Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - SATU NAMA DALAM DUA WAJAH
Langkah Elysia terdengar nyaring di lorong rumah sakit jiwa yang telah lama ditinggalkan, tempat di mana sebagian memorinya pernah dikubur hidup-hidup. Dindingnya masih dipenuhi coretan tangan kecil—pesan-pesan tanpa suara dari mereka yang pernah tinggal, atau lebih tepatnya, dikurung.
Satrio berjalan di belakangnya. Mereka telah menembus begitu banyak lapisan misteri, namun kini—akhirnya—mereka berada di pusatnya. Di tempat semuanya bermula. Di sinilah Resa dirawat. Di sinilah Elysia kecil pernah menjalani "terapi".
“Kau yakin tempat ini masih menyimpan jawabannya?” tanya Satrio, menyorotkan senter ke papan nama kamar: A-01.
Elysia tak menjawab. Tangannya menyentuh pintu logam berkarat itu, seolah mencari jejak dirinya yang dulu.
Lalu ia membukanya perlahan.
Di dalam ruangan kecil itu, hanya ada satu kursi, satu cermin besar di dinding, dan tumpukan dokumen yang telah menguning.
Namun yang paling menarik perhatiannya adalah gambar dua anak perempuan yang tergores di dinding, tertulis dengan krayon merah:
“ELYSIA & RESSA”
Elysia memejamkan mata. “Aku menulis ini…”
Satrio mengernyit. “Ressa? Bukannya Resa?”
Elysia mengangguk. “Itu bukan typo. Nama lengkapnya… bukan Resa. Tapi Ressa Elysia. Karena… kami dulu satu.”
Satrio menatapnya lekat-lekat. “Apa maksudmu?”
Elysia menatap cermin. Bayangannya memudar… lalu muncul sosok lain di baliknya. Wajah yang sama. Mata yang sama. Tapi aura berbeda.
Ressa.
“Mereka memisahkan kami,” kata Elysia pelan. “Secara psikologis. Secara energi. Karena satu anak terlalu kuat untuk dikendalikan.”
Dalam pantulan cermin, Ressa tersenyum. Bukan senyum jahat seperti dulu—ini senyum penuh pemahaman, seperti seseorang yang lelah berperang dalam dirinya sendiri.
“Mereka bilang aku terlalu gelap,” suara Ressa terdengar. “Jadi mereka pecahkan jiwaku. Kau dapat cahaya. Aku… bayangan.”
Satrio terdiam, sulit memproses kenyataan itu.
“Selama ini… Resa bukan sekadar adikmu. Dia adalah dirimu. Separuh dirimu yang dibuang karena dianggap ‘berbahaya’.”
Elysia menelan ludah. “Aku tak pernah benar-benar sendiri… Tapi aku juga tak pernah benar-benar utuh.”
Tiba-tiba, ruangan bergetar. Cermin memanas, dan suara-suara dari masa lalu bergema:
> “Subjek A-01 menunjukkan perilaku ganda yang semakin ekstrem.”
“Pemisahan harus segera dilakukan sebelum entitas ini kehilangan kontrol.”
“Ressa akan dikunci. Elysia akan dilatih untuk melupakan.”
Suara itu menghantam telinga Elysia seperti peluru.
Ia memutar tubuhnya ke Satrio. “Aku harus menyatu lagi. Kalau tidak, retakan ini akan semakin besar… dan mereka bisa masuk lagi.”
“Siapa?” tanya Satrio.
Elysia menatap cermin yang kini tampak seperti pusaran hitam.
“Mereka yang menciptakan eksperimen ini. Mereka yang menamakan dirinya sendiri: Reflektor.”
Ressa menatap Elysia dari dalam cermin, mata mereka saling terhubung seperti dua sisi dari koin yang sama. “Jika kau ingin menyatu denganku… kau harus menerima semuanya. Sakitnya. Gelapnya. Kebencian yang kau pendam. Bahkan rasa takutmu sendiri.”
Elysia menarik napas dalam. “Aku… bersedia.”
Namun Ressa menggeleng. “Belum cukup. Kau harus jujur.”
Cermin menyala. Tiba-tiba, Elysia melihat kilasan-kilasan: momen ia membenci Edric karena merasa ditinggalkan. Momen ia menghindari ibunya yang sakit karena takut menghadapi kematian. Momen saat ia ingin menghilang, bukan karena sedih, tapi karena merasa tak layak hidup.
Air mata mengalir. “Aku… aku merasa rusak.”
Ressa meletakkan tangannya ke permukaan cermin dari sisi dalam.
“Semua orang rusak. Tapi itu bukan alasan untuk tetap pecah.”
Dengan suara gemuruh lembut, permukaan cermin melunak. Seperti air.
Elysia menempelkan tangannya ke sana. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, mereka akan bersatu.
Cahaya dan bayangan. Terang dan gelap. Elysia dan Ressa.
Tubuh Elysia gemetar tak karuan, tapi kali ini bukan karena ketakutan. Karena kekuatan.
Karena utuh.
Tubuh Elysia terhuyung ke belakang saat kilatan cahaya dari cermin memudar. Namun kali ini, tak ada bayangan yang keluar. Tak ada kegelapan yang mengendap di sudut-sudut ruangan. Hanya keheningan dan rasa lega.
Satrio segera memegang bahunya. “Kau baik-baik saja?”
Elysia membuka mata. Mata yang kini tampak berbeda—lebih dalam, seolah ada dua dunia di baliknya.
“Aku merasa... hidup. Tapi juga... baru.”
Suaranya lebih stabil. Ada ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Satrio melihat ke cermin, yang kini hanya pantulan kosong. Tak ada Ressa. Tak ada pusaran. Hanya kaca biasa.
“Dia ke mana?” tanyanya hati-hati.
Elysia menyentuh dadanya. “Di sini. Tak lagi terpisah.”
Satrio menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu... kita harus bersiap.”
“Untuk apa?”
“Karena jika Ressa adalah bagian yang mereka buang… maka sekarang kau memiliki kekuatan penuh. Dan itu artinya : mereka yang menciptakan ini… akan mencarimu kembali.”
Elysia mengangguk. Tidak dengan rasa gentar, tapi dengan kesiapan.
“Aku tidak akan lari. Kali ini, aku ingin tahu… siapa sebenarnya mereka.”
Mereka menyisir bagian belakang ruang arsip. Debu dan sarang laba-laba menyelimuti lemari besi yang tertutup rapat. Namun sidik jari Elysia, yang pernah menjadi pasien di sana, masih bisa membuka kunci biometrik dengan bunyi klik lembut.
Di dalamnya ada file kuno dengan logo aneh yang tergores samar di sudutnya : lingkaran dengan dua bayangan saling membelakangi.
“Reflektor,” gumam Elysia.
Mereka membuka dokumen pertama.
> “Proyek Integrasi Jiwa Eksperimental.”
“Subjek: A-01 – Anak dengan frekuensi gelombang otak tak stabil. Ditemukan memiliki entitas pendamping internal.”
“Tindakan: Pemisahan kepribadian untuk menghindari kerusakan jiwa total. Metode : Cermin Frekuensi Tinggi.”
Satrio menggeleng. “Mereka memperlakukanmu seperti eksperimen.”
Elysia meremas dokumen itu. “Dan mungkin… bukan aku satu-satunya.”
Ia menarik tumpukan dokumen lainnya. Nama-nama lain muncul. Kode-kode lain.
“Ini lebih besar dari dugaanku…”
Saat malam tiba dan mereka meninggalkan bangunan itu, seseorang mengamati dari kejauhan. Sosok berjas hitam berdiri di balik pohon, memegang tablet kecil yang menampilkan gambar detak jantung Elysia.
Salah satu garis menunjukkan fluktuasi tak biasa. Energi dari penyatuan jiwa. Sebuah keberhasilan.
Sosok itu menyeringai, lalu menekan tombol komunikasi di telinganya.
> “Target A-01 telah terbangun. Aktivasi Fase Dua dimulai.”
“Ulangi, penyatuan berhasil. Reflektor akan bergerak.”
Dan di balik kabut malam, suara langkah-langkah mulai terdengar—bukan hanya satu, tapi banyak.
Bayangan tak lagi datang dari dalam cermin.
Kali ini, mereka datang dari dunia nyata.
Malam itu, Elysia duduk sendiri di ruang apartemennya yang tenang. Lampu redup. Di depannya, secangkir teh melambungkan uap tipis ke udara.
Ia memejamkan mata.
Di dalam pikirannya, suara Ressa berbisik, bukan sebagai entitas terpisah, tapi seperti gema dari jiwanya sendiri.
> “Kau pikir mereka akan membiarkan kita tenang?”
“Tidak,” jawab Elysia dalam hati. “Tapi aku juga tak akan membiarkan mereka menang.”
Ia merasa tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena kekuatan yang mulai tumbuh. Setelah bertahun-tahun merasa terpecah, kini ia utuh. Tapi keutuhan itu membawa konsekuensi : perasaan-perasaan Ressa kini turut hidup dalam dirinya.
Ketakutan. Dendam. Trauma masa kecil. Tapi juga… keberanian yang ia sendiri tak tahu ia miliki.
Elysia berdiri. Ia berjalan ke cermin, menatap dirinya sendiri. Tidak ada bayangan yang aneh. Tidak ada keanehan. Tapi ia tahu, dirinya kini bukan seperti dulu.
Ia menempelkan tangannya di kaca.
“Aku adalah kita,” bisiknya. “Dan kita akan mengungkap semuanya.”
Keesokan harinya, Satrio membawa Elysia ke seorang kenalannya, mantan teknisi data di institusi tempat Elysia dulu pernah dirawat.
Namanya Damar. Pria paruh baya dengan rambut acak-acakan dan ruangan penuh server usang.
“Apa yang kalian cari?” tanya Damar, menyesap kopi hitam.
“Semua data tentang Proyek Reflektor. Khususnya : siapa pendananya, dan siapa subjek lain selain Elysia.”
Damar mengangguk pelan. “Kalian main api.”
Satrio menatapnya tajam. “Kami sudah terbakar sejak lama.”
Damar menarik napas panjang, lalu mulai bekerja. Jari-jarinya menari di keyboard, layar penuh kode. “Sebagian besar data ini dikunci di server dalam. Aku tak bisa jebol semuanya, tapi... ada sesuatu yang tersisa di sini.”
Ia menarik satu nama dari data yang berhasil diretas:
> SUBJEK B-03: SATRIO ARYAWIGUNA
Elysia menoleh cepat.
Satrio membeku.
“Jadi... kau juga bagian dari mereka?” suara elysia bergetar.
Satrio terdiam lama, lalu mengangguk.
“Aku pernah jadi subjek. Tapi aku berhasil kabur sebelum percobaan final. Aku bersembunyi di dunia luar. Tapi ketika aku melihat berita tentang kasusmu, aku tau kau salah satu dari kami.”
Elysia menarik napas dalam. Dunia yang ia kenal baru saja kembali terguncang.
Sore itu, Elysia duduk di atas atap gedung tempat ia tinggal. Jakarta terlihat seperti kota biasa. Tapi di balik hiruk-pikuknya, ada dunia bawah tanah yang telah mempermainkan hidup mereka.
Ia menggenggam sebuah kalung kecil, kalung yang dulu diberikan ibunya, satu-satunya hal yang tersisa dari masa kecil.
> “Kau tidak sendirian,” bisik suara Ressa dari dalam pikirannya.
“Aku tahu,” jawab Elysia pelan. “Tapi jalan ini akan penuh luka.”
Ia menatap langit yang mulai gelap. Angin malam meniup rambutnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa… tidak takut.
“Biarkan mereka datang. Kali ini, aku yang akan mengejar.”
Sementara itu, di ruangan gelap entah di mana, sekelompok pria berjas sedang menatap layar yang menunjukkan gambar Elysia dari kamera tersembunyi.
> “Subjek A-01 telah mencapai tahap aktif,” ucap salah satu dari mereka.
“Segera kirim tim pengambil. Pastikan dia dibawa hidup-hidup.”
Mereka tak tahu.
Elysia bukan lagi subjek uji coba.
Ia adalah pemicu.
Dan berikutnya akan mengubah segalanya.