LDR KATANYA BERAT!!
Tapi tidak bagi Rion dan Rayna. Ini kisah mereka yang berusaha mempertahankan hubungannya apa pun masalah yang mereka hadapi.
Tapi bagaimana jika masa lalu yang menggangu hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Hari sudah menunjukkan jam dua belas tiga puluh di Bandung. Pintu cafe terbuka—seorang wanita masuk dengan langkah tergesa, mengenakan kacamata hitam dan baju tanpa lengan berwarna putih.
Tanpa melepas earphone-nya, wanita itu langsung berdiri menghadap Rion, membaca menu yang terpajang. Iced matcha latte. Cepet ya," katanya singkat, tak menoleh sedikit pun pada Rion.
Rion tetap tersenyum, mengangguk sopan. "Baik, matcha latte satu. Untuk ukurannya mau yang apa?"
"Small."
Rion mengangguk. "ada tambahan lain?"
Wanita itu hanya menggeleng malas, mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "jadi berapa?"
"Tiga puluh dua ribu." Rion menjawab dengan ramah—memberikan sebuah barcode milik cafe.
Wanita itu berjalan dengan tegas menuju salah satu bangku di dekat pintu masuk. Satu kakinya ia naikkan di atas kaki yang lain.
Faisal yang bertugas menyiapkan pesanannya. Seperti biasa—dengan takaran pas dan presisi. Setelah selesai—Faisal mengantarkan pesanannya.
"Ini terlalu kecil. Saya pikir ukurannya gede," kata wanita itu sambil menaikkan alis.
Faisal menahan napas, tetap tenang. "Di catatan—kakaknya pesen yang ukuran small," kata Faisal menjelaskan.
Wanita itu mendengus. "Ya udah, saya bawa pulang aja."
Wanita itu benar-benar meninggalkan cafe dengan wajah ditekuk—matcha latte yang disajikan dalam sebuah cup berada di tangan kirinya. Ia melangkah dengan angkuh dan sedikit membanting pintu saat menutupnya.
Sesaat, Faisal ingin membalas wanita itu dengan nada tajam. Tapi ia hanya menarik napas dan mengangguk, lalu kembali ke dalam. Di balik meja kasir Rion tertawa puas.
Faisal melepas kuncirannya, mengibaskan pelan rambutnya. "Kenapa sih tu cewek?"
Rion mengangkat bahunya. "pms kali."
Rion tak peduli, bukan Rion juga yang salah. Memang saja wanita itu yang tidak jelas. Bukankah ia sendiri yang meminta ukuran small? Apa ia tak paham konsep ukuran cup?.
"Lagian tu cewek sombong banget kayanya," ungkap Rion. Tangannya sibuk mengelap meja kasir.
"Semoga aja gua gak dapetin cewek kaya gitu deh."
Radit dari arah belakang datang sambil mengelus-elus perutnya. "aya naon sih?" tanyanya dengan santai.
"Tuh customernya si Rion gak jelas."
"Pacar lo anjir!"
Faisal mengetuk-ngetuk kepalanya beberapa kali. "Ih amit-amit tujuh turunan!"
Di ruang tamu, Rayna duduk dengan tenang di atas sofa. Tangan kirinya memegang ponsel, membalas pesan-pesan yang dikirimkan temannya dan juga pesan dari Rion. Tawanya tak berhenti saat membuka chat dari Rion.
Rion mengirim foto sekali lihat, foto Naura yang memakai lipstik dan juga blush berwarna pink. Rayna tak tahu—darimana Naura mendapatkannya. Tak mungkin jika itu milik Rion, sedangkan mereka hanya tinggal berdua.

Dari arah dapur, Raya menghampiri—tangannya penuh membawa nampan berisi dua gelas minuman dingin dan dua potong roti bakar. "gila lo!" ucap Raya melewatinya begitu saja. Ia terus melangkah ke luar, menemui Leon yang sedang berkunjung.
Rayna memanyunkan bibir, mencibir sang kakak. Tidak bisakah ia membiarkan Rayna bersenang-senang?. Toh, Raya juga mempunyai pacar, sama sepertinya. Usia mereka hanya terpaut tiga tahun, wajar saja jika mereka terlihat lebih akrab sebagai teman.
Rayna bangkit, masih dengan ponsel di genggaman tangannya. Menghampiri sang kakak yang sedang asyik berbincang santai di teras rumahnya.
"Bagi-bagi dong!" kepalanya menyembul keluar dari belakang pintu.
Raya mendelik. "buat lo mah bikin aja sendiri."
"Pelit banget sih!"
Leon tersenyum. "Sini, ikut duduk sama kita!"
Raya menyenggol lengan Leon. "Ngapain sih! ganggu orang pacaran aja."
"Biarin aja bep," ucap Leon pelan.
