Menikahi Paman Mantan

"Paman, keadaan Mama masih seperti ini. Aku mana bisa meninggalkan Mama sendirian." Kelvin berkilah, sekadar untuk menutupi kelemahannya dalam mengurus semua itu.

Namun, pembelaan tersebut mendapat tanggapan tawa dari Riu. Meski begitu, Annisa dan Jason tetap diam dan tak menegur. Peran Riu kali ini sangat dibutuhkan oleh mereka.

Dengan santai, Riu mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Lantas, mengisap dengan kuat, seakan sangat menikmati nikotin yang perlahan masuk dalam tenggorokan.

"Kamu bilang mamamu sendirian? Bukankah sekarang sudah ada di sini? Ada Papa, ada banyak pelayan. Kalau kamu memang niat, tidak akan kenapa-napa Kak Annisa di sini," ujar Riu seraya menyandarkan punggung dan menyilangkan satu kaki ke atas kaki yang lain.

"Memang tidak kenapa-napa, tapi aku yang tak tega meninggalkan Mama. Tunggu Mama sembuh, aku pasti bisa merebut kembali rumah itu. Tak perlu Paman turun tangan," sahut Kelvin dengan angkuh. Dia tak mau mengakui kelemahannya di hadapan Vale.

"Baguslah kalau begitu," ujar Riu dengan enteng. Namun, langsung mengubah ekspresi Annisa.

Wanita yang sejak tadi menunduk itu, kini mendongak sambil menggeleng cepat.

"Tidak, Riu, kamu harus turun tangan." Annisa beralih menatap Kelvin, "Turunkan egomu, Vin. Kamu tidak bisa melawan Juliet dan ayahmu," sambungnya.

"Jangan terlalu meremehkan aku, Ma. Aku pasti bisa kok. Tunggu Mama sembuh, aku akan membuktikan ucapanku ini," jawab Kelvin tanpa berpikir panjang. Entah bagaimana nantinya jika Riu benar-benar tak mau membantu. Mungkin, ia hanya bisa merelakan rumah itu diambil alih oleh selingkuhan ayahnya.

Mendengar jawaban anaknya, Annisa menarik napas panjang. Itulah hasil didikannya selama ini. Sejak kecil diajarkan angkuh dan menomorsatukan harta, sekarang setelah dewasa juga tak bisa diandalkan. Jangankan dengan Riu, dibandingkan dengan Sander saja, Kelvin kalah jauh.

"Tahu aku dipukuli saja kamu tidak bisa membela, Vin, apalagi merebut rumah yang sudah atas nama dia. Dengan apa kamu melakukannya?" ujar Annisa. Suaranya pelan, seperti orang yang berputus asa.

Kelvin kembali berkilah, "Bukannya aku tidak bisa membela, Ma, aku cuma terkejut saja dengan hubungan Juliet dan Angela."

"Lalu setelah itu, kamu ada melalukan sesuatu? Tidak, kan?" Lagi-lagi Annisa menarik napas panjang. "Kamu hanya membawa ke rumah sakit, dan kemudian membawa Mama ke sini. Kamu tidak punya rencana apa pun, selain membujuk kakekmu untuk membantu," lanjutnya.

Kelvin mendengkus kasar, tak punya kalimat lagi untuk menjawab. Wajah kesal itu pun mengundang senyuman miring di bibir Riu.

Sementara Vale, keningnya sedikit mengernyit. Dia tahu siapa Angela—wanita cantik yang ada di hotel bersama Kelvin pada malam itu. Satu hal yang membuat Vale bertanya-tanya, apa gerangan hubungan dia dengan selingkuhan Theo?

"Aku menikah dengan pamannya. Dan dia ... pacaran dengan orang yang ada hubungannya dengan selingkuhan ayahnya. Apakah dunia sesempit itu?" batin Vale.

"Riu, anggap saja aku sedang memohon. Tolong, ambil kembali rumah itu. Misalkan kamu tidak mau memberikan lagi padaku, terserah. Anbil saja untukmu. Yang penting, tidak menjadi milik Mas Theo lagi," ucap Annisa setelah cukup lama tak ada suara yang terdengar.

"Aku tidak bisa berjanji. Urusanku sendiri masih banyak. Selain di bidang pekerjaan, aku juga sedang merencanakan pesta besar untuk merayakan pernikahanku dengan Vale. Sudah cukup lama aku menundanya, dan itu juga karena keserahakanmu. Jadi, aku tidak mau menunda lagi. Terlebih alasannya masih seputar kamu, Kak," jawab Riu.

Annisa terdiam, sedangkan Kelvin mendengkus untuk kesekian kalinya. Dia masih tidak rela melihat Vale menjadi milik pamannya. Apalagi setelah kedok Angela terbuka, makin nyata saja cinta yang ia rasa.

"Riu___"

"Sudah malam, Pa. Aku dan Vale izin pamit," pungkas Riu, tak memberi kesempatan pada ayahnya untuk meneruskan kalimatnya.

Riu tahu apa yang akan Jason ucap, pastilah sebuah bujukan agar dirinya mau membantu Annisa.

Tanpa peduli lagi dengan panggilan Annisa dan Jason, Riu bangkit dan menggandeng Vale. Ia bawa wanitanya pergi dari sana.

Dengan penuh sesal, Annisa memandang punggung Vale dan Riu yang makin menjauh. Berulang kali ia merutuki kesalahan masa silam, yang mana ia telah menyakiti adiknya sendiri, demi lelaki yang nyatanya tak pernah tulus dalam mencinta. Kini, entah pada siapa dia akan mencari bantuan andai Riu menolak. Karena Camelia pun, posisinya juga sedang tidak baik.

________

Sesampainya di rumah, Riu tidak ikut masuk ke kamar, melainkan sekadar memeluk Vale dan mengecup keningnya dengan mesra.

"Sayang, kamu tidurlah dulu! Aku masih ada pekerjaan, mungkin sampai larut," ucapnya setelah mengurai pelukan.

"Pekerjaan?" tanya Vale, yang kemudian ditanggapi dengan anggukan oleh Riu.

"Apa ... sesuatu yang ada hubungannya dengan Kak Annisa tadi?" Vale kembali bertanya.

Riu mengangguk sambil mengembuskan napas panjang.

"Kalau begitu aku temani. Kalaupun nanti ketiduran, setidaknya di depan kamu." Vale tersenyum manja, lantas merangkul erat pinggang Riu, hingga lelaki itu tak bisa menolak keinginannya.

Sesaat setelah itu, Riu dan Vale bersama-sama menuju ruang kerja. Keduanya duduk berhadapan. Riu langsung fokus pada layar komputernya, sedangkan Vale fokus pada wajah Riu yang tampak lebih tampan dalam mode serius.

"Kamu tidak tanya, kenapa aku mau membantu Kak Annisa?" tanya Riu di sela-sela pekerjaannya.

Vale tersenyum, "Kalau boleh menebak, kamu tidak murni membantu. Kamu hanya tidak rela aset keluarga Brox direbut mantan iparmu. Tapi di balik itu, kamu pasti punya rencana yang lain."

Riu menatap Vale dengan lekat, dan perlahan senyuman terkulum di bibirnya.

"Kamu memang paling mengerti aku," ucapnya.

Kemudian, pandangan Riu kembali teralih pada layar di hadapannya. Bukan Theo yang menjadi targetnya kali ini, melainkan Juliet. Seseorang yang sebenarnya sejak lama sudah ada dalam pantauannya.

Bersambung...