Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA BELAS
Caca tenggelam dalam deretan kata dan analisis data skripsi yang belum juga rampung. Matanya yang sembab karena lelah dan kurang tidur, sesekali melirik jam di sudut layar laptopnya yang sudah menunjukkan waktu ashar.
Caca mengusap wajahnya pelan, berusaha mengusir lelah yang bertengger di kelopak matanya. Tiba-tiba, melodi ringtone ponselnya mengalun, memecah kesunyian di ruang tengah yang hanya ditemani suara gemericik air akuarium. Dengan gerak refleks, Caca meraih ponsel yang tergeletak di samping tumpukan buku dan catatan.Layar ponsel menampilkan nama "Zio" yang langsung membuat senyum merekah di wajah lelah Caca. Sambil menggeser tombol untuk menjawab, hatinya berdebar tak karuan.
"Kak Zio tumben jam segini telepon Caca..." ucap Caca dengan nada heran namun penuh harap."Heem..Kakak kangen kamu. Besok jemput Kakak di bandara ya," suara Zio yang familiar itu terdengar hangat di telinga Caca, mengusir sejenak rasa penat yang membebani pikirannya."Kak Zio pulang ke Indonesia, kok gak kabari Caca sebelumnya?" Caca tak bisa menyembunyikan kegembiraan di suaranya.
"Sengaja buat kejutan." Ujar Zio tertawa renyah. Caca manyun merasa dikerjain." Oya Dek, besok jemput bawa mobil sendiri ya, gak usah bareng Papa Mama, Kakak mau ajak kamu ke satu tempat," ujar Zio.
Setahun lebih berpisah karena Zio harus menyelesaikan studi di luar negeri, membuat setiap detik yang mendekatkan mereka kembali terasa seperti hadiah yang mahal.
"Oke.." sahut Caca dengan penuh rasa gembira. Lalu Caca menutup panggilan dengan janji akan menjemput Zio besok di bandara. Dan menutup laptopnya karena harus menjalankan ibadah salat ashar.
Caca terlonjak kaget, saat matanya menangkap Faza yang ternyata berdiri di belakang sofa tempat Caca mengerjakan skripsi.
"Pak Faza?" Ucap Caca merasa heran dengan tatapan Pak dosennya yang tak berkedip.
"Siapa yang telepon, Alfin?" tanya Faza,langsung mengarah pada nama Alfin, dosen pembimbing istrinya.
"Bukan, ini Kak Zio" ujar Caca.
"Ooo...saya pikir, dosen pembimbingmu," ucapan itu, terdengar aneh ditelinga Caca. Kening Caca berkerut saat melihat wajah Faza yang terlihat lebih kusut.
"Oya Pak, nanti malam saya tidur di rumah Tante Sarah, kemungkinan dua sampai tiga hari,aku nginap disana" ujar Caca meminta izin suaminya.
"Ya, silahkan saja, saya tidak akan melarangmu," ujar Faza dengan nada datar, seperti tak ingin ambil pusing. Ucapannya terdengar seperti formalitas belaka.
"Emm... terima kasih, Pak Faza," jawab Caca cepat, buru-buru mengemas laptopnya sambil menahan rasa aneh yang menggumpal di dada.
Setelah semuanya selesai, Caca keluar dari kamar dengan mengenakan celana tactical ,dan kaus oblong—setelan favorit Caca. Tas selempang terpasang di bahunya. Caca tahu gayanya ini jauh dari kata feminin, lebih terlihat cuek dan tomboy. Tapi biarlah, apa gunanya mempercantik diri untuk seseorang yang sama sekali tidak untuknya.
Tatapan Faza yang tajam memperhatikan Caca dari atas ke bawah membuat Caca bertanya-tanya apakah itu sebuah penilaian atau sekadar ketidaksukaan. "Ayo, saya antar," katanya mendadak, suaranya terdengar netral, namun matanya seperti menyampaikan sesuatu yang berbeda.
Melihat Faza seperti tengah membandingkan sesuatu di kepalanya—entah Caca dengan siapa. Mungkin saja,kekasihnya ?
