Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 | Dirangkul Abang Yuto
“*Betul yang Buk Endah bilang. Hujannya awet sampai sore*,” batin Fara sambil memandangi aspal di halaman depan gedung, juga sambil mengelus-elus gantungan kunci bebeknya.
Dia sudah berdiri di depan pintu lobi kantor, menunggu Endah, Yuki, dan Yuto keluar dari ruangan. Sebenarnya Fara ingin pulang sendiri, bisa saja naik becak—ada banyak becak melintas di depan sana. Tapi, Yuto sudah menyuruhnya untuk menunggu tepat sebelum dirinya keluar dari ruangan tim ekspor, mengaku hendak ke ruangan Omnya sebentar.
“Naik becak pun uangku pas-pasan,” gumamnya pelan, sambil mengingat tersisa berapa uang di dalam dompetnya.
“85 ribu. Besok pagi aku harus isi bensin. Isi full sekitar 50 ribu. Sisa 35 ribu. Kalau sekarang aku naik becak, walaupun ke rumah dekat, tapi karena hujan setidaknya aku harus kasih 10 ribu. Uangku sisa cuma 25 ribu. Ah, enggak lah. Numpang aja, gapapa. 35 ribu untuk seminggu ngeri juga. Kak Shella pun entah kapan bayar uangku. Ada berapa uangku sama dia? Uangku sama Tante Ijah? Hah… nantilah aku cek di bukti transfer,” seperti itu gumamannya berakhir.
Sedetik kemudian ia dikagetkan dengan keberadaan Yuto yang sudah berdiri di sampingnya, juga melihat lurus ke depan, tetapi Fara jadi cemas, “*Bang Yuto dengar cakapku tadi nggak ya*?” batinnya, sudah melepas gantungan kuncinya, kini bergelantung pada resleting ransel kuningnya.
“Ke mana si Ingus sama si Kutu?” tanya Yuto. Suaranya kembali lembut seperti sebelumnya, juga sudah menatap Fara dengan senyumnya.
Pertanyaan itu cukup melegakan, karena Yuto tidak membahas apapun mengenai cakapnya tadi. “Di teras samping, Pak. Lagi tidur,” balas Fara tersenyum canggung.
“Tidur?”
Fara mengangguk. “Bang Agam taruh kotak bekas di samping. Kalau lagi hujan, Kutu sama Ingus memang tidurnya di situ. Tapi kalau nggak hujan, tidurnya sembarangan.”
Kali ini Yuto yang mengangguk dan kembali melihat lurus ke depan, begitu juga dengan Fara, sama-sama mengamati bagaimana rintik hujan jatuh di atas aspal yang mulai tergenang air.
Beberapa saat kemudian, Fara tampak menoleh lagi ke Yuto.
“Pak…”
Yuto menyela cepat. “Jangan panggil ‘Pak’. Cuma ada kita berdua di sini dan ini sudah jam pulang kantor.”
Fara menghembuskan napas dan meralat panggilannya, “Bang…”
“Hmm? Kenapa?” Yuto juga kembali menoleh padanya, dengan tatapan teduhnya.
“Tadi… di ruang administrasi, abang ngomong apa aja?” Ya, Fara juga mengkhawatirkan itu. Ia takut Yuto mengatakan sesuatu yang akan membuat Karin marah, terutama kepadanya.
Yuto tak langsung menjawab. Ia mengamati sejenak raut wajah Fara, tapi lama kelamaan, bukan lagi raut wajah yang dilihatnya, melainkan mengamati wajah menggemaskan Fara.
Mulai dari alisnya, lentik bulu matanya, manik mata coklatnya, hidung mancungnya yang ketarik pipi, pipi tembamnya, dan bibir mungilnya yang dipoles lipstik nude.
Itu pertama kalinya setelah sekian lama Yuto bisa melihat semua itu dengan begitu detail dan ia akui, dia menyukai semuanya.
“Bang?” tegur Fara, merasa canggung ditatap seperti itu.
Yuto tersadar dan pandangannya kembali pada manik coklat itu, yang masih melihat ke arahnya, dengan raut bingung dan canggung.
Beberapa detik saling tatap, bukannya menjawab pertanyaan Fara, Yuto malah meraih ponselnya lalu ia berikan kepada Fara. “Tulis nomor Fara,” pintanya, terdengar seperti perintah.
Ragu-ragu Fara meraih ponselnya. “Fara kira abang udah punya.”
“Belum.”
“Kenapa nggak minta sama Kira?” Fara mulai mengetik nomornya.
“Lebih baik minta langsung sama kamu.”
