Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Beberapa hari setelah sidang internal, ketika keputusan final masih menunggu.
Di bawah pohon besar, Miska duduk sendiri, dengan buku doa terbuka di pangkuannya, tapi matanya kosong menatap rerumputan.
Lalu, suara-suara sumbang mulai terdengar dari arah beberapa santri yang lewat.
“Gara-gara dia, pesantren kita jadi sorotan buruk!.”
“Siapa sih dia? Baru juga masuk, udah bikin drama. Berani-beraninya nuduh ustadz Dayat… Astaghfirullah.”
“Aku yakin dia cari perhatian. Pura-pura jadi pahlawan, padahal dia sendiri penuh masalah.”
Miska hanya mengangkat wajahnya dan berlagak acuh. Namun dalam hatinya ia merasa resah. Bukan resah karena penilaian buruk tentangnya, melainkan khawatir kasus Novi tidak terpecahkan.
**
Sementara sebagian banyak santri telah menghakimi Miska dan menggunjingnya, tidak dengan sebagian santri lain yang merasa simpati dan mendukung sikap Miska.
“Katanya, bukti dari cctv itu kuat banget. Bahkan rekaman suara ustadz Dayat juga ada.”
“Pantas ya Dewan Etik sampe nahan beliau. Tapi... kasihan juga ya Miska, diserang dari semua sisi.”
Dan di sisi lain, Rehan yang duduk bersama dua temannya, Ia sesekali melirik ke arah Miska berada tanpa ingin di ketahui untuk memastikan tidak ada yang mengganggunya.
Kemudian, salah satu temannya menyikut pelan bahunya lalu berkata, “Tum, ente yakin mau terusin ini? Nama ente bisa ikutan kena loh.”
“Biarlah. Tapi ana nggak bisa diem waktu kebenaran diinjak-injak. Apalagi Miska berdiri sendirian dan memerlukan dukungan," jawab Rehan.
“Ente beneran jagain dia ya?.”
“Cuma dari jauh. Tapi kadang… orang yang berdiri sendirian cuma butuh tahu kalau mereka nggak benar-benar sendiri.”
~ Hmmm... Sok sweet... 😍😍 Laki-laki tidak bicara hanya beraksi 🤩 ~
**
Hari ini, rapat darurat diadakan. Beberapa petinggi yayasan, termasuk dewan guru, pengurus pesantren, dan perwakilan donatur, duduk dalam lingkaran formal.
Suasana terasa tegang. Laporan media lokal mulai menyebut adanya dugaan kasus asusila di lingkungan pesantren ternama itu.
“Kita bisa hancur kalau berita ini meluas. Wartawan sudah mulai kepo. Bahkan ada yang berusaha masuk ke gerbang pesantren tadi pagi!," seru salah satu pengurus.
“Dengan segala hormat, ini bukan soal uang saja. Nama baik lembaga dipertaruhkan. Kita harus pertimbangkan cara meredamnya... diam-diam," timpal seorang donatur dengan tegas.
“Maksud Anda... memindahkan Novi? Membungkam keluarga?,” tanya salah satu asatidz.
“Ya. Kita bantu biaya rumah sakit. Kita buat berita yang menyebut ‘santriwati sakit dan dipulangkan untuk pemulihan’. Sederhana. Selesai," jawab donatur lain dengan nada dingin.
Sementara itu, Miska yang sengaja berjalan lewat belakang aula, mendengar percakapan tersebut. Spontan seluruh tubuhnya menegang, matanya melebar. Tangannya pun mengepal menahan kesal.
“Jadi... semua perjuangan cuma akan ditutup seperti ini?,” gumamnya.
Ia lalu berjalan cepat ke taman belakang, lalu menendang batu kecil dengan kesal. "Kalian ini benar-benar ya!."
**
Kembali ke ruangan rapat.
Ketika rapat masih berlangsung dengan suasana yang mencekam. Tiba-tiba, pintu terbuka. Ustadz Dayat masuk, dengan wajah pucat tapi mantap.
“Ustadz Dayat? Ini sidang tertutup…” kata ustadz Ridwan yang terkejut dengan kedatangannya.
“Aku datang... untuk mengakui semuanya,” jawab Ustadz Dayat sambil memutar pandangannya dan menatap semua orang.
Semua pun terdiam. Mereka hanya menatap balik ustadz Dayat dengan tidak percaya.
“Aku telah menikahi Novi secara sirih. Dialah istriku, dan bayi itu... anakku," ujar ustadz Dayat.
“Allahu Akbar…” seru semua orang seraya terperanjat.
“Gila… dia benar-benar mengaku…” bisik si donatur yang merasa panik.
“Saya tahu apa yang saya alakukan adalah pelanggaran besar. Tapi saya tidak bisa lagi berdusta. Kebenaran harus ditegakkan, meski harus di bayar mahal,” lanjut ustadz Dayat.
**
Flashback...
Satu hari sebelumnya, langit sore memerah keemasan saat seorang pria mengenakan gamis dan peci masuk diam-diam ke dalam salah satu kamar rawat rumah sakit.
Dimana, disana Novi terbaring lemah, tapi masih terjaga sambil menatap pintu. Air matanya menetes saat melihat siapa yang datang.
“Ustadz Dayat…” panggilnya lemah.
Ustadz Dayat menghela napas panjang, lalu perlahan mendekat. "Aku datang... maafkan aku.”
Ustadz Dayat lalu duduk di samping ranjang, sambil menatap wajah Novi yang pucat dan tubuh bayi yang mungil di lengan suster.
“Saya takut. Mereka mau pisahkan saya dari anak saya... dari pesantren... dari segalanya," ujar Novi yang terdengar putus asa.
Ustadz Dayat pun menunduk, dengan suara hatinya yang penuh penyesalan.
“Aku pengecut... Aku takut pada dunia, pada status, pada jabatan. Tapi saat aku lihat wajah bayi itu... wajahku sendiri, aku tidak bisa bersembunyi lagi,ucap ustadz Dayat."
Lalu, suster menyerahkan bayi itu ke Novi. Ustadz Dayat pun meraih ujung selimut dan menyentuh pipi bayi itu, yang tak lain darah dagingnya sendiri.
“Anakku... maafkan ayah...”
Melihat kesedihan di mata ustadz Dayat, Novi pun menggenggam tangan ustadz Dayat lalu berkata dengan lirih,
“Kalau benar ustadz mengakuinya... jangan tinggalkan kami.”
BERSAMBUNG...