Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Perceraian
Ruang sidang hari itu dipenuhi oleh ketegangan yang mencekam.
Ruangan megah dengan deretan kursi kayu berukir itu dipadati oleh beberapa orang penting yang menyaksikan langsung proses perceraian Joseph Sebastian Abraham dan Jessica Laurent, seorang model ternama yang namanya belakangan ini sering muncul dalam berbagai skandal media.
Di sisi kanan, Joseph duduk dengan tenang mengenakan setelan abu-abu yang sempurna, sementara pengacaranya dengan serius menyiapkan dokumen. Di sisinya, ayahnya, Tuan Abraham, duduk dengan ekspresi tajam.
Sementara itu, di sisi kiri, Jessica tampak gelisah. Wajahnya yang biasanya cantik dan terawat terlihat penuh kemarahan, bibirnya terkatup rapat seolah siap meledak kapan saja.
Hakim mengetuk palu, memulai sidang.
“Saudara Joseph Sebastian Abraham, Anda mengajukan gugatan cerai dengan alasan bahwa istri Anda, Jessica Laurent, telah meninggalkan pernikahan tanpa alasan jelas dan berpura-pura meninggal dunia selama bertahun-tahun. Apakah ini benar?”
Joseph menegakkan tubuhnya. “Benar, Yang Mulia.”
Hakim mengalihkan pandangan ke Jessica.
“Saudari Jessica Laurent, apakah Anda membantah pernyataan ini?”
Tentu saja aku membantah! Joseph adalah pembohong! Dia hanya mencari alasan untuk menceraikanku karena sekarang dia sudah punya perempuan lain!” Jessica mencibir.“
Joseph menghela napas panjang. “Aku tidak butuh alasan lain, Jessica. Kamu sendiri yang meninggalkanku. Kau menghilang selama bertahun-tahun dan berpura-pura mati! Aku bahkan harus mengurus seorang bayi yang ternyata bukan darah dagingku.”
Jessica berdiri dengan mata berapi-api.
“Steven itu anakmu!”
“Tidak.”
Dengan tenang, Joseph mengambil sebuah dokumen dan menyerahkannya kepada hakim.
“Ini hasil tes DNA yang membuktikan bahwa Steven bukan putraku. Aku sudah tertipu oleh Jessica selama bertahun-tahun.”
Hakim menerima dokumen itu dan membacanya dengan seksama. Ruangan menjadi senyap.
Jessica mulai gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu menatap Joseph dengan tajam.
“Kau pasti memalsukan itu! Ini semua adalah rekayasa!”
Joseph menatapnya dingin. “Rekayasa? Lalu, bagaimana dengan fakta bahwa kau menggunakan jasad wanita lain dan berpura-pura mati hanya untuk menghilang dari hidupku?”
Jessica terdiam seketika.
Seluruh ruangan menatapnya dengan berbagai ekspresi—terkejut, jijik, tidak percaya.
Tuan Abraham akhirnya buka suara. Suaranya dalam dan penuh penekanan.
“Aku sudah tahu kau licik, Jessica. Tapi aku tidak pernah menyangka kau sekejam ini.”
Jessica mengepalkan tangannya. “Aku tidak kejam! Aku hanya ingin kebebasan! Aku tidak pernah ingin menikah dengan Joseph sejak awal!”
“Lalu kenapa kau menjebakku dalam pernikahan? Kau merencanakan semuanya, membuatku mabuk, dan mengklaim bahwa aku sudah menghamilimu. Aku terlalu bodoh saat itu untuk tidak menyelidikinya lebih jauh.” Joseph mencibir.
Jessica tertawa sinis. “Karena kau miliarder! Aku butuh uangmu, Joseph. Itu saja.”
Sontak, orang-orang di ruangan itu berbisik.
Hakim mengetuk palu.
“Saudari Jessica, harap jaga sikap Anda di persidangan.”
Namun, Jessica sudah kehilangan kendali. Ia menatap Joseph dengan penuh kebencian.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Aku tidak akan menceraikanmu, Joseph! Aku akan membuat hidupmu hancur!”
Joseph hanya menggeleng.
“Sayangnya, kamu tidak punya pilihan.”
Pengacaranya kemudian menyerahkan dokumen lain kepada hakim.
“Yang Mulia, berdasarkan bukti-bukti yang kami ajukan, termasuk manipulasi hukum yang dilakukan oleh tergugat serta kebohongannya selama bertahun-tahun, kami mengajukan pembatalan pernikahan. Artinya, sejak awal, pernikahan ini tidak pernah sah secara hukum.”
Jessica tersentak.
“APA?!”
Hakim membaca dokumen itu, lalu mengangguk.
“Berdasarkan bukti yang diberikan, pengadilan menyetujui pembatalan pernikahan antara Joseph Sebastian Abraham dan Jessica Laurent. Pernikahan ini secara hukum dianggap tidak pernah ada.”
Jessica membeku di tempat.
Joseph akhirnya tersenyum tipis. “Permainan selesai, Jessica.”
Jessica menatapnya dengan penuh kebencian.
“Aku akan membalasmu, Joseph! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!”
Tuan Abraham berdiri. “Tidak akan ada kesempatan bagimu, Jessica. Aku sudah mengirim pengacaraku untuk memastikan bahwa kau tidak akan bisa menyentuh keluarga Abraham lagi. Dan satu hal lagi....”
Pria tua itu mendekat, menatap Jessica dari dekat.
“Jangan pernah mendekati Steven lagi. Kau sudah membuangnya sejak kecil. Dia bukan anakmu lagi.”
Jessica mengatupkan rahangnya. Matanya berkilat marah, tetapi ia tahu bahwa kali ini, ia benar-benar kalah.
Sidang pun berakhir.
Joseph menatap Jessica untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi dari ruang sidang.
Dengan langkah tenang, ia keluar bersama ayahnya.
Di luar, Giorgio dan Marsha sudah menunggu.
Begitu melihat mereka, Joseph menghela napas dan berkata, “Akhirnya... semuanya berakhir.”
***
Ruangan besar di rumah keluarga Abraham terasa sunyi. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah, duduk dalam lingkaran dengan wajah serius.
Di tengah ruangan, seorang bocah kecil berusia lima tahun duduk di sofa, matanya berbinar tetapi penuh kebingungan. Steven tidak mengerti kenapa semua orang terlihat begitu sedih.
Joseph menghela napas berat. Ia berlutut di hadapan bocah itu, menyentuh bahunya dengan lembut.
“Steven, ada sesuatu yang sangat penting yang harus kami bicarakan denganmu,” katanya dengan suara lembut, tetapi terdengar getir.
Steven berkedip polos.
“Apa itu, Papa?”
Hati Joseph terasa remuk seketika. Ia menutup mata sesaat, mencoba menguatkan dirinya.
Tuan Abraham akhirnya maju, suaranya berat dan penuh wibawa.
“Nak, mulai hari ini ... kau tidak boleh memanggil Joseph dengan sebutan ‘Papa’ lagi.”
Kedua mata kecil Steven membesar. Ia menoleh ke arah Joseph, mencari jawaban.
“Tapi ... kenapa?”
Joseph menatap bocah itu dengan penuh kasih sayang.
“Karena ... aku bukan ayah kandungmu, Steven.”
Bocah itu terdiam. Alisnya bertaut, mencoba memahami kalimat sederhana itu, tetapi hatinya menolak menerima.
Giorgio, yang berdiri di belakang, mengepalkan tangannya. Marsha menggenggam tangannya erat, seolah menenangkan suaminya.
“Apa ... maksudnya?” suara Steven terdengar gemetar.
Erika, kakak tertua keluarga Abraham, maju dan berjongkok di hadapan Steven.
“Sayang, dengarkan Tante Erika, ya?” suaranya penuh kelembutan.
Steven menatapnya lekat.
“Kau adalah anak yang sangat berharga, Steven. Kau istimewa, kau dicintai. Tapi ... ada kebenaran yang harus kau tahu. Papa Joseph selama ini mengasuhmu dengan sepenuh hati, tetapi kenyataannya, kau bukan anak kandungnya.”
Steven semakin bingung. Matanya mulai berair.
“Jadi... aku bukan bagian dari keluarga ini?”
Tuan Abraham segera menggeleng.
“Tidak, sayang. Kau tetap cucu kami. Kau tetap keluarga kami.”
Namun, bocah itu tidak bodoh. Ia mulai menghubungkan semua potongan cerita yang pernah ia dengar. Matanya menatap Joseph lurus-lurus, penuh ketakutan.
“Apakah ... apakah karena aku haram?”
Semua orang terkejut.
Joseph segera mengguncang bahu bocah itu, suaranya terdengar bergetar.
“Steven! Jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi! Kau bukan anak haram, kau anak baik, kau istimewa, kau adalah anak yang pantas dicintai!”
“Tapi—” suara bocah itu mulai tersendat.
Air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan.
“Apakah ... apakah karena ibuku menipumu?” tanyanya lagi, suaranya gemetar. “Apakah karena ibuku membuangku?”
Tidak ada yang bisa menjawab dengan mudah.
Joseph menutup mata, menahan perih di dadanya.
“Steven ... ibumu melakukan kesalahan. Tapi itu bukan salahmu. Kau tidak pernah salah.”
Steven menggeleng kuat. “Kalau aku bukan anakmu, lalu siapa aku? Lalu siapa yang akan menjadi ibuku?”
Erika mengusap air matanya dan menarik bocah itu ke dalam pelukannya.
“Sayang, mulai hari ini, aku akan menjadi ibumu,” bisiknya.
Steven tersentak. Ia menatap Erika dengan mata berkaca-kaca.
“Tante Erika?”
Erika tersenyum. “Aku akan menjagamu, akan menyayangimu seperti anakku sendiri. Kau tidak akan sendirian.”
Bocah itu menatap sekeliling. Ia melihat Joseph, yang berusaha keras menahan emosinya.
Ia melihat Giorgio, yang juga menunduk dengan rahang mengeras. Ia melihat Marsha, yang menatapnya dengan mata lembut tetapi penuh kesedihan.
“Jadi... aku harus memanggil Papa Joseph dengan sebutan Paman?” suaranya sangat pelan, hampir seperti bisikan.
Joseph tersenyum pahit. Ia menelan ludah sebelum menjawab.
“Ya, sayang. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku tetap akan ada untukmu, kapan pun kau butuh aku.”
Steven menggigit bibirnya, air matanya mengalir makin deras.
Kemudian, bocah itu berlari ke arah Joseph dan memeluknya erat.
“Aku tidak mau kehilangan Papa....”
Joseph menutup matanya, air matanya akhirnya jatuh.
Ia mengusap punggung kecil Steven dengan penuh kasih sayang.
“Kau tidak akan pernah kehilangan aku, Nak. Aku tetap ada untukmu.”
Tuan Abraham menghela napas berat, matanya sedikit berkabut melihat pemandangan itu. Giorgio sendiri diam, tidak bisa berkata-kata.
Di dalam pelukan Joseph, Steven menangis tersedu-sedu.
Dan di ruangan itu, kesedihan melingkupi mereka semua.
Bersambung....