NovelToon NovelToon
Bayangan Terakhir

Bayangan Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Identitas Tersembunyi / Dunia Lain / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Azka Maftuhah

Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35 - DIRI YANG TERHAPUS

Elysia berdiri di depan papan nama panti rehabilitasi jiwa yang sudah lama ditutup sejak lima belas tahun lalu: “Lembaga Perawatan dan Observasi Anak Tunas Jiwa, Cahaya Bening.”

Ia tak pernah tahu tempat ini ada. Tak ada namanya dalam akta lahir, tak ada catatannya dalam riwayat medis. Tapi setelah membuka dokumen yang mereka temukan, semuanya menjadi masuk akal.

“Ini tempat kita dilahirkan ulang,” ucap Elysia lirih, lebih pada dirinya sendiri daripada Edric dan Satrio.

Edric memegang tas berisi perlengkapan investigasi. “Dan mungkin, ini adalah sebuah tempat di mana sebagian dari dirimu dihapus.”

Langkah mereka menyusuri koridor lembab yang dipenuhi bau kapuk basah dan cat dinding yang terkelupas. Di sepanjang dinding, ada gambar tangan anak-anak yang membekas samar, seperti jejak dari jiwa yang tertinggal.

Di salah satu ruangan, Elysia menemukan lemari besi kecil. Ia membuka kuncinya perlahan.

Di dalamnya tumpukan rekaman kaset.

Labelnya hampir semua telah pudar, kecuali satu:

> 000-Φ-X

Sesi Transmisi Ke-7

Tanggal: [Disamarkan]

Durasi: 34:07

Elysia memasukkan kaset ke alat putar tua di pojok ruangan. Suara berdesis, lalu terdengar suara kecil yang merupakan suaranya sendiri.

> “Namaku... Elysia. Tapi mereka bilang aku harus jadi ‘Nina’. Karena nama lama membuatku sakit.”

> “Apa kau merasa sakit karena nama itu?” tanya suara pria.

> “Ya. Karena kalau aku masih Elysia, aku harus ingat semuanya. Termasuk Ressa.”

Elysia tertegun.

“Jadi, mereka memaksaku jadi orang lain?” gumamnya.

Satrio menatapnya. “Mereka tak hanya menghapus kenanganmu. Mereka menciptakan versi baru dari dirimu.”

Di ruang arsip lama, Edric menemukan diagram berbentuk pohon dengan simbol-simbol aneh. Setiap cabangnya mencantumkan nama-nama anak yang “mengalami proses pelepasan kesadaran.”

> Elsa, Ressa, Recca, 000-Φ-X, Lio, …

“Lihat,” kata Edric sambil menunjuk satu nama: Nina.

“Nama itu muncul berulang. Tapi tak ada akta lahir atau catatan eksistensinya.”

Elysia menarik napas berat. “Mereka menciptakan identitas baru bagi anak-anak yang gagal melewati proses. Lalu menghapus jejak aslinya.”

Ia melihat ke cermin tua yang tergantung di dinding. Bayangannya buram, seolah separuh wajahnya tak bisa dikenali.

“Diri yang terhapus, bukan hanya ingatan. Tapi eksistensi.”

Lalu ia mengingat satu momen dari masa kecilnya yang selalu terasa asing : seorang suster menyisir rambutnya sambil berkata, “Mulai sekarang, kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya pantulan dari cahaya yang belum dipilih.”

Dan kini ia mengerti.

Ia bukan hanya korban. Ia adalah salah satu dari banyak anak yang dihapus, dipecah, dan dipaksa untuk menjadi wadah dari sesuatu yang lebih gelap.

Malam itu, di tempat mereka menginap, Elysia duduk di depan cermin. Ia memegang foto-foto anak-anak dari arsip panti. Satu demi satu, ia sebutkan nama mereka dengan pelan, penuh hormat.

“Elsa… Ressa… Lio… Nina…”

Ia berhenti di nama terakhir. Lalu menatap bayangannya.

“Dan aku. Elysia.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengucapkannya bukan dengan kebingungan, tapi dengan pengakuan.

Suaranya tegas. Matanya penuh air mata.

“Aku bukan wadah. Bukan eksperimen. Aku utuh. Aku pernah hancur, tapi aku kembali.”

Satrio muncul dari balik pintu. Ia mendekat, duduk di sampingnya.

“Kau kembali karena kau berani melihat, bahkan dari sisi tergelapmu.”

Elysia mengangguk. “Dan kini, aku pasti akan menemukan siapa yang memulai ini semua.”

Malam itu hujan turun deras. Kilatan petir sesekali menyorot jendela kamar penginapan mereka. Di dalam, Elysia masih menatap lembaran-lembaran dokumen yang baru mereka temukan dari ruang arsip tersembunyi panti. Jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali ia menemukan nama yang pernah terasa asing, namun kini membentuk pola yang menakutkan.

“Lihat ini,” ujar elysia, menunjuk catatan kecil yang terselip di balik rekaman medis. “Ada kode warna di sini. Merah untuk ‘tidak stabil’, biru untuk ‘potensial’, dan hitam untuk ‘terhapus’.”

Edric membaca salah satu nama yang tertandai warna hitam. “Nina, kode 000-Φ-X.”

Elysia menggenggam kertas itu erat. “Itu aku.”

Satrio mendekat. “Kau yakin?”

“Ya. Aku tahu sekarang, aku adalah bagian dari eksperimen itu. Mereka menempatkan sesuatu di dalam pikiran kami, sebuah cahaya, katanya. Tapi cahaya itu bukan penyembuhan. Itu semacam entitas. Atau setidaknya, kesadaran buatan.”

Ia mulai mengisahkan kilas balik samar yang perlahan muncul dalam pikirannya. Ia melihat dirinya, masih kecil, duduk di ruangan putih dengan kaca besar, tempat seseorang selalu mengamati. Ia tak menangis. Ia hanya menunggu.

“Mereka bilang aku akan jadi tempat penampungan ingatan-ingatan ‘terputus’ dari anak-anak yang gagal. Aku akan menjadi satu-satunya yang mengingat semuanya.”

Edric bergidik. “Kau wadah kolektif.”

Elysia menunduk. “Dan mereka pikir itu akan membuatku kuat.”

Ketika malam semakin larut, Elysia mencoba menuliskan nama-nama yang muncul dalam mimpinya selama bertahun-tahun. Nama-nama yang dulu ia anggap mimpi buruk ternyata nyata.

Elsa. Ressa. Lio. Mika. Recca.

Semua nama itu muncul di arsip.

Semua, pernah ada di panti itu.

Namun ada satu nama yang tak muncul dalam dokumen, tapi terus berbisik dalam pikirannya. Nama yang tak pernah dia tulis.

“D.”

Satrio menyadari perubahan ekspresi Elysia. “Apa kau mengingat sesuatu lagi?”

“Lebih dari itu,” jawabnya pelan. “Aku rasa... ‘D’ bukan hanya pengawas. Dia pencipta. Dan aku, ciptaannya yang paling sempurna.”

Suara itu muncul lagi, dalam benaknya.

> “Kau adalah cermin dari semua jiwa yang gagal. Maka, kau harus bertahan, agar kami semua tetap hidup.”

Elysia memegang kepalanya, kesakitan. Tapi ia menolak tenggelam lagi.

“Tidak,” bisiknya. “Aku bukan milik kalian. Aku bukan cermin siapa pun.”

---

Hujan masih turun deras saat Elysia berdiri di depan cermin kecil di kamar penginapan. Bayangannya samar, dibiaskan cahaya lampu temaram yang bergetar karena tiupan angin. Tapi malam itu, ia tak melihat dirinya sendiri.

Ia melihat kilasan wajah-wajah yang pernah ia lihat di mimpi. Elsa. Ressa. Anak-anak yang tak dikenalnya, namun terasa begitu dekat.

> “Kau tahu kenapa mereka menanamkan semua itu dalam dirimu?”

Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya. Suara perempuan, tenang, dewasa, namun asing.

Elysia tak menjawab. Ia hanya menatap cermin. Sorot matanya berubah dari ketakutan menjadi keyakinan.

> “Karena kau cahaya terakhir. Tapi cahaya bisa dibentuk, dan bisa dimanipulasi.”

Kilatan petir menyambar, menerangi cermin. Wajah di balik cermin bukan lagi wajahnya, tapi seseorang yang menyerupainya. Versi dirinya yang lebih pucat, mata lebih dalam, senyum yang menyimpan luka dan kebencian.

> “Aku bagian darimu,” suara itu melanjutkan. “Cahaya yang kau kira menyelamatkanmu adalah bagian dari rencana mereka. Mereka menciptakanmu bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menutup luka yang mereka buat sendiri. Kau penutup. Penjaga kebohongan.”

Tangan Elysia bergetar. Tapi ia tetap menatap.

“Kalau aku memang cermin dari mereka yang terlupakan, maka aku akan memecahkan cermin ini. Aku akan bebaskan mereka.”

Seketika, cermin retak. Retakan menjalar seperti urat saraf, dan dari dalam cermin, suara tangis anak-anak mulai terdengar. Tapi kali ini, bukan tangisan ketakutan melainkan kelegaan.

Elysia menutup matanya. Membiarkan cahaya menyelubungi tubuhnya. Tapi ini bukan cahaya palsu. Ini bukan pemberian siapa pun. Ini dari dirinya sendiri.

Dari luka… ia menemukan kekuatan.

Dari bayangan… ia menemukan arah.

1
Isa Mardika Makanoneng
baru awal udah tegang aja kk
Lalula09
Gokil!
Koichi Zenigata
Seru abiss
Graziela Lima
Ngebayangin jadi karakternya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!