Zyan, seorang agen yang sering mengemban misi rahasia negara. Namun misi terakhirnya gagal, dan menyebabkan kematian anggota timnya. Kegagalan misi membuat status dirinya dan sisa anggota timnya di non-aktifkan. Bukan hanya itu, mereka juga diburu dan dimusnahkan demi menutupi kebenaran.
Sebagai satu-satunya penyintas, Zyan diungsikan ke luar pulau, jauh dari Ibu Kota. Namun peristiwa naas kembali terjadi dan memaksa dirinya kembali terjun ke lapangan. Statusnya sebagai agen rahasia kembali diaktifkan. Bersama anggota baru, dia berusaha menguak misteri yang selama ini belum terpecahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan
Nisa dan Taslima segera menuju kamar di mana Revina dan Samsul berada. Tina yang bertugas menjaga keduanya segera membukakan pintu ketika terdengar suara ketukan. Nisa berbicara sebentar dengan Tina. Gadis itu mengangguk tanda mengerti, kemudian membiarkan Nisa dan Taslima masuk ke dalam kamar.
"Kamu keluar dulu," titah Nisa pada Samsul.
"Kalian mau apa?" tanya Revina cemas.
Alih-alih menjawab pertanyaan Revina, Tina segera menyeret Samsul keluar lalu menutup pintunya. Kini tinggal Revina yang merasa ketakutan melihat pandangan penuh intimidasi dari tiga wanita di depannya. Taslima dan Tina segera memegangi Revina, sementara Nisa mengambil apa yang tadi diperintahkan oleh Zyan. Nisa membuka dal*man Revina kemudian membuka lebar kakinya. Revina mencoba berontak, namun tenaganya kalah kuat dari Taslima dan Tina.
Sesuai perintah Zyan, Nisa mengambil dal*man Revina dan melihat ke bagian inti wanita itu apa ada sisa sp*rma di sana. Terakhir Nisa mengambil darah Revina. Tidak banyak yang diambilnya, yang penting cukup untuk diuji. Siapa tahu wanita itu kembali menggunakan narkoba. Jika benar, maka tuduhan terhadap Amma bisa disangkal karena Revina menuduh pria itu dalam pengaruh obat.
Selesai mengambil apa yang dibutukan, ketiganya segera meninggalkan kamar. Samsul segera masuk ketika mereka keluar. Wajah Revina terlihat kesal sekaligus cemas. Kalau mereka berhasil mengirimkan apa yang mereka dapat ke laboratorium, bisa jadi dirinya terkena masalah. Revina berteriak kesal. Andai Zyan tidak datang, maka masalahnya tidak akan serumit ini.
Melihat istrinya keluar dari kamar yang digunakan untuk menahan revival, Barly bergegas mendekat. Dia penasaran apa yang dilakukan istrinya pada Revina. Pria itu menghalangi jalan Nisa. Matanya tertuju pada barang yang ada di tangan sang istri.
"Apa itu?" selidik Barly.
"Ini barang bukti untuk membuktikan kalau Amma tidak bersalah."
"Coba aku lihat."
Baru saja Barly hendak mengambil barang di tangan Nisa, pergerakannya sudah didahului oleh Tina. Gadis itu mengambil barang di tangan Nisa kemudian berlalu dari sana. Barly segera mengejar Tina, dia harus tahu apa yang diambil istrinya dari Revina.
"Apa kamu tidak dengar kalau aku mau melihat barangnya?" tegur Barly pada Tina.
"Barang ini harus aku segera kuberikan pada Pak Reza. Lagi pula Bapak tidak ada kepentingan dengan barang ini. Tolong jangan halangi jalan saya."
"Heh! Kamu itu siapa? Kenapa kurang ajar sekali? Apa kamu tidak tahu siapa saya?" berang Barly.
"Ngga penting juga saya tahu siapa Bapak."
Tina segera berlalu meninggalkan Barly. Ketika pria itu hendak menyusul, Nisa dengan cepat mencegahnya. Sikap Barly sangat mencurigakan di matanya.
"Kenapa Abang mau tahu sekali soal barang itu?" tegur Nisa.
"Aku hanya ingin tahu. Aku juga ingin membantumu, sayang."
"Membantuku? Harusnya Abang membantuku tadi. Saat Amma diserang, apa yang Abang lakukan? Abang hanya diam saja. Sedikit pun Abang tidak bergerak untuk mencegah orang-orang tadi melempari Amma dengan batu!"
Akhirnya Nisa mengeluarkan juga uneg-uneg yang tadi dipendamnya. Jelas sekali di matanya tadi kalau sang suami sama sekali tidak berusaha menolong ayahnya. Hari ini Nisa tersadar, mungkin saja ketidak sukaan dan kecurigaan Amma pada suaminya benar adanya.
"Maafkan aku. Tadi.. aku masih bingung dengan situasinya. Kamu dengar sekali pengakuan Revina dan santri yang lain. Bisa jadi kalau memang benar Amma melakukannya."
"Kita belum tahu kebenarannya, tapi orang-orang sudah langsung menyimpulkan. Mereka seperti sengaja hendak membunuh Amma."
"Lalu kamu mau aku bagaimana? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Amma menitipkan mu pada Zyan,bukan aku!"
"Harusnya Abang tanya pada diri sendiri, kenapa Amma lebih memilih Bang Zyan untuk menjagamu daripada Abang."
"Apa maksudmu?"
"Sudahlah. Sebentar lagi Amma akan dimakamkan. Kita bicara nanti."
Tanpa menunggu jawaban Barly, Nisa segera meninggalkan Barly. Kekesalan nampak di wajah pria itu. Rahangnya mengetat dan tangannya mengepal erat. Setelah Amma dimakamkan, dia akan langsung membawa Nisa pulang ke rumah mereka.
***
Tanpa menunggu lama, jenazah Amma langsung dimakamkan. Amma dimakamkan di pemakaman keluarganya, tidak jauh dari pondok. Di sana kedua orang tua dan saudara Amma dimakamkan. Seluruh keluarga dan santri mengantar kepergian pria yang tahun ini genap berusia 57 tahun. Bukan hanya mereka, warga sekitar pondok dan orang tua santri juga datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Tidak semua warga sekitar percaya dengan fitnah yang disebarkan oleh Revina. Bahkan warga yang tadi sempat ikut datang menggerebek menyatakan penyesalannya atas insiden yang terjadi. Walau mereka tidak ikut melempari Amma dengan batu, namun sikap dia mereka membuat nyawa Amma tidak tertolong. Banyak dari mereka yang mengucapkan maaf pada Ummi. Tidak ada yang wanita itu katakan. Hatinya belum siap memaafkan orang-orang yang sudah membuat suaminya pergi dalam keadaan memalukan.
Husein, Zyan dan Hafiz turun ke liang untuk membaringkan Amma di tempat terakhirnya. Isak tangis terdengar ketika tubuh Amma yang sudah terbalut kain kafan putih diletakkan di lubang berukuran 1x2 meter tersebut. Nisa tak bisa menahan airmatanya yang terus bercucuran. Kepergian Amma secara mendadak dan dengan cara yang mengenaskan meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya. Barly mencoba menenangkan wanita itu namun Nisa memilih menjauh dari suaminya.
Setelah proses pemakaman selesai, Ustadz Hafiz mulai membacakan doa-doa untuk almarhum. Husein sebagai pihak perwakilan dari keluarga meminta maaf pada semua atas nama Amma. Nisa dan Ummi mendekati makam Amma yang masih penuh dengan taburan bunga. Ummi memeluk nisan suaminya. Pria yang sudah menemaninya selama 34 tahun.
"Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Amma. Aku bersaksi kalau Amma orang yang baik. Semoga engkau diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. In Syaa Allah, Ummi ikhlas. Ummi akan meneruskan perjuangan Amma menjaga pondok dan para santri. Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan Ummi. Semoga kita dipertemukan lagi di Jannah-Nya, aamiin."
Ummi menghapus airmata yang kembali membasahi pipinya. Nisa memeluk ibunya ini sambil mengusap pipinya yang terus dijatuhi buliran bening. Husein mendekati keduanya lalu mengajak mereka untuk pergi. Pria itu memeluk bahu Ummi kemudian membantunya berjalan keluar dari area pemakaman. Sesampainya di rumah, orang tua para santri masih banyak yang berkumpul. Beberapa dari mereka menghampiri Ummi dan Husein.
"Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Amma. In Syaa Allah Amma Husnul khotimah. Saya dan yang lain tidak percaya dengan fitnah yang dikatakan perempuan itu. Saya tahu Amma sejak lama. Beliau adalah orang yang baik. Semoga Allah memberikan surga untuknya sebagai balasan penderitaan yang dialaminya di dunia dan semoga saja yang memfitnah Amma mendapatkan ganjaran setimpal. Dibuat menderita lebih dari yang Amma rasakan."
"Aamiin.."
"Ummi yang sabar. In Syaa Allah kebenaran tentang Amma akan terungkap dan nama baik Amma bisa kembali."
"