Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Restu
Satu bulan telah berlalu sejak malam di villa. Sejak saat itu, Rivan menjaga jarak dari hal-hal yang lebih intim dengan Shanna. Bukan karena rasa cintanya berkurang, tetapi karena ia memiliki harapan yang lebih besar. Ia ingin memastikan rencananya berjalan dengan baik tanpa gangguan. Jika apa yang ia harapkan benar-benar terjadi, maka semuanya akan berubah.
Namun, sore itu sesuatu yang berbeda terjadi.
"Van, aku gak enak badan," keluh Shanna saat mereka baru saja meninggalkan halaman kampus.
Rivan menoleh cepat, ekspresi wajahnya berubah cemas. Ia segera menepikan mobil ke sisi jalan dan menatap Shanna dengan khawatir. "Kenapa? Apa yang kamu rasain?"
Shanna bersandar lemah di jok mobil. "Dari tadi siang aku pusing banget, terus badan rasanya panas," ujarnya dengan suara lemah.
Rivan menyentuh keningnya, merasakan suhu tubuh Shanna yang lebih hangat dari biasanya. Dahinya berkerut. "Kamu demam, Shan. Ini udah berapa lama?"
"Sebenernya udah beberapa hari. Aku pikir cuma kecapekan, jadi aku paksain aja. Tapi makin lama rasanya makin gak enak."
Rivan menghela napas, merasa bersalah karena baru menyadarinya. "Kita ke IGD sekarang. Demam gak boleh dibiarin, apalagi kalau udah beberapa hari."
Shanna ingin menolak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk berdebat. Ia hanya mengangguk pelan, membiarkan Rivan membawanya ke rumah sakit.
Begitu tiba di Instalasi Gawat Darurat, Rivan segera membantu Shanna turun dan membawanya masuk. Wajahnya tegang, sementara Shanna terlihat semakin lemah. Tanpa membuang waktu, seorang perawat segera membawa Shanna ke ruang pemeriksaan.
"Saya akan memeriksa suhu tubuhnya terlebih dahulu," ujar dokter yang menangani Shanna.
Setelah pemeriksaan awal, dokter melihat tanda-tanda dehidrasi dan segera memutuskan untuk memasangkan infus. Rivan hanya bisa menatapnya dengan khawatir dari sisi tempat tidur, tak bisa melakukan apa pun selain memastikan Shanna mendapatkan perawatan yang terbaik.
Saat dokter meminta beberapa pemeriksaan tambahan, Rivan menurut. Ia menandatangani semua administrasi yang diperlukan tanpa ragu.
Beberapa jam kemudian, hasil pemeriksaan keluar. Dokter kembali ke ruangan dengan ekspresi yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia menatap Shanna dan Rivan secara bergantian sebelum akhirnya berbicara.
"Selamat," kata dokter itu dengan senyum tipis. "Anda sedang hamil. Usia kandungan sudah mencapai lima minggu."
Ruangan itu seketika hening.
Shanna menatap dokter dengan mata membesar, seakan belum bisa memahami apa yang baru saja ia dengar. "H-hamil?" ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Dokter mengangguk. "Iya, demam yang Anda rasakan kemungkinan besar adalah reaksi tubuh terhadap kehamilan. Ini adalah hal yang umum terjadi di trimester pertama, apalagi jika Anda mengalami morning sickness."
Shanna masih belum bisa berkata-kata. Pikirannya langsung melayang ke belakang, mencoba mengingat kembali setiap kejadian. Selama ini mereka selalu berhati-hati. Bagaimana ini bisa terjadi?
Sementara itu, Rivan bereaksi sangat berbeda. Alih-alih terkejut, senyum lebarnya mulai mengembang. Matanya berbinar penuh antusiasme. Ia menggenggam tangan Shanna erat, seakan ingin meyakinkan bahwa ini adalah kabar terbaik yang pernah ia dengar.
"Shan, kamu dengar itu?" katanya dengan suara penuh kebahagiaan. "Kita bakal punya bayi!"
Shanna menoleh padanya, masih dalam keadaan syok. "Tapi... Van, ini bukan sesuatu yang kita rencanakan. Aku..."
Rivan meremas tangannya lembut. "Gak apa-apa, Shan. Aku di sini. Kita di sini. Kita bakal hadapi ini bareng-bareng."
Dokter tersenyum tipis melihat reaksi mereka. "Kehamilan ini sehat sejauh ini, tapi Anda perlu banyak istirahat. Jangan terlalu stres, makan makanan bergizi, dan tetap terhidrasi. Kami akan memberikan vitamin tambahan agar kondisi Anda tetap stabil."
Shanna hanya bisa mengangguk, masih mencoba mencerna semuanya.
Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang tidak ia ketahui.
Rivan telah merencanakan ini sejak awal.
Dan sekarang, ia telah mendapatkan yang ia inginkan.
Tanpa basa basi dan ingin menunda lagi, Rivan meninggalkan Shanna sejenak diruang perawatan. Rivan ingin menyampaikan kabar ini pada keluarganya.
Malam itu, Rivan pulang dengan perasaan penuh semangat. Ia nyaris tidak bisa menyembunyikan senyum sejak keluar dari rumah sakit. Bayangan tentang Shanna yang mengandung anak mereka terus berputar di kepalanya. Ini adalah titik balik. Ini adalah cara untuk mendapatkan restu keluarganya—atau setidaknya, itulah yang ia yakini.
Begitu sampai di rumah, ia langsung meminta semua anggota keluarga berkumpul di ruang utama. Mega, ibunya, duduk di sofa dengan ekspresi penuh tanda tanya. Ayahnya masih belum pulang dari luar negeri, tetapi anggota keluarga lain sudah berkumpul, termasuk Damian dan Rendra Kakeknya.
"Ada apa, Van? Tumben kamu mendadak manggil semuanya begini," tanya Mega dengan nada waspada.
Rivan menatap sekeliling. Ini adalah momen yang telah ia tunggu. Dengan napas dalam, ia akhirnya mengucapkan kalimat yang sejak tadi memenuhi pikirannya.
"Aku mau kasih tahu sesuatu yang penting," katanya mantap. "Shanna hamil."
Ruangan seketika sunyi. Seluruh anggota keluarga menatapnya dengan mata terbelalak. Mega sendiri terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya berdiri, matanya menyala dengan kemarahan yang jelas.
"Apa kamu bilang?" suara Mega bergetar, bukan karena terharu, tetapi karena amarah yang ditahannya.
"Shanna hamil, Bun," ulang Rivan, kali ini dengan nada lebih tegas. "Dia sedang mengandung anakku."
Mega mendekatinya dengan langkah cepat, lalu tanpa ragu, ia menampar wajah Rivan dengan keras. Tamparan itu menggema di ruangan, membuat semua orang menahan napas.
"Kamu gila, Rivan!" suara Mega naik satu oktaf. "Aku sudah bilang sejak awal, perempuan itu tidak pantas untukmu! Dan sekarang kamu malah melakukan hal bodoh seperti ini?!"
Rivan menegang, tetapi ia tidak bergeming. Ia tahu ibunya akan bereaksi seperti ini, meskipun ia berharap setidaknya ada sedikit penerimaan.
"Aku mencintai Shanna, Bun. Dan aku akan bertanggung jawab," katanya, mencoba tetap tenang.
Mega tertawa sinis. "Tanggung jawab? Kamu pikir dengan menghamili dia, aku akan merestui hubungan kalian? Jangan mimpi, Rivan!"
"Tapi Bun—"
"Diam!" bentak Mega. Ia mengangkat ponselnya dan tanpa ragu mulai menekan nomor.
Rivan mengernyit. "Bunda mau ngapain?"
Mega tidak menjawab sampai panggilannya tersambung. "Halo? Mas? Kamu harus segera pulang. Rivan sudah keterlaluan! Aku butuh kamu untuk bawa dia pergi dari sini sebelum dia menghancurkan masa depannya sendiri!"
Rivan menegang. Ia tahu siapa yang sedang dihubungi Mega—Julian, ayahnya yang sedang bertugas di luar negeri. Jika Mega meminta Julian untuk menjemputnya, itu berarti Mega benar-benar ingin menjauhkannya dari Shanna.
"Bun, aku gak akan pergi ke mana-mana!" Rivan berseru. "Ini hidupku! Aku yang menentukan jalanku sendiri!"
Mega menatapnya tajam. "Jangan keras kepala, Rivan. Kamu tidak sadar betapa bodohnya keputusanmu? Kamu masih bisa keluar dari masalah ini sebelum semuanya terlambat!"
"Bunda mau aku lari dari tanggung jawab?" suara Rivan bergetar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Mega mendengus. "Aku ingin menyelamatkan masa depanmu! Kalau kamu terus bersama perempuan itu, kamu akan menghancurkan hidupmu sendiri!"
Rivan mengepalkan tangan. Ia tidak menyangka keluarganya akan sejauh ini menolak Shanna—bahkan sampai ingin mengirimnya pergi.
"Aku gak akan ninggalin Shanna, Bun," katanya dengan suara bergetar. "Dan aku gak akan lari dari tanggung jawab."
Mega mendengus kasar, tetapi tatapan matanya penuh dengan tekad. "Coba saja kalau kau bisa menentangku Rivan !"