"Belain aja terus!"
Leon mendekat, mengusap pundak Raya. "Gak gitu bep, emang kenapa sih sensi banget sama Rayna?"
Rayna mendekat, ikut duduk bersama raya dan juga Leon. Kini, mereka bertiga duduk di atas karpet kecil di teras rumah. sebetulnya ada kursi dan juga meja. Tapi mereka lebih suka duduk lesehan.
"Iya—lagian gua juga gak akan ganggu kalian."
Ponsel Rayna berdering, panggilan video dari Rion. Tanpa berpikir dua kali Rayna mengetuk tombol hijau di layar. Wajah Rion terpampang di layar setelahnya, bersama Naura juga yang masih menggunakan riasan hasil karyanya sendiri.
Naura melambaikan tangannya ke arah kamera. "*Kak Ray*!"
"Hallo Naura!"
"*Naura aja yang disapa*?" cemberut Rion yang berada di samping Naura. Mereka sedang duduk di dalam kamar milik Rion. Rayna tahu, ada sebuah foto keluarga yang sengaja Rion pajang menghiasi dinding kamarnya—tepat di atas kasur.
Rayna tersenyum lucu. "Iya, sayangnya aku juga dong."
Rion mengerutkan keningnya. "*Lagi di luar*?"
"Iya, nih sama mereka," jawab Rayna. Ia mengarahkan kamera ponselnya ke dua orang yang berada di depannya—Raya dan Leon.
Refleks, Rion mengambil alih ponselnya dari tangan Naura. "*Eh? Ion ganggu ya*?"
"Santai aja Yon." Leon menyahut, menampakkan wajahnya di dalam kamera.
Raya merebut ponsel Rayna. "Pacar lo nih! Ganggu aja orang pacaran!"
Rayna membulatkan matanya. "Kapan gua ganggu?"
"*Lagi main kak*?" tanya Rion basa-basi.
"Iya, lagi nikmatin roti bakar buatan Raya." Leon mengangkat piring yang berisikan roti bakar buatan Raya yang sudah tak utuh.
Rayna mengambil kembali ponsel miliknya yang Leon kembalikan. "Sayang! Aku kangen deh."
Rion tersenyum lembut. "*Sabar ya! Ion juga aslinya pengen peluk kamu yang lamaaaaa bangetttt*." wajahnya terlihat sangat teduh, meski sedikit terlihat lelah.
"*Kak Ray*!" panggil Naura lagi.
"Kenapa Naura?" Rayna memiringkan sedikit kepalanya, bertanya dengan nada yang dibuat-buat.
"*Aku teh mau cerita. Tadi si aa ngeledek make up hasil aku*." Naura bercerita sambil menatapku wajah Rion dengan kesal.
Rayna berdiri dari duduknya, kembali ke ruang tamu dan bersandar di sofa. Rasanya lebih nyaman berkomunikasi tanpa ada yang lain. Terlebih lagi ia tak mau mendengar ocehan dari Raya.
"*Ya gimana aku gak ngeledekin dia sayang?! Mukana cemong*," balas Rion tak mau kalah.
Rayna menarik napas. "Namanya juga masih belajar."
"Naura mau kak Ray beliin make up buat anak kecil gak?" Naura mengangguk antusias, kedua matanya penuh binar.
"Nanti kak Ray beliin ya!"
Rion menjauhkan ponselnya dari Naura. Berusaha menjauhkan komunikasi antara Naura dan Rayna—kekasihnya. "*Kamu mah gitu, Naura aja terus yang ditanya*."
Rayna tertawa kecil, berpikir sejenak. "Iya sayang, nanti aku beliin kamu make up juga deh," ucapnya dengan jahil.
Rion membuang wajahnya ke arah lain. Meski Rayna tahu—Rion mencuri pandang dari sudut matanya. "*Ish gak tau ah*," ucapnya tanpa menoleh.
"Ya kan bener loh, aku kan beliin Naura make up. Jadi harus adil kan?"
Rayna tertawa puas, melihat ekspresi Rion seperti anak kecil yang tak diizinkan membeli mainan saat sedang berbelanja. Rayna memandang Rion lama—masih dengan sisa tawanya. Tak hanya Rayna, tapi juga Naura yang ikut menertawakan Rion.
Perbincangan mereka berlanjut, membahas hal-hal sederhana, sekolah Naura, dan membahas hal-hal lain tentang kehidupan keduanya.
*Meski jarak membentang, hati mereka terasa dekat. Melalui perbincangan hangat diantara keduanya—rasa sepi perlahan hilang, digantikan dengan rasa sayang. Kekosongan yang terkadang mereka rasakan terisi kembali berkat percakapan diantara keduanya*.
terus ortua mereka jg blm d jelasin ya kk ?