"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Permainan Hampir Berakhir
Clara masih terdiam, tangan kirinya meremas roknya di bawah meja. Pikirannya berputar, terlalu banyak hal yang harus ia cerna dalam satu waktu.
Bryan, yang duduk di hadapannya, mengamati setiap ekspresinya dengan seksama. Ia tahu, Clara mulai goyah. Tapi belum cukup. Ia harus lebih meyakinkannya.
Bryan menggenggam tangan Clara lebih erat. “Clara,” panggilnya, suaranya terdengar hangat dan meyakinkan. “Aku mencintaimu.”
Clara mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Bryan yang dalam.
“Aku ingin bersamamu, bukan hanya sekarang, tapi selamanya.” Bryan tersenyum kecil, jarinya mengelus punggung tangan Clara perlahan. “Aku tahu aku bukan pria sempurna. Aku tahu mungkin selama ini aku belum bisa menjadi pasangan yang terbaik untukmu. Tapi satu hal yang pasti… aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu.”
Clara menelan ludah, dadanya terasa sesak. Entah mengapa kata-kata Bryan justru membuatnya semakin resah.
“Aku ingin kita membangun masa depan bersama.” Bryan menarik napas, menatap Clara dengan penuh kesungguhan. “Aku tahu kau takut. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan menjadi pria yang bisa kau andalkan, seseorang yang tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Clara menggigit bibir bawahnya, matanya berkedip cepat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya, ingin meyakini bahwa Bryan memang mencintainya. Tapi ada bagian lain yang terus berteriak, mengingatkannya pada ketakutan yang perlahan tumbuh sejak malam itu.
Bryan tersenyum, mengusap pipi Clara dengan ibu jarinya. “Jangan ragu, Sayang. Aku di sini untukmu.”
Clara masih tak bersuara, hanya merasakan sentuhan Bryan di wajahnya. Namun, di balik sorot matanya yang tampak penuh cinta, Bryan tahu—Clara masih belum sepenuhnya percaya. Tapi itu tidak masalah.
Ia punya waktu. Dan ia akan memastikan, cepat atau lambat, Clara tidak punya pilihan lain selain tetap bersamanya.
Clara menatap Bryan yang duduk di hadapannya."Dia mencintaiku... bukan?" batinnya. Pria itu menggenggam tangannya erat, seolah ingin menyalurkan keyakinannya melalui sentuhan. Mata Bryan menatapnya tanpa ragu, penuh dengan janji yang terasa begitu nyata.
"Aku mencintaimu, Clara. Aku ingin kita bersama, selamanya."
Kata-kata itu terdengar manis, begitu meyakinkan. Tapi entah kenapa, sesuatu di dalam dirinya menolak untuk menerimanya begitu saja.
"Kenapa aku tidak bisa langsung percaya?"
Ia ingin percaya. Tuhan tahu betapa ia ingin membuang semua keraguan itu dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kata-kata Bryan. Bukankah selama ini ia mencintai pria ini? Bukankah ini yang selalu ia inginkan?
Tapi...
Kenapa hatinya justru terasa berat?
Kenapa ada sesuatu yang berbisik pelan di dalam dirinya, menyuruhnya untuk tidak langsung percaya?
Apakah ini karena ancaman Bryan sebelumnya?
Ataukah karena cara pria itu memperlakukannya selama ini?
Clara menggigit bibir, menekan keresahan yang perlahan mencengkeram hatinya.
"Clara, lihat aku."
Ia mengangkat wajahnya, kembali bertemu dengan tatapan Bryan yang hangat namun tajam.
"Aku mencintaimu. Aku ingin kamu percaya padaku."
Clara ingin mengangguk, ingin mengatakan bahwa ia percaya. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu—sesuatu tidak benar.
Dan ketidakpastian itu membuatnya takut.
***
Hania baru saja keluar dari toilet dan melangkah cepat di lorong rumah sakit. Ziyo masih bersama dokter terapi, dan ia hanya perlu segera kembali ke ruang terapi untuk memastikan semuanya berjalan lancar.
Namun, tepat ketika ia hendak berbelok di ujung lorong, sebuah suara yang amat familiar menghentikan langkahnya.
“Hania.”
Darahnya seolah membeku di tempat. Jantungnya berhenti berdetak sejenak. Napasnya tercekat.
Suara itu.
Suara yang sudah lama tidak ia dengar.
Suara yang selalu mengingatkannya pada rumah, pada kehidupan lamanya.
Ayah.
Ia tidak perlu menoleh untuk memastikan. Nalurinya langsung mengenali siapa pemilik suara itu.
Panik, Hania segera mempercepat langkahnya. Tidak. Tidak sekarang. Tidak di sini.
Ia sudah terlalu jauh melangkah dalam penyamaran ini. Gigi kawat, kacamata tebal, dan tompel di pipinya seharusnya cukup untuk menyembunyikan identitasnya. Ia tidak boleh tertangkap.
Namun, suara itu kembali memanggil. Kali ini lebih tegas, lebih dekat.
“Hania! Berhenti!”
Lalu, suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Hania menahan napasnya, jari-jarinya mengepal kuat. Ia bisa merasakan tatapan tajam yang mengunci punggungnya, menuntutnya untuk berhenti.
Apa yang harus ia lakukan?
Jika ia berlari, itu hanya akan semakin mencurigakan. Jika ia menoleh, maka penyamarannya bisa terbongkar.
Tangannya gemetar. Otaknya berpikir cepat mencari jalan keluar.
Hanya ada satu pilihan—tetap berpura-pura.
Dengan tarikan napas dalam, Hania mengubah ekspresi wajahnya, lalu berbalik perlahan dengan sikap tenang seolah ia bukan Hania yang dicari Rian.
Namun begitu tatapan mereka bertemu, Rian terdiam. Matanya menyipit, mengamati wajah di depannya dengan penuh selidik.
Hania tahu.
Ayahnya mulai curiga.
Hania menahan napas, jantungnya berdentum keras di dalam dada. Tatapan tajam ayahnya membuat tengkuknya meremang.
Rian—berdiri tegap di hadapannya, menatapnya tanpa berkedip. Tidak ada kemarahan yang meledak-ledak di wajah pria itu, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan—kewaspadaan. Kecurigaan.
Dan Hania tahu, jika ayahnya sudah menunjukkan ekspresi itu, maka ia sudah dalam masalah besar.
“Kenapa kau menyamar seperti ini, Hania?”
Suara Rian terdengar rendah, nyaris seperti bisikan, tapi setiap kata yang diucapkannya menancap tajam ke dalam dada Hania.
Ia terdiam, pikirannya kosong. Ia bisa merasakan tangannya yang berkeringat dingin, tetapi bibirnya tak sanggup bergerak untuk menjawab.
Apa yang harus ia katakan?
Bahwa ia menyamar untuk merawat Ziyo? Bahwa ia berusaha menyembunyikan identitasnya dari dunia? Bahwa ia sengaja menghilang selama ini?
Sebelum Hania sempat merangkai kebohongan atau jawaban yang masuk akal, suara ayahnya kembali terdengar, lebih tegas.
“Papa menunggumu di rumah.”
Napas Hania tercekat.
“Dan jangan coba-coba kabur.”
Tatapan itu masih sama—dingin, tajam, dan penuh perintah.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Hania yang masih terpaku di tempat.
Jantungnya berdebar kencang.
Tubuhnya terasa kaku.
Ia tahu, permainan kucing-kucingannya sudah hampir berakhir.
Hania berdiri diam di lorong rumah sakit, napasnya masih belum stabil setelah kepergian ayahnya. Kepalanya dipenuhi dengan kekhawatiran. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia benar-benar pulang dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ayahnya?
Namun sebelum ia bisa mengambil keputusan, matanya menangkap sosok yang tidak asing.
Langkah Hania terhenti seketika.
Di hadapannya, hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri, Bryan berdiri di samping seorang wanita. Clara. Mantan tunangan Ziyo.
Dada Hania terasa sesak, bukan karena ia masih menginginkan pria itu, tapi karena semua kenangan pahit kembali berputar di kepalanya seperti rekaman lama yang tak diinginkan.
Dulu, ia mencintai Bryan dengan begitu naifnya. Ia rela menyamar, berpura-pura menjadi gadis biasa hanya untuk membuktikan bahwa cinta mereka tulus, bahwa Bryan mencintainya apa adanya, bukan karena latar belakang keluarganya. Namun ternyata, apa yang dikhawatirkan orang tuanya selama ini benar. Bryan bukan pria yang pantas diperjuangkan.
Hania mengepalkan jemarinya, menahan gemuruh di dadanya. Ia seharusnya tak lagi merasa apa pun pada Bryan. Tapi tetap saja, melihat pria itu di sini, berdiri bersama wanita lain, mengingat bagaimana ia ditinggalkan begitu saja—itu menyakitkan.
Namun di saat yang sama, ada sesuatu yang lain.
Saat ini, tanpa ia sadari, sudah ada seseorang yang mengisi hatinya. Seseorang yang tidak ia duga akan menjadi begitu penting baginya. Seseorang yang kini membuatnya ingin terus berada di sisinya.
Ziyo.
Hania tersadar, bukan Bryan yang mengisi pikirannya selama ini. Bukan Bryan yang membuatnya tetap bertahan di sini, dalam penyamarannya. Tapi Ziyo. Pria yang menjadi cacat karenanya, yang kini perlahan menjadi bagian dari hidupnya.
Perasaan itu begitu menenangkan dan menghangatkan, berbeda dengan apa yang ia rasakan saat mencintai Bryan dulu.
Tanpa sadar, bibirnya melengkung tipis. Ia tidak akan membiarkan masa lalunya menghancurkan apa yang mulai tumbuh di hatinya.
Dengan satu tarikan napas, ia melangkah kembali. Namun, tiba-tiba Hania menghentikan langkahnya, alisnya berkerut. Kenapa Bryan dan Clara ada di rumah sakit ini?
Apakah ini kebetulan? Atau… apakah mereka tahu Ziyo ada di sini?
...🔸"Saat logika dan kata hati bertentangan, ingatlah bahwa hati seringkali melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata."...
..."Otakmu mungkin tahu banyak hal, tapi hatimu tahu segalanya."🔸...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Tinggal bersama kakak ziyo dan hania...
Diva dilaporkan ke polisi...
Demi ambisimu ingin menguasai perusahaan Clara tega selingkuh dengan Clara...