Bercerita seorang yang dahulu di beri julukan sebagai Dewa Pengetahuan dimana di suatu saat dirinya dihianati oleh muridnya dan akhirnya harus berinkarnasi, ini merupakan cerita perjalanan Feng Nan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15: Enam Sosok Asing
Langit di atas pegunungan barat perlahan-lahan kehilangan warna alaminya. Cahaya mentari tertutup lapisan kelabu tipis yang semakin menebal dari detik ke detik. Di puncak batu karang yang tajam, dikelilingi bayangan pepohonan purba dan kabut abadi, kelima sosok berjubah yang tadi membicarakan kembalinya gerhana kini berdiri terpaku. Raut wajah mereka tegang, tubuh mereka membentuk lingkaran perlindungan alami, bahu menyentuh bahu, membentuk formasi defensif kuno yang disebut “Segel Lima Pilar”.
Namun ketegangan itu tak bisa disembunyikan.
Tak satu pun dari mereka yang menduga akan merasakan tekanan seberat ini—tekanan yang bahkan membuat udara terasa seperti kaca yang akan pecah kapan saja. Dari arah timur, enam sosok berjubah hitam melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Mereka seolah menjadi bagian dari bayangan itu sendiri. Jubah mereka panjang menyentuh tanah, namun tak meninggalkan jejak di rerumputan atau debu. Aura hitam pekat menyelimuti tubuh mereka, mengalir naik seperti asap kegelapan dari neraka.
Yang aneh adalah… enam sosok itu tidak membawa senjata. Tidak ada pedang, tidak ada tongkat, tidak ada lambang khas faksi atau sekte mana pun.
Hanya tubuh. Dan aura.
Aura yang begitu tebal dan padat hingga terasa seperti menekan setiap pori tubuh, setiap detak jantung, bahkan setiap pikiran yang ingin bernalar logis.
Kelima sosok yang sudah lebih dulu berada di tempat itu saling bertukar pandang. Mata mereka mengisyaratkan satu hal yang sama: ini bukan pertemuan kebetulan. Enam makhluk di depan mereka memiliki aura gelap yang mencekam dan kemungkinan besar akan segera terjadi pertumpajan darah di tempat ini
"Bagaimana mungkin banyak makluk surgawi di tempat ini?" bisik salah satu dari lima orang itu, suaranya serak dan kecil, seolah suara sendiri takut terdengar.
"Aku tidak tahu pasti bagaimana mereka melakukanya, tapi perintah tuan untuk menjaga tempat ini harus kita laksanakan,"
Ucapan itu datang dari pemimpin kelompok mereka—seorang lelaki tua dengan rambut perak panjang yang terikat rapi, matanya menyala biru pucat. Ia dikenal sebagai Penjaga pertama, salah satu dari lima penjaga pilar. Ia yang paling peka terhadap aura, dan apa yang ia rasakan kini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar permusuhan.
Enam sosok berjubah hitam itu berhenti hanya beberapa langkah dari lingkaran perlindungan lima penjaga. Tidak satu pun dari mereka berbicara. Tidak perlu. Aura mereka cukup untuk menyampaikan niat: pembantaian.
Riak kekuatan mengalir seketika.
Ledakan energi meletus tanpa aba-aba. Tanah bergetar, pohon-pohon di sekitar tumbang satu per satu, dan langit mendadak pecah oleh kilatan cahaya hitam dan biru. Suara dentuman pertama nyaris membuat gendang telinga pecah—gelombang kejut dari dua kekuatan yang bertabrakan mengguncang lembah. Formasi “Segel Lima Pilar” mulai menyala dengan simbol-simbol kuno berwarna emas, membentuk kubah pelindung di sekitar mereka.
Namun itu tidak cukup.
Salah satu dari enam sosok hitam melesat cepat seperti anak panah gelap, menerobos udara dan menghantam pertahanan formasi. Kubah pelindung bergetar keras, lalu pecah di satu sisi, menyebabkan Penjaga Kelima terpental jauh dan menghantam batu besar dengan keras. Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, dan cahaya jiwanya mulai goyah.
"Lima lawan enam... bukan perbandingan yang adil," gumam Penjaga Keempat, sebelum tangannya membentuk segel rumit.
Dalam sekejap, semburan api keluar dari telapak tangannya, melilit salah satu sosok berjubah hitam. Api itu bukan api biasa, melainkan Api Kehendak Langit, sebuah jurus yang hanya bisa dipanggil jika pengguna bersumpah mempertaruhkan hidupnya.
Pertarungan berubah menjadi pertempuran berdarah.
Langkah-langkah tak terlihat bergerak secepat kilat. Tubuh beradu. Energi mental bertabrakan. Gelombang demi gelombang serangan dilontarkan dari kedua pihak. Satu penjaga menggunakan teknik ilusi dan mengubah medan pertempuran menjadi bayangan labirin. Sementara itu, salah satu sosok berjubah hitam membelah bayangan itu dengan aura seperti belati tajam, menembus lapisan demi lapisan kenyataan palsu.
Salah satu dari sosok bertudung, yang paling muda, mundur satu langkah. Nafasnya tercekat. “Mereka bukan makhluk biasa...”
Aura dari keenam sosok itu seakan mencengkeram udara, mematahkan aliran spiritual di sekitarnya. Langkah mereka pelan, tapi tiap gerakan seolah mematahkan realitas. Mata mereka tak terlihat, namun setiap tatapan menusuk jiwa.
Lelaki tertua dari kelompok bertudung mendesis, “Pecah formasi. Kita takkan bisa melawan mereka dalam lingkaran segel.”
Terlambat.
Salah satu sosok berjubah hitam mengayunkan lengannya, dan dari balik lengan itu keluar bilah angin hitam yang melesat. Tanpa suara, tanpa cahaya—namun daya rusaknya terasa luar biasa. Tanah di belakang mereka langsung membelah membentuk jurang dangkal.
Mereka tak punya pilihan.
Kelima Penjaga Sisa segera bergerak. Formasi berubah. Langkah kaki mereka menyentuh titik-titik yang telah mereka tandai sebelumnya dengan aliran qi bumi. Cahaya samar muncul dari tanah—lambang lima elemen kuno: Air, Api, Kayu, Logam, dan Tanah.
Salah satu dari mereka, perempuan berjubah ungu gelap, membuka mulutnya dan melantunkan mantra dalam bahasa tua. Tangannya membentuk mudra rumit, dan dari tanah naik pilar cahaya berwarna perunggu yang menyambar ke arah musuh.
Namun, salah satu dari sosok berjubah hitam hanya mengangkat satu tangan, dan pilar cahaya itu terhenti di udara—membeku, lalu pecah menjadi abu.
“Celaka... mereka bisa mengacaukan aliran elemen,” ujar sang Penjaga Logam. Wajahnya pucat.
“Pisahkan mereka!” seru sang Penjaga Api. Ia melompat ke udara, tubuhnya menyala merah membara. Lidah-lidah api mengikuti gerakannya, menari dan membentuk naga api yang mengaum keras sebelum menerjang dua sosok berjubah hitam sekaligus.
Sementara itu, sang Penjaga Air mengangkat kedua tangannya, dan kabut tebal menyelimuti medan. Dari dalam kabut, suara-suara dentingan mulai terdengar—seperti suara air menetes ke batu selama seribu tahun. Saat kabut cukup pekat, ia meluncur ke arah satu musuh, membawa gelombang tekanan air yang begitu besar hingga tanah seketika cekung oleh kekuatannya.
Pertempuran pun pecah.
Benturan demi benturan menggetarkan langit. Cahaya dan bayangan saling berbenturan, saling menelan. Setiap kali energi dilepaskan, pohon-pohon di sekitar terbakar atau beku seketika. Batuan pecah, udara bergemuruh.
Sosok berjubah hitam ternyata jauh lebih terlatih dari yang mereka duga. Gerakan mereka senyap, namun presisi. Mereka menyerang tanpa emosi, tapi dengan tujuan mematikan. Dalam lima belas menit, dua dari Penjaga Sisa telah terluka parah.
Penjaga Kayu terkena tebasan gelap di perutnya. Darahnya berceceran, namun ia tetap berdiri. Menggigit giginya, ia menancapkan tongkat kayu pohon purba ke tanah. Akar-akar menyebar, membelit salah satu sosok hitam hingga tak bisa bergerak. Tapi sebelum bisa menyelesaikan serangannya, salah satu musuh lain melemparkan tombak bayangan yang menembus bahunya.
Terpental, Penjaga Kayu jatuh. Namun saat itu juga, Penjaga Logam menyerbu ke depan—tubuhnya diselimuti zirkon perak. Pedangnya berputar membentuk pusaran, menciptakan aliran tekanan luar biasa.
Saat satu musuh tampak terdesak, Penjaga Air dan Api menyatukan kekuatan mereka. Ledakan uap panas menggelegar saat es dan api bertemu, dan akhirnya, untuk pertama kalinya, salah satu dari enam sosok berjubah hitam itu terhempas keras ke batu besar—dan tubuhnya meledak dalam kabut hitam tebal.
Sunyi.
Tapi bukan kemenangan yang mereka rasakan. Justru lebih pada... keresahan.
Empat dari mereka tersisa. Namun tak satupun dari sosok berjubah hitam itu menunjukkan ekspresi—tidak ada amarah, tidak ada kaget. Hanya diam, lalu secara serempak, mereka mundur perlahan.
Lima orang itu tak mengejar. Mereka nyaris tidak mampu berdiri. Luka terbuka menghiasi tubuh mereka. Nafas mereka tersengal, dan qi mereka hampir habis. Tanah di sekitar telah berubah—berantakan, penuh lubang, dan retakan seperti bekas gempa.
Sang pemimpin bertudung melangkah tertatih ke arah batu segel.
“Kita tak bisa membiarkan mereka mencapai Pilar Selatan...” gumamnya.
Penjaga Air menatap langit. Bulan telah berubah. Warna merah samar mulai merayap ke ujung cakrawala.
“Gerhana akan segera datang.”