Jari Fara berhenti sesaat. Rasanya belum terbiasa saja mendengar Yuto menyebut dirinya sebagai ‘kamu’, tidak menyebut nama seperti biasanya. Sebut ‘kamu’ pun selembut itu, bikin Fara takut salah paham.
Fara ketik sisa nomornya dengan terburu-buru lalu ia kembali ponsel itu kepada Yuto. “Bang…”
“Hmm?” sahut Yuto tanpa menoleh, karena sedang melihat nama yang ditulis Fara di kontak di ponselnya.
“Abang belum jawab pertanyaan Fara tadi.”
“Yang mana?” Yuto tampak mengubah nama Fara di kontak menjadi Bebek Gendut, lalu tersenyum lucu.
“Tadi abang ngapain di ruang administrasi?”
Akhirnya Yuto kembali menatap Fara. “Nggak ngapa-ngapain.” Semakin lembut suaranya.
Fara diam sejenak, menatap Yuto menyelidik, tentu ia tak percaya, tetapi nggak berani berburuk sangka juga.
“Ayo,” tegur Yuki, yang tiba-tiba sudah melangkah melewati mereka bersama Endah. Keduanya melangkah santai menuju mobil dengan sebuah payung. “Cepat… Om yang nyetir,” kata Yuki lagi karena Yuto masih saja diam di sana dan Endah tahu mengapa ponakannya seperti itu. Yuto merasa momennya bersama Fara terganggu.
Yuto mendengus pelan. Tapi nggak mungkin tetap berdiri di sana. Dengan berat hati, ia membua payung yang ada di tangannya. “Ke sini dikit,” katanya, tentu tertuju kepada Fara yang berdiri jauh darinya.
Tampak kikuk, Fara melangkah mendekat, tapi masih kurang dekat. Tahu Fara malu, langsung saja Yuto rangkul bahunya—tak peduli meski ia tahu tubuh Fara menegang karena sentuhannya—Yuto terus melangkah, menuntun langkah mereka menuju mobil.
Kecanggungan itu berlanjut saat mereka sudah duduk berdampingan di jok tengah, sementara Yuki menyetir dan Endah duduk di samping sang suami. Tapi, tentu Endah menyadari kecanggungan itu. Ia pun lekas mengatakan sesuatu.
“Besok malam ke rumah ya, Fara… kita mau bikin bakar-bakar lagi, menyambut kepulangan Abang Yuto.”
Endah menambahkan, “Eh, ke rumah Abang Yuto maksudnya. Soalnya kita bakar-bakarnya di halaman belakangnya.” Endah juga menambahkan lagi sambil menoleh ke belakang, “Gapapa, datang aja. Kan gapapa walaupun nggak ada Kira. Nanti ada Esha, Kak Sora juga masih ada. Datang ya?”
Yuto yang duduk di sampingnya, diam penuh harap. Tentu saja dia berharap Fara bersedia, tapi Fara malah menjawab, “Fara tanya papa dulu ya, Kak. Karena malam minggu biasanya Fara jaga kedai. Soalnya Bang Sukri udah nggak bisa jaga sampai malam.”
Hembusan napas Yuto lolos begitu saja.
Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Yuki sudah berhenti di depan rumah Fara. Rumah itu tampak sunyi seperti biasa. Yang ramai hanya di dalam kedai yang berada tepat di samping rumah.
“Makasih Om, Bu, Bang…” ucapnya sebelum membuka pintu, tapi Yuto keluar dari mobil lebih cepat darinya.
Dengan payung, Yuto melangkah cepat memutari mobil hingga akhirnya tiba di samping pintu Fara yang sudah dibuka olehnya. “Masih hujan, Fara…” kata Yuto lembut, menyadari Fara yang tadinya nyaris keluar begitu saja.
“Kan gapapa loh, Bang. Dekat aja.”
“Abang payungin.”
Di dalam mobil, Endah dan Yuki mengamati bagaimana perhatiannya Yuto.
“Yuto kayak aku dulu, kan? Sat set. Semoga aja Fara nggak kayak kamu dulu. Berapa kali dulu kamu tolak aku?” kata Yuki, membuat Endah mendengus.
“Kita beda cerita,” balas Endah. “Tapi, Fara juga sat set, kok. Tunggu aja. Soalnya ke depannya Yuto bakal lebih terang-terangan.”
.
.
.
.
.
Continued...
.
.
.
Jangan lupa like-nya kakak... Komennya juga boleh, follow juga dongs. Sama kasih rating 5 bintangnya ya... Makasih...