Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34 terpaksa
...**.✧🌷 happy reading 🌷*.✧*...
Begitu Eleanor tiba di hadapan Cedric, ia hampir terjatuh jika saja Cedric tidak cepat menangkapnya. Tubuhnya lelah, napasnya memburu, dan pakaiannya kotor oleh lumpur dan salju. Namun, di tengah semua itu, ada kelegaan yang begitu besar di hatinya. Cedric selamat.
Cedric menatapnya tajam, matanya menyapu seluruh tubuh Eleanor seolah memastikan bahwa dia benar-benar ada di sana, hidup, dan bernapas. Namun, begitu melihat kondisi Eleanor yang berantakan, ekspresi Cedric mengeras.
"Kau terluka?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh kecemasan.
Eleanor menggeleng, meskipun sebenarnya kakinya masih nyeri karena bengkak. Namun, ia tidak ingin mengkhawatirkan Cedric. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.
Cedric menghela napas panjang sebelum dengan kasar menyampirkan jubahnya di bahu Eleanor. "Kau gila karena berlari sejauh ini dalam kondisi seperti itu."
Eleanor tersenyum tipis, matanya mulai memanas, tetapi ia berusaha menahannya. "Aku tidak ingin terlambat. Aku takut kau pergi tanpa aku."
Mata Cedric melembut sejenak sebelum dia mengalihkan pandangan. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi genggamannya di lengan Eleanor sedikit mengerat, seolah memastikan bahwa perempuan itu benar-benar bersamanya sekarang.
"Cepat naik ke kapal," suaranya kembali dingin, tetapi Eleanor bisa merasakan sesuatu di baliknya. "Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi."
Eleanor mengangguk, dan bersama Cedric, mereka naik ke kapal. Brian dan Alistair membantu mereka, memastikan semuanya siap sebelum kapal berlayar meninggalkan pelabuhan.
Dari kejauhan, Varestia yang gelap dan bersalju mulai menghilang dari pandangan. Eleanor menghela napas panjang.
Mereka selamat.
Namun, ini belum selesai.
Saat Eleanor memasuki kapal, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya mencelos. Para prajurit yang tersisa tampak terluka parah, beberapa di antaranya bahkan hampir tidak bisa berdiri. Dari jumlah yang mereka bawa, kini hanya setengahnya yang selamat. Wajah-wajah lelah dan penuh luka itu membuat Eleanor merasa sesak.
Matanya beralih ke teman-teman Cedric. Mereka juga mengalami luka, meskipun tidak separah para prajurit. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sosok di sudut ruangan—Luthair.
Eleanor terkejut saat melihat Luthair terbaring dengan luka parah. Napasnya tersengal, dan darah membasahi sebagian pakaiannya. Tanpa sadar, sosok Luthair yang kesakitan itu mengingatkannya pada adiknya. Tanpa berpikir panjang, Eleanor berlari ke arahnya, matanya dipenuhi kekhawatiran.
"Luthair! Bagaimana lukamu?" tanyanya panik, berlutut di sampingnya.
Luthair menoleh perlahan, bibirnya sedikit melengkung meski jelas ia sedang menahan rasa sakit. "Aku masih hidup, Nona Eleanor. Sepertinya aku lebih tangguh dari yang kuduga."
Eleanor menggigit bibirnya, perasaan tak nyaman menyelimutinya. Melihat seseorang yang ia kenal terbaring dalam kondisi seperti ini membuat hatinya nyeri. "Jangan banyak bicara. Aku akan mencari sesuatu untuk menghentikan pendarahanmu."
Namun, sebelum Eleanor bisa bergerak, tangan Luthair mencengkeram pergelangan tangannya lemah. "Tidak perlu... Kau juga butuh istirahat..."
Eleanor menatapnya, tetapi ia tetap melepaskan genggaman Luthair dengan lembut. "Jangan bodoh. Aku tidak akan diam saja saat kau seperti ini."
Tanpa membuang waktu, Eleanor berdiri dan mencari perban serta obat-obatan di dalam kapal. Sementara itu, Cedric yang sejak tadi memperhatikan hanya menghela napas pelan, melihat bagaimana Eleanor begitu peduli pada temannya
Pikiran Cedric berkecamuk saat ia berdiri di sudut ruangan, matanya menatap Eleanor yang dengan sigap merawat Luthair. Kata-kata Lord Edwin tadi terus terngiang di kepalanya.
"Wanita itu tidak benar-benar ingin bersamamu, Cedric. Dia hanya terpaksa. Kau pikir dia mencintaimu? Tidak. Dia hanya terjebak dalam keadaan."
Cedric mengepalkan tangannya. Ia tidak ingin percaya pada omong kosong Edwin, tapi saat melihat bagaimana Eleanor dengan penuh perhatian merawat orang lain—bukan dirinya—ia tidak bisa menyangkal perasaan ragu mulai merayapi benaknya.
Jika memang Eleanor menginginkannya, mengapa dia tidak pernah mengatakannya? Mengapa dia tidak pernah menunjukkan tanda bahwa dia benar-benar ingin ada di sisinya?
Cedric menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, saat Eleanor mengusap lembut wajah Luthair yang berkeringat, lalu tersenyum kecil untuk menenangkannya, sesuatu dalam diri Cedric terasa bergemuruh.
Apakah Eleanor akan menunjukkan perhatian yang sama jika ia yang terluka? Apakah senyum itu akan diberikan padanya juga?
Tanpa sadar, Cedric mengepalkan tangannya lebih erat. Perasaan yang sulit dijelaskan mulai menyelimutinya—kecemburuan, ketakutan, dan keraguan bercampur menjadi satu. Untuk pertama kalinya, Cedric bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah Eleanor benar-benar menginginkannya, ataukah ia hanya terpaksa berada di sisinya?
...🍷🍷🍷...
Setelah memastikan Luthair mendapatkan perawatan yang cukup, Eleanor tidak langsung beristirahat. Meskipun tubuhnya lelah dan pakaiannya masih kotor, ia tetap bergerak membantu para prajurit yang terluka. Ia berjalan dari satu orang ke orang lainnya, membalut luka, mengganti perban, dan memberikan kata-kata penghiburan kepada mereka yang masih sadar.
Beberapa prajurit tampak terkejut melihat seorang wanita bangsawan turun tangan langsung untuk merawat mereka. Biasanya, tugas seperti ini diserahkan kepada tabib atau pelayan, tapi Eleanor tidak ragu untuk mengulurkan tangannya sendiri. Brian, yang memperhatikannya dari kejauhan, hanya bisa menggelengkan kepala.
"duces , Anda juga harus beristirahat," ucapnya, sedikit cemas melihat kondisi Eleanor yang mulai tampak kelelahan.
"Aku akan istirahat setelah semuanya tertangani," jawab Eleanor singkat, tetap sibuk membalut luka seorang prajurit.
Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya Eleanor merasa tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak berkompromi lagi. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit pusing, lalu berdiri dan berjalan menuju kabinnya.
Begitu masuk, ia melepas jubahnya yang penuh debu dan noda darah, lalu mengambil kain bersih dan mulai membersihkan dirinya. Air dingin yang menyentuh kulitnya membuatnya sedikit tersentak, tapi ia tetap melanjutkan. Setelah memastikan tubuhnya bersih, ia berganti pakaian dengan gaun sederhana yang lebih nyaman.
Ketika akhirnya duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya terasa begitu lelah. Namun, pikirannya masih dipenuhi banyak hal—Cedric, pemberontakan
Eleanor menghela napas panjang. Malam ini akan menjadi malam yang panjang.
Saat Eleanor tenggelam dalam pikirannya, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Ia segera bangkit dan membuka pintu, mendapati Lord Reynard berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tenang namun sedikit khawatir.
Pria itu tersenyum tipis sebelum berbicara, "Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, duces . Tapi bolehkah saya meminta tolong?"
Eleanor mengerjapkan mata, sedikit terkejut. "Tentu, ada apa?"
Reynard menatapnya sejenak sebelum melanjutkan, "Bisakah Anda melihat keadaan Cedric? Dia memang terlihat baik-baik saja, tapi saya yakin ada sesuatu yang disembunyikannya."
Eleanor mengerutkan kening. "Maksud Anda?"
"Cedric tidak pernah menunjukkan kelemahannya di hadapan siapa pun," ujar Reynard dengan nada serius. "Tapi setelah pertempuran tadi, aku bisa melihat ada yang berbeda darinya. Aku tidak tahu apakah dia terluka atau ada hal lain yang mengganggunya, tapi satu hal yang pasti, dia tidak dalam kondisi baik."
Eleanor terdiam sejenak, mencerna ucapan Reynard. Cedric memang selalu terlihat kuat, tapi apakah benar dia menyembunyikan sesuatu?
Dengan mengangguk pelan, Eleanor berkata, "Baiklah, aku akan melihat keadaannya."
Reynard tersenyum lega. "Terima kasih, Duces. Aku yakin hanya Anda yang bisa membuatnya berbicara."
Setelah Reynard pergi, Eleanor menarik napas dalam-dalam. Jika Cedric memang menyembunyikan sesuatu, maka ia harus mengetahuinya. Tanpa membuang waktu, Eleanor segera melangkah menuju tempat di mana Cedric berada.
...*.✧🥀 thanks for reading *🥀*.✧*...
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor