, Reagen tetap mengulas sebuah senyuman.
Melihat Zenaya masih bersedia meminum susu buatannya saja, itu sudah merupakan suatu kebahagiaan.
"Besok aku harus dinas selama tiga hari di luar kota." Pria itu mencoba mengajak Zenaya berbincang, tetapi Zenaya sama sekali tidak menanggapinya. Dia bersikap acuh sembari terus menandaskan susu hangat buatan Reagen.
Reagen kemudian membantu Zenaya meletakkan gelas kosong di atas nampan.
"Aku harus kembali ke kantor. Tolong, angkat teleponku, meski kamu tidak mau bicara," pesan Reagen seraya menatap Zenaya sendu.
Zenaya masih enggan membalas tatapan mata Reagen.
Reagen menghela napasnya. Tanpa diduga dia memajukan tubuhnya dan mengecup kening Zenaya singkat, sebelum kemudian pergi dari sana.
Begitu Reagen menutup pintu kamarnya, air mata Zenaya kontan mengalir deras. Dengan segenap kekuatan Zenaya menghapus jejak Reagen yang masih terasa hangat di keningnya.
"Aku membencimu! Aku membencimu! Aku membencimu!" Tangis wanita itu pecah seketika.
Tanpa sepengetahuan Zenaya, Reagen ternyata masih berada di balik pintu kamarnya. Pria itu mendengar dengan jelas kata-kata Zenaya di sela-sela isak tangisnya.
Tubuhnya bersandar lemah. Walau rasa perih dan luka tertanam dalam benak pria itu, Reagen mencoba memahami, bahwa ini merupakan bentuk konsekuensi dari apa yang dia lakukan sejak sepuluh tahun yang lalu hingga detik ini.
...***...
Sekembalinya Reagen ke kantor, ternyata sudah ada Natalie yang menunggu di dalam ruangannya sejak tadi. Wanita itu segera berlari menerjang Reagen setelah mengetahui kedatangannya.
Kali ini Reagen hanya bergeming. Dia tidak berniat membalas pelukan Natalie.
Natalie melepaskan pelukannya dan menampar pipi Reagen sekuat tenaga.
"Kamu adalah pria brengsek! Aku mencintaimu bertahun-tahun lamanya, tapi selalu saja Zenaya yang ada di dalam hati dan kepalamu!" jerit Natalie.
Kesibukan Natalie di luar kota, membuat dia tidak mengetahui kabar berita soal Reagen. Apa lagi, pria itu tiba-tiba tidak bisa dihubungi.
Natalie mengetahui kabar pernikahan Reagan dan Zenaya justru dari mulut Bryan.
Natalie menangis. Dia memaki dan menghardik Reagen dengan kata-kata kasar.
Reagen menangkap pergelangan tangan Natalie yang hendak terangkat menuju wajahnya. "Cukup, Nat."
Natalie menghentikan tangisnya. "Sedikit saja Rey! Balaslah perasaanku sedikit saja!"
Reagen terdiam. Tanpa berkata apa-apa dia membiarkan wanita itu bersandar pada dadanya.
Lagi-lagi Natalie harus kalah. Semua pengorbanannya dari mulai rela mengikuti Reagen berkuliah di luar negeri, saat ini ternyata sia-sia.
Dia tidak pernah ada di hati pria itu.
Natalie duduk bersimpuh sembari menutup wajahnya yang telah kacau.
Melihat itu, Reagen ikut bersimpuh di hadapan Natalie dan memegang kedua bahunya lembut. Matanya menatap wanita itu sendu. Posisi Natalie saat ini persis sama seperti dirinya terhadap Zenaya. Oleh sebab itu, Reagen sedikit memahami perasaan Natalie.
"Maafkan aku, Nat. Ketahuilah, sampai kapan pun kami adalah teman teristimewaku. Aku menyayangimu seperti adikku sendiri." Ucapan Reagen malah membuat Natalie mengeraskan tangisnya.
Sejak awal, dia memang sudah kalah telak.