"Saya naik motor saja, Pak," ucap Caca,menolak halus. Bukan karena dia tidak butuh tumpangan, tapi Caca tahu persis bahwa dirinya tidak ingin memberatkan seseorang yang hanya bersama dengannnya karena status, bukan karena cinta. Caca cukup sadar diri, hubungan mereka adalah sebuah keterpaksaan yang jauh dari romantis.
Caca berusaha untuk tidak menjadi beban tambahan untuk Faza.Caca harus menjaga jarak. Agar tidak berharap lebih jauh dari pernikahan konyolnya itu. Namun ternyata, kalimat penolakan Caca sepertinya tak diterima dengan baik oleh Faza.
"Kalau tidak mau diantar, nggak usah pergi, Ca," balasnya enteng, seperti angin dingin yang menerpa tanpa ampun. Caca mengerutkan dahi, mendesah dalam hati. Ah, Faza dan caranya bicara, seperti tidak peduli meski kata-katanya menusuk. Akhirnya, tanpa banyak membantah lagi, Caca menuruti ucapannya. Karena percuma, bagaimanapun Caca mencoba, tidak akan pernah ada ruang untuk merubah dinginnya hati Faza terhadap Caca.
Hubungan Caca dan Faza, hanyalah sebuah perjalanan singkat, begitulah cara Caca terus meyakinkan dirinya. Tetap bertahan di perannya, dan tak merusak apa yang sudah ada.
"Pak belok kanan," pinta Caca pada Faza, Faza pun ikut mengikuti arahan Caca. Mobil dibelokkan tepat di rumah megah di kediaman Hardi.
"Terima kasih" ucap Caca langsung turun. Namun tiba tiba Faza ikut turun.
"Pak Faza,mau ngapain?" tanya Caca dengan heran ketika melihatnya turun dari mobil. Jantung berdetak sedikit lebih cepat saat mata Caca mengikuti langkahnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Caca, pria dengan hidung mancung itu justru berjalan dengan tenang ke arah Saras dan Hardi. Caca bisa melihat jelas tatapan bingung yang mulai terpancar dari wajah mereka berdua. Langkahnya begitu tegas, seperti seorang pria yang tahu persis apa yang akan dilakukannya.
Namun, Caca tetap diam, menahan nafas sambil berusaha menebak apa yang sedang ada di pikirannya. Dalam beberapa detik saja, Faza sudah sampai di depan mereka dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Caca bisa menangkap sorot mata Saras yang langsung tertuju ke arah Caca, meminta penjelasan.
“Eee... siapa ini, Ca…?” tanyanya dengan nada yang sedikit terkejut, sementara matanya beralih dari Faza ke arah Caca seperti menuntut jawaban yang segera.
"O ya Tan, Ini Pak Faza, Dosen Caca," jawab Caca pelan, berusaha meredam kegugupannya. Tapi sebelum aku sempat berkata lebih, Faza memotong dengan nada yang tegas dan tanpa ragu sedikit pun.
"Saya suami Caca, Faza Herlambang," ucap Faza dengan tenang. Kata-kata itu seperti kilat menyambar langsung ke jantung Caca, membakar segala rasionalitas yang pernah ia miliki. "Apa... suami...?" suara Saras dan Hardi bergetar, mata mereka membelalak tidak percaya, terpaku pada sosok Faza yang berdiri di depan mereka dengan wajah yang serius.
"Ya, saya suami Caca," Faza menegaskan, suaranya tegas, memotong setiap keraguan yang menggantung di udara. Matanya menantang, seolah memperingatkan untuk tidak meragukannya lagi.
Caca menatap Faza dengan intensitas yang membara, matanya melebar, seolah ingin menembus tabir jiwa Faza, mencari tahu apakah semuanya ini hanyalah sandiwara belaka. Hatinya berkecamuk, sebab ia tahu bahwa ikatan di antara mereka bukanlah seperti suami istri pada umumnya. Di hati mereka, tidak ada simpul yang kuat mengikat hati mereka.
Terutama bagi Faza, yang hatinya telah memiliki seseorang dan diikat erat oleh wanita yang ia cintai. Caca menelan ludahnya, dilema menyergapnya. Di satu sisi, ada secercah bahagia karena Faza mengakuinya di hadapan dunia sebagai istri, tetapi di sisi lain, kesedihan menyapu hatinya karena nyata baginya, ia hanya memenangkan status—bukan hati suaminya.