Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Peter kaget dengan tebakan yang disampaikan oleh Alesia. Dia mau jawab apa?
Peter cuma senyum. Lalu mengusap punggung Alesia. Peter tidak sanggup mengatakannya. Bagaimana dia bisa? Alesia begitu percaya bahwa papahnya adalah pria baik, sosok yang selalu melindungi putri tercinta. Mengatakan yang sebenarnya hanya akan menghancurkan hati Alesia.
Alesia menatap Peter dengan mata penuh harap. "Tapi kenapa Papah nggak kasih kabar sama sekali? Biasanya dia selalu kirim pesan atau telepon."
Peter menelan ludah. "Mungkin dia sibuk banget," jawabnya hati-hati.
Alesia mengerutkan kening. "Tapi setidaknya dia bisa bilang sesuatu, kan? Ini aneh."
Peter meremas jari-jarinya. Dia harus mengalihkan pembicaraan sebelum Alesia semakin curiga.
"Hei," katanya lembut, "Gimana kalau kita pergi makan sesuatu? Aku traktir deh, makanan favorit kamu."
Biasanya, itu cukup untuk membuat Alesia bersemangat, tapi kali ini dia hanya menggeleng. "Aku nggak lapar. Paman aneh banget, orang bibi lagi sakit kok ngajak makan? Aku gak doyan makan."
Peter menghela napas. Ini lebih sulit dari yang dia bayangkan.
Alesia menatapnya lagi, kali ini dengan mata yang menyelidik. "Paman, kamu menyembunyikan sesuatu dari aku, ya? Papah gak mungkin baik-baik saja. Ini pertama kalinya, Papah gak ada kabar begitu lama."
Jantung Peter berdegup lebih cepat. Dia harus tetap tenang. "Enggak kok. Aku cuma nggak mau kamu khawatir," katanya, berusaha terdengar meyakinkan.
Tapi Alesia tidak mudah dibodohi. "Kalau aku harus khawatir, berarti memang ada sesuatu yang salah, kan?"
Peter terdiam. Dia tidak bisa terus menghindar, tapi dia juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Firasat seorang putri tidak akan salah.
Alesia menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Pama ... Aku cuma mau tahu yang sebenarnya. Kalau ada sesuatu yang terjadi sama Papah, aku berhak tahu."
Peter menatap gadis itu dengan perasaan bersalah. Dia ingin melindunginya, tapi mungkin berbohong bukan cara yang tepat.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Alesia. "Dengar, Alesia. Aku nggak bisa bilang semuanya sekarang. Tapi aku janji, aku akan selalu ada buat kamu. Kamu nggak sendirian."
Alesia menatapnya lekat-lekat. "Paman... Papah kenapa?"
Peter hampir menyerah, hampir mengatakan semuanya. Tapi sebelum dia bisa menjawab, suara ponselnya berdering. Dengan gugup, dia merogohnya dari saku dan melihat nama di layar.
Mario.
Peter mengepalkan tangannya. Orang itulah yang membuat semua ini terjadi. Orang itulah yang menjebak Aarav dan membuatnya dipenjara. Dan sekarang, dia menelepon Peter.
Dia tidak mungkin mengangkatnya di depan Alesia.
"Maaf, aku harus angkat ini sebentar," katanya cepat, lalu berdiri dan berjalan menjauh.
"Paman, kalau itu dari Papah, minta dia pulang ya? Alesia kangen."
"Iya nak."
***
Peter tampak kesal saat Mario menelepon dengan banyak basa-basi. Dia lantas marah dan memaki mantan pacar kakaknya itu.
"Apa maumu, Mario?" geram Peter, berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Alesia.
Di seberang telepon, Mario terkekeh. "Santai, Peter. Aku cuma mau memastikan kalau kamu dan Olivia baik-baik saja."
Peter mengepalkan tangannya. "Kau benar-benar b4jingan, Mario. Kau menjebak Aarav, lalu bersikap seolah-olah kau tak bersalah. Aku muak dengan permainanmu!"
"Terserah apa katamu. Aku cuma peduli dengan Olivia," ujar Mario ringan.
"Cih, peduli apanya ha? Kamu sialan!" geram Peter.
"Ssst, jangan begitu Peter, bukankah kamu sangat mengenalku? Aku pengen kamu sama Olivia bahagia. Itu aja kok Peter."
"Cih, dengan memfitnah Aarav? Kamu b4ngs4t!"