Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 29
"Pada saat itu, semuanya mulai terungkap perlahan. Helena tahu bahwa untuk menjaga citra panti asuhannya tetap bersih dan terpercaya, dia membutuhkan seseorang yang dapat memberi kesan profesional pada orang tua yang ingin menitipkan anak-anak mereka. Dan itulah alasan mengapa dia mencariku," kata Gio, matanya menatap kosong ke arah jendela, seakan mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah membawa dirinya ke titik ini.
"Aku hanyalah seorang dokter umum yang ditempatkan di panti itu untuk merawat anak-anak yang sakit. Tugasku adalah memberikan perawatan medis, memastikan mereka dalam keadaan baik. Namun, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi di ruang bawah tanah panti asuhan itu. Aku tidak tahu bahwa di bawah permukaan yang tampak penuh kasih sayang, ada kejahatan yang sedang berkembang. Aku hanya tahu bahwa telah diberi tanggung jawab untuk merawat anak-anak yang seharusnya menjadi korban dari kebijakan dan rencana jahat Helena."
Renjana menatapnya dengan cemas, "Jadi, anda tidak tahu apa yang terjadi pada anak-anak saat itu?"
Gio menggelengkan kepalanya, tampak penuh penyesalan. "Tidak. Aku hanya fokus pada perawatan mereka. Tapi kemudian, lama kelamaan, anak-anak yang aku rawat satu per satu menghilang. Setiap kali ada anak yang sakit parah, dia akan hilang begitu saja. Awalnya, aku berpikir mungkin mereka dipindahkan ke rumah sakit atau dikirim ke tempat lain untuk perawatan lebih lanjut. Tapi kemudian, Helena mulai memberikan alasan yang semakin aneh."
Dia menarik napas panjang, seakan mencerna semua perasaan yang begitu membebaninya. "Helena bilang bahwa dia memindahkan anak-anak itu ke kota besar, jauh dari panti ini, untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, aku merasa ada yang tidak beres. Aku harus tahu lebih banyak, tapi setiap kali aku bertanya, dia selalu menghindar atau memberi jawaban yang kabur."
Renjana menelan ludah, semakin merasa ngeri dengan cerita yang semakin terungkap. "Dan anda mulai curiga."
"Ya," jawab Gio. "Aku marah. Karena menurut aturan, seharusnya keputusan seperti itu harus mendapat persetujuanku terlebih dahulu. Tapi Helena tidak pernah mendengarkan. Dia hanya bergerak dengan rencananya sendiri. Aku merasa terperangkap. Aku tahu ada sesuatu yang salah, tetapi sayangnya tidak bisa membuktikannya."
Gio berhenti sejenak, matanya menatap Renjana, mencoba menyampaikan betapa sulitnya keadaan yang dia hadapi. "Aku tetap bertahan di sana karena aku memiliki misi sendiri. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di panti itu. Meski hatiku menolak apa yang aku lihat dan dengar, aku harus pura-pura tidak peduli. Aku merasa tak ada jalan keluar."
Renjana semakin merasa ketegangan itu menyelimuti mereka. "Apa yang akhirnya anda temukan?"
Gio menghela napas panjang dan menatap lurus ke depan, seolah mengingat peristiwa yang tak pernah bisa dia lupakan. "Suatu hari, aku menemukan sesuatu yang membuat semuanya semakin jelas. Aku sedang berada di mobil Helena, dan ketika membuka bagasi untuk mengambil sesuatu, aku menemukan sebuah bungkusan yang bersimbah darah. Saat itu, aku merasa semuanya sudah berakhir. Aku tahu bahwa bungkusan itu berisi sesuatu yang mengerikan, mungkin tubuh seorang anak, tetapi aku pura-pura tidak tahu. Aku mencoba untuk tidak terlihat cemas, dan terus mencari bukti lebih lanjut."
Renjana merasa bulu kuduknya merinding, memikirkan apa yang baru saja Gio ungkapkan. "Jadi, anda tahu ada sesuatu yang sangat salah, tapi anda tetap tidak bertindak?"
"Betul," jawab Gio dengan suara yang penuh penyesalan. "Aku terjebak dalam dilema. Aku tahu harus terus mencari bukti, tetapi saat itu, aku takut terburu-buru mengambil langkah yang salah. Aku harus lebih hati-hati. Setiap keputusanku akan memengaruhi hidup banyak orang. Helena adalah orang yang sangat cerdik. Kalau aku gegabah, bisa-bisa aku juga akan jadi salah satu korban."
Renjana mengerutkan kening, perasaan campur aduk antara ngeri dan kasihan pada Gio yang terjebak dalam situasi tersebut.
Renjana tahu, kini mereka berada di titik balik. Semua yang telah terjadi selama ini bukan hanya tentang kejahatan yang dilakukan Helena, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi kenyataan yang sangat sulit. Gio, meskipun terjebak dalam dilema moral yang berat, kini memilih untuk berjuang demi kebenaran—meski itu berarti dia harus menghadapi bahaya yang jauh lebih besar.
Dokter Gio melanjutkan ceritanya dengan suara yang semakin seram, menyadari bahwa mereka sedang berada di ujung sebuah jurang kebenaran yang sangat mengerikan. "Hingga kemarin, sebuah bungkusan ditemukan oleh suami Nek Ayun, tersangkut di batang kayu dekat sungai. Begitu dibuka, mereka menemukan jasad bayi yang sudah tak bernyawa lagi, bersama dengan beberapa berkas yang rasanya tidak sengaja termasuk di dalamnya. Salah satu berkas itu adalah surat adopsi dengan tanda tangan Helena sebagai ketua panti Widarpa," kata Gio dengan nada berat, berusaha menahan perasaan yang penuh amarah.
Renjana merasa tubuhnya kaku, menyadari bahwa semuanya mulai terungkap. "Jadi itu berarti, jasad bayi itu…"
"Ya, itu bayi yang diduga dibawa oleh Helena untuk ditangani secara ilegal," jawab Gio, menatap Renjana dengan ekspresi tegang. "Surat adopsi itu jelas-jelas terdaftar atas nama orang yang tidak dikenal. Seperti yang saya duga, ada banyak hal yang disembunyikan di balik panti ini. Helena sudah terlalu jauh. Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi."
Polisi segera mengerahkan beberapa petugas untuk melakukan penyelidikan di panti Widarpa setelah temuan tersebut. Namun, sebelum mereka sampai, Helena sudah lebih dulu melarikan diri. "Helena tahu ini akan terjadi, jadi dia buru-buru kabur bersama Samuel ke pelabuhan," lanjut dokter Gio. "Mereka berdua melarikan diri ke sebuah kapal yang akan membawa mereka pergi jauh, mungkin ke tujuan yang jauh. Helena tidak akan mudah menyerah begitu saja. Selama ini, dia selalu tahu bagaimana cara melindungi dirinya."
Renjana menggigit bibirnya, merasa ngeri. "Tapi, apa yang terjadi dengan Kiwi?"
Dokter Gio melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Kiwi ditangkap di panti tanpa perlawanan. Meskipun dia bagian dari jaringan ini, dia tidak punya banyak pilihan. Dia terlalu terjebak dalam situasi ini untuk bisa melawan. Tapi, meskipun begitu, tangkapan Kiwi menjadi titik terang untuk polisi. Mereka bisa menginterogasinya lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi di panti tersebut."
Dokter Gio melanjutkan ceritanya dengan suara berat, mencoba menahan emosi yang mulai muncul seiring dengan penemuan yang semakin mengerikan. "Polisi akhirnya menemukan lebih banyak lagi di dalam ruangan yang terkunci itu. Mereka menggali lebih dalam, dan di bawah lantai ruangan itu, mereka menemukan banyak mayat bayi dan anak-anak yang terkubur. Semua ini adalah bukti dari kejahatan yang sudah terjadi begitu lama, yang selama ini disembunyikan dengan sangat rapi oleh Helena."
Renjana terdiam, merasa tercekik oleh kengerian yang semakin jelas di depan matanya. "Astaga! Jadi selama ini dugaanku benar?"
"Ya," jawab dokter Gio dengan suara penuh penyesalan. "Setiap anak yang hilang, setiap anak yang dirawat olehku dan kemudian menghilang tanpa jejak, kini kita tahu apa yang terjadi pada mereka. Mereka adalah korban dari tindakan jahat yang telah direncanakan oleh Helena sejak lama. Setiap anak yang dibawa masuk ke panti, kemungkinan besar akan berakhir dengan nasib yang sama."
"Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika polisi menemukan seorang anak yang masih hidup di dalam sel kecil di sudut ruangan itu. Kondisinya sangat buruk, tapi syukurlah, dia selamat. Anak itu, meskipun sangat lemah, mulai berangsur-angsur pulih setelah diberi perawatan. Namun, kita semua tahu bahwa itu adalah keajaiban bahwa dia berhasil selamat."
Renjana menutup mulutnya, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. "Aku mengingat anak itu, ya tuhan, aku ingin sekali menolongnya saat itu. Bagaimana keadannya sekarang?"
"Anak itu, meskipun menderita, masih memiliki harapan," jawab Gio dengan lembut. "Dia telah dipindahkan ke rumah sakit dan menerima perawatan intensif. Kondisinya mulai membaik, meskipun traumanya masih sangat mendalam. Tapi setidaknya, dia memiliki kesempatan untuk hidup, untuk mulai pulih dari semua penderitaan yang dia alami."
Renjana menarik napas dalam-dalam, mencoba menyatukan pikirannya. "Ini sudah terlalu jauh, dokter. Semua ini—semuanya—harus dihentikan. Tidak bisa ada lagi anak yang menjadi korban dari kejahatan seperti ini."
Dokter Gio menatap Renjana dengan tekad yang sama. "Kamu benar. Tidak ada lagi anak yang pantas menjadi korban. Kita harus berjuang untuk mengungkap semua ini, untuk memberikan keadilan pada semua anak yang hilang, dan bagi mereka yang masih hidup dan harus memulai hidup baru setelah apa yang mereka alami."
Renjana merasa bahwa dia berada di jalur yang benar sekarang. Dengan setiap langkah, mereka semakin mendekati kebenaran, dan meskipun jalan ini penuh dengan kegelapan, dia tahu bahwa itu adalah satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh. Karena ada terlalu banyak anak yang sudah tidak bisa bersuara—tetapi sekarang, mereka memiliki kesempatan untuk berbicara.