Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Menjalankan Rencana
"Suami orang juga tidak masalah asal anakku jadi prioritas." gumam Bi Narti lirih. Namun, telinga ini masih bisa menangkapnya dengan jelas.
Ucapan Bi Narti sukses membuatku meradang. Hingga tanganku menggenggam sapu dengan penuh kekuatan. Berulang kali kuucapkan istighfar di dalam hati agar emosi ini mereda meskipun sedikit.
"Sekarang Siska sudah hamil, Bi?." aku kembali ingin mengorek informasi.
"Ya sudahlah. Anakku itu wanita subur. Begitu di sentuh suami nya langsung hamil! tidak seperti ..." matanya memandang ku dengan tatapan meremehkan.
"Tidak seperti aku? bukan hanya bibi yang heran kenapa sampai saat ini aku belum di berikan keturunan. Aku sendiri pun sempat heran, Bi. Sempat ada pertanyaan di dalam benak ku. kenapa Allah begitu sulit menitipkan anak untukku? Aku pun sempat iri, kenapa hubungan di luar nikah itu lebih mudah untuk memiliki anak ketimbang aku?. Namun, aku sadar Allah pasti sudah mempersiapkan hikmah yang luar biasa setelah ini. Bukan inginku belum punya anak lagi, Bi. Aku sudah berusaha, kalau Allah belum bisa ngasih aku bisa apa? Aku sih tidak heran kenapa Allah memberikan keturunan pada Siska. Bisa jadi karena..." Aku sengaja menggantungkan kalimat agar Bi Narti berpikir yang macam-macam.
"Kamu bilang anakku hamil di luar nikah ? begitu?." Bu Narti kembali bersungut-sungut. Kali ini di sertai dengan kacak pinggang. Matanya menatap nyalang.
"Apa aku ada ngomong demikian? Nggak kan? Bi Narti terlihat begitu marah? kalau nggak merasa kenapa meski heboh!." Bi Narti mendengus sebaliknya, lalu menghentikan kakinya seraya meninggalkan aku seorang diri.
Tersenyum tipis aku menatap punggung nya yang semakin menjauh.
Mungkin perempuan itu kehabisan kata-kata. Hingga akhirnya, Bi Narti memilih pergi meninggalkan rumah ini dan berjalan ke arah pulang. Sepertinya dia lupa tujuannya datang ke sini. Ah, bisa jadi ke sini hanya ingin memastikan kapan aku pulang karena sudah tidak sabar lagi.
***
"Mama, bagaimana kalau rumah peninggalan eyang itu aku jual?." Mama menatap ku dengan banyak kerutan di kening. Gelas dalam genggaman pun segera ia letakkan di atas meja. Mama menatapku lekat. Dapat kucium aroma ketidaksetujuan di sini.
"Kenapa? tidak bagus warisan di jual. Lagian akan kamu gunakan untuk apa uangnya?." seperti dugaan, mama tidak setuju.
"Aku tidak nyaman di sana, Mah. Itu sebab nya aku malas pulang ke rumah itu." akhirnya aku menemukan jawaban mengapa tidak segera pulang.
Padahal ketidaknyamanan karena sudah tidak ingin mempertahankan Rumah tanggaku dengan Mas Danang. Aku paling benci dengan penghianatan, dia sudah mencampakkan aku. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak olehnya seakan aku tidak lagi ada artinya di depan suami. Dia begitu mudahnya mendua. Sebelum Danang mengabulkan permintaan Siska untuk menceraikan aku, setelah anak hubungan gelapnya itu lahir. Maka aku duluan yang akan membuangnya. Bisa apa dia tanpa aku? toh selama ini aku yang mencukupi sebuah kebutuhannya. Kalau boleh ngomong, Ibunya Mas Danang tidak akan makan tanpa uluran tangan dariku selama 4 tahun ini. Sayangnya mereka tidak sadar diri dan tidak tahu terima kasih.
Tanpa aku bagaimana kelangsungan hidupnya Ibunya Danang? aku ingin melihat seberapa ikhlas Siska mengurus Ibu mertuanya setelah aku dan Mas Danang bercerai?.
"Apa yang membuatmu tidak nyaman? Bukankah kamu sudah sukses membuat toko sembako di sana? Bahkan mertua dan keluargamu di sana baik-baik semua. Lalu, alasan apa yang membuatmu tidak nyaman?, Ris?." tatapan mama membuatku mengatur napas.
"Lingkungan di sana, Mah." Hanya itu alasan yang bisa meluncur dari bibir ini.
Menjelaskan seperti apapun sepertinya tidak akan mudah di terima oleh mama.
"Alasanmu mengada-ngada, Ris! mama tidak setuju!." Mama tampak geram. Hingga beliau berdiri dan meninggalkan aku seorang diri.
Inilah resiko yang harus aku hadapi. Di anggap mengada-ngadain sebab tidak mau terus terang tentang pengkhianatan Mas Danang dan Siska. Namun mengungkapkan sekarang pada beliau, kesehatan mama jadi taruhannya.
Semoga aku menemukan jalan keluar dari masalah ini setelah berbincang dengan Septia nanti.
***
"Mah, Riska pamit." Kuhampiri mama yang sedang melihat ayam-ayam peliharaan nya di kandang. Di belakang rumah, mama memiliki ternak ayam. Dari sinilah beliau menghidupi dirinya selain sawah dan kebun singkong. Usaha yang selama ini di tekuni beliau. Meskipun orang lain yang mengerjakannya.
Mama mengulas senyum lalu pergi ke arah kan air. Tangan yang penuh dengan dedak itu ia bersihkan. Tak lupa mengelap dengan kain yang menggantung di sisi kandang.
"Kamu mau kemana, Nak? Mau pulang?." Di telisiknya wajahku dengan seksama. Itulah mama, marahnya tidak pernah lama. Semarah apapun beliau tadi kini sudah sirna. Bahkan sorot matanya itu penuh cinta.
"Riska mau pulang, Bu. Tapi, tolong mama jangan bilang ke Bi Narti kalau Riska pulang. Bilang aja Riska mau main, Mah."
"Kenapa Mama tidak boleh jujur pada Bi Narti?." Mama menangkup kedua pipi ku. Di cium kedua pipiku dengan penuh cinta. Di kecupnya lama keningku.
"Nanti mama akan tahu. Saat ini Riska pamit ya, Mah." Beliau menganguk tersenyum meskipun tercetak jelas ketidakpuasan wajahnya terhadap jawabanku. Tapi mama tetap menyerahkan punggung tangannya untuk ku cium.
Mama dan Bi Narti memiliki hubungan yang sangat dekat. Mama yang tulus menganggap Bi Narti memiliki rasa yang sama untuknya. Sayang nya dan ketulusan mama sehingga nyaris mama tidak memiliki rahasia pada Bi Narti. Sebab hampir seluruhnya mama ceritakan pada Ibu nya maduku itu. Begitu percayanya Mama pada adiknya. Sayangnya, rasa sayang, ketulusan dan kepercayaan Mama di balas dengan penghianatan oleh Bi Narti.
Aku pun tak habis pikir, bagaimana bisa Bi narti tega menusuk ku dan mama dari belakang. Entah setan apa yang berhasil mencuci otaknya? Dan apa motifnya?.
***
Baru saja aku menginjakkan kaki di teras rumah Septia. Benda canggih milikku yang ada di dalam tas selempang ku berdering. Siapa yang sedang menelpon? Dengan segera, kurogoh handphone milikku itu. Nama Mas Danang muncul sebagai pemanggilnya.
"Assalamualaikum, De. Kata Mama kamu sudah pulang? benarkah?." suara Mas Danang terdengar girang di sebrang sana. Pasti, dia mengira aku pulang ke rumah. Aku yakin besok Siska akan pulang ke rumah orang tuanya.
Jangan harap rencana kalian akan berjalan mulus, Mas. Tidak akan aku biarkan baik-baik saja.
"Waalaikumsalalm, Iya, Mas. Tapi aku mampir dulu ke rumah teman. Maaf belum izin sama kamu. Besok aku baru pulang ke rumah kalau nggak ada halangan. Mau pesan apa?."
"Oh gitu, ya sudah nggak papa. Yang penting besok pulang ke rumah kan?." suaranya sedikit ada kekhawatiran. Begitu takutnya dia, pasti saat ini laki-laki ini sedang ketar-ketir. Takut aku tiba-tiba kembali ke rumah mama. Atau saat ini dia sedang takut aku menemukan nya? Atau takut yang lainnya? entahlah.
"Mau pesan apa?." alih-alih menjawabnya, aku malah sengaja memberikan pertanyaan yang seolah membenarkan bahwa besok aku akan benar-benar kembali ke daerah asalnya.
"Aku hanya mau titip Ibu. Maaf belum bisa pulang. Sayang... katanya uang dan barang-barang kebutuhan ibu sudah habis. Tolong ya, penuhi kebutuhan beliau dan kasih uang lagi, Mas mau ngirim belum punya uang. Tolong ya Sayang." Sudah ku tebak, dulu aku dengan senang hati memberikan semuanya. Tapi sekarang, No!.
"Hmmm, sudah dulu yah Mas. Besok aku kabarin kalau sudah sampai rumah. Nggak enak ada tuan rumahnya. Assalamualaikum." klik. Segera kuputuskan sambungan telepon sepihak.
.
.
.
Bersambung....
tinggalkan aja suamimu riska......