Alena: My Beloved Vampire
Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.
Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Menuju Hari Penentuan
Chapter 67: Misteri Kota Velmor
Pagi itu, keluarga Reinhard berkumpul di ruang tamu setelah sarapan.
Alberd, Alena, Grinfol, dan Stefani duduk mengelilingi meja, namun tak ada keceriaan seperti biasanya. Meskipun hari ini adalah Minggu, seharusnya hari libur, tapi suasana terasa berat.
Ketenangan pagi mereka telah terusik oleh berita mengejutkan: lima mayat ditemukan sekitar satu mil dari kediaman mereka. Warga perumahan gempar. Polisi dan awak media memenuhi lokasi, mencoba mengungkap kebenaran di balik peristiwa itu.
Grinfol akhirnya memecah keheningan.
"Jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?" suaranya tegas, penuh ketegangan.
Alberd dan Alena saling bertukar pandang.
"Ayah, Ibu..." Alberd memulai dengan hati-hati. "Apa kalian masih ingat kejadian lima hari lalu?"
Stefani menatapnya tajam, lalu menoleh pada suaminya.
"Tentu. Ibu ingat. Kamu dihadang delapan orang... para pemburu vampir," jawabnya, ekspresinya mengeras mengingat insiden itu.
Alberd mengangguk pelan.
"Lima mayat yang ditemukan pagi ini... mereka berasal dari kelompok yang sama," ucapnya.
Mata Grinfol menyipit. Stefani mengerutkan kening.
"Apa itu benar, Alena?" Grinfol memastikan, suaranya lebih dalam dari biasanya.
Alena menghela napas sebelum menjawab.
"Ya, Ayah... mereka bagian dari kelompok itu."
Tatapannya menjadi lebih serius saat melanjutkan,
"Semalam, mereka datang ke sini. Lima orang. Dua di antaranya mencoba menculik Nina..."
Stefani menahan napas, wajahnya langsung pucat.
"Jadi kami..." Alena melirik Alberd.
"Kami membunuh mereka," sambung Alberd, tanpa keraguan dalam suaranya.
Stefani tersentak, tubuhnya menegang. Grinfol mengepalkan tangan di atas meja.
"Itu sangat berbahaya..." suara Stefani terdengar sedikit bergetar. "Lima hari lalu saja, delapan orang itu membawa senapan dan pistol. Salah satu dari mereka bahkan bukan manusia..."
"Kami sangat khawatir saat itu, Nak," Grinfol menambahkan, suaranya lebih berat. "Aku sendiri pernah tertembak oleh mereka. Aku tahu betapa mematikannya mereka."
Ia menarik napas panjang sebelum berkata,
"Kalau begitu... memang tak ada pilihan lain. Jika kalian tidak melawan, mereka yang akan membunuh kita."
Stefani hanya bisa mengangguk, meski matanya masih menyiratkan kecemasan.
Alena menggigit bibirnya, lalu dengan nada lebih serius ia berkata,
"Ibu, Ayah... ini belum selesai. Mereka berencana menyerang kita dengan kekuatan penuh dua hari lagi."
Grinfol dan Stefani sontak membelalakkan mata.
"Sial..." gumam Grinfol.
"Tapi..." Alberd menambahkan sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh.
"Kami tidak akan menunggu mereka datang. Kami akan menyerang markas mereka lebih dulu."
Stefani memucat. "Alberd! Itu terlalu berbahaya!"
Alena segera berpindah tempat, duduk di sebelah Stefani, menggenggam tangannya yang gemetar.
"Ibu..." bisiknya lembut. "Percayalah. Dengan restu Ayah dan Ibu, kami pasti akan berhasil."
Stefani memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Alberd menatap orang tuanya dengan tekad bulat.
"Kami ingin menyelesaikan ini secepat mungkin. Jika menunggu, mereka akan datang dengan persiapan lebih matang. Ini satu-satunya cara."
Grinfol menghela napas berat, menatap putranya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata,
"Kami tidak bisa ikut bertarung, tapi kami percaya pada kalian. Kalian berdua jauh lebih kuat daripada kami. Jadi, lakukanlah apa yang harus kalian lakukan. Kami hanya bisa mendoakan keberhasilan kalian."
Alberd dan Alena tersenyum tipis, menghargai dukungan itu.
"Terima kasih, Ayah, Ibu," ucap Alberd tulus.
Stefani masih terlihat khawatir, tapi akhirnya ia membelai wajah Alena dengan lembut.
"Semoga kalian baik-baik saja... Ibu ingin ini segera berakhir."
Alena tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Ibu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh keluargaku."
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan sebelum Grinfol tiba-tiba berkata,
"Beberapa hari lalu, kota Velmor juga dihebohkan dengan runtuhnya sebuah bangunan terbengkalai. Ada enam mayat yang ditemukan di dalam reruntuhan."
Alberd menautkan alis. "Aku sempat mendengar beritanya."
"Itu masih menjadi misteri bagi warga... mereka tidak tahu kalau itu ulah menantu kita," Grinfol menambahkan, sedikit tersenyum miring.
Alena balas tersenyum samar.
"Mereka sangat berbahaya, Ayah. Kalau aku terlambat sedikit saja, Alberd pasti sudah terluka parah."
Stefani menatapnya penuh rasa syukur.
"Ibu sangat beruntung memiliki menantu sepertimu... Terima kasih, Sayang."
Alena tersenyum lembut.
"Sama-sama, Ibu. Lagipula... mana mungkin aku membiarkan suamiku terluka.." Matanya menajam.
"Begitu pula dengan keluarga Reinhard. Kalian adalah keluargaku... Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi keluarga ini."
Alberd menatap ke luar jendela, matanya menyipit menatap langit mendung di atas Velmor.
"Penemuan lima mayat itu hanya akan menambah daftar misteri kota ini."
Ia menoleh kembali ke keluarganya, suaranya rendah tapi penuh keyakinan.
"Dan dua hari lagi... Kota Velmor akan diguncang lebih hebat."
Grinfol hanya menggeleng, sementara Stefani menghela napas panjang.
Namun meski ketegangan masih menggantung di udara, kehangatan keluarga Reinhard tetap terasa.
Dua hari lagi.
Hari yang akan menentukan segalanya.
Chapter 68: Di Bawah Langit Senja
Langit sore membentang kelabu, cahaya matahari yang meredup menggoreskan warna jingga samar di ufuk barat. Angin sepoi berembus melewati lapangan olahraga, membawa aroma rumput yang lembap sehabis hujan siang tadi.
Di tengah lapangan, dua sosok berdiri berhadapan. Alena, dalam posisi siaga, tubuhnya sedikit membungkuk, matanya tajam mengawasi pergerakan lawannya. Di hadapannya, Alberd menyeringai santai, bola basket dipantulkan dari tangan ke tangan dengan ritme yang teratur.
Seketika, Alberd berputar cepat, tubuhnya melesat ke samping sebelum melompat tinggi dan melepaskan tembakan sempurna. Bola melayang dalam lintasan mulus, menembus jaring tanpa perlawanan.
"Swish.."
"Sepuluh kosong!" seru Alberd, tawa puasnya memenuhi udara.
Alena membungkuk, kedua tangannya bertumpu di lutut, napasnya tersengal. “Kenapa... susah sekali…” gumamnya dengan nada frustrasi.
Alberd menyeringai, berjalan mendekat dengan ekspresi penuh kemenangan. "Ayolah, mana semangatmu?" godanya.
Alena meliriknya tajam. "Kamu serius sekali melawanku… Bukannya ingin mengajariku? Kenapa malah jadi pertandingan sungguhan?" protesnya, bibirnya mengerucut manja.
Alberd tertawa kecil, lalu mengusap kepala istrinya dengan lembut. “Oke, maaf, sayang…” ujarnya dengan nada menenangkan. “Kemari, aku akan mengajarimu dengan benar.”
Alena mendengus pelan, berpura-pura merajuk. “Baiklah… Ini kesempatan terakhirmu,” katanya dengan nada setengah bercanda.
Keduanya berdiri di depan ring. Alena menggenggam bola, sementara Alberd berdiri di belakangnya, kedua tangannya membimbing milik Alena. Kehangatan tubuh Alberd terasa jelas, napasnya berhembus pelan dilehernya, membuat wajah Alena sedikit memanas.
"Fokus, tarik napas, dan lempar dengan rileks…" bisik Alberd di dekat telinganya.
Alena menelan ludah, mengangguk pelan, lalu melepaskan lemparannya.
"Krak!"
Bola meluncur masuk dengan mulus ke dalam ring.
“Yeaaahh!” Alena bersorak kegirangan, wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang baru saja memenangkan hadiah besar.
Alberd tersenyum hangat, menatap istrinya dengan penuh kebanggaan. “Hebat istriku,” katanya lembut.
Alena menatapnya balik dengan binar bahagia. "Terima kasih, sayang."
Mereka berjalan menuju bangku taman, duduk berdampingan di bawah naungan pepohonan yang bergoyang pelan tertiup angin.
Tiba-tiba, Alberd menoleh. "Sayang, bisa tunggu di sini sebentar?"
Alena menatapnya curiga. "Mau ke mana?"
Alberd tersenyum misterius. "Membeli sesuatu yang kamu suka."
Mata Alena langsung berbinar. "Aku mau es krim rasa cokelat!" ujarnya penuh antusias.
Alberd tertawa. "Baik, segera meluncur," katanya sebelum beranjak pergi.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan dua es krim di tangannya. "Ini, sesuai pesanan nona vampirku," ujarnya sambil menyodorkan satu ke Alena.
Alena menerima es krim itu dengan senyum cerah. "Terima kasih, sayangku!"
Saat ia mulai menikmati es krimnya, Alberd diam-diam mengamati wajah istrinya. Tatapan lembutnya mengandung sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat Alena menyadarinya.
"Ada apa?" tanya Alena, menoleh penasaran. "Apa kamu masih memikirkan soal rencana penyerangan?"
Alberd menggeleng pelan. "Bukan… Ini tentang sesuatu yang baru saja terpikir olehku."
Alena menatapnya lebih serius. “Apa itu?”
Alberd menarik napas dalam. "Dulu, saat pertama kali kita bertemu, kenapa kamu langsung menceritakan identitasmu sebagai vampir? Bahkan tentang keluargamu?"
Alena terdiam sejenak sebelum tersenyum tipis. "Kamu ingin tahu alasannya?"
Alberd mengangguk, menunggu jawabannya dengan penuh perhatian.
Alena menghela napas perlahan. "Saat aku terbangun dari segel, aku adalah satu-satunya vampir yang tersisa. Dunia ini terasa asing, sunyi… Aku tidak punya siapa-siapa. Tapi ada satu hal yang menjadi tujuanku sejak saat itu."
Ia menatap dalam ke mata suaminya.
“Kamu, Alberd… Kamu adalah orang yang diramalkan oleh leluhur keluargaku. Orang yang ditakdirkan dalam ramalan. Jika aku tidak menceritakannya kepadamu… lalu kepada siapa lagi aku harus bercerita?"
Alberd menelan ludah, jari-jarinya perlahan menggenggam tangan Alena.
"Jika aku tidak percaya pada ramalan leluhurku sendiri, lalu kepada siapa aku harus percaya?" lanjut Alena dengan suara lirih.
Alberd terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Jadi karena itu… kamu langsung mempercayaiku sejak awal?”
Alena tersenyum. "Ya… Selain itu, vampir memiliki kemampuan untuk menghapus ingatan. Jadi, meskipun kamu bereaksi buruk saat itu… aku bisa saja menghapus semuanya."
Alberd menghela napas panjang. “Pantas saja kamu tampak begitu percaya diri,” ujarnya, terkekeh kecil.
Mereka kembali menikmati es krim dalam keheningan yang nyaman, hingga Alberd menyadari sesuatu. "Es krimmu sudah habis… Mau beli lagi?"
Alena menggeleng, tersenyum jahil. "Tidak perlu, makan es krim terlalu banyak tidak baik untuk gigi."
Alberd tertawa lepas. "Kamu vampir, mana mungkin sakit gigi?"
"Siapa tahu?" Alena menyeringai.
Alberd menggeleng dengan tawa. "Baiklah, kalau begitu, kita beli untuk Nina saja."
Alena mengangguk setuju. "Ayo."
Mereka berdiri, berjalan berdampingan meninggalkan taman. Langit senja mengiringi langkah mereka, membiaskan cahaya keemasan yang membalut sosok keduanya. Sore ini terasa begitu hangat dan ceria, meskipun di ujung horizon, pertempuran besar telah menanti mereka berdua.
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.
Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.
Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.
Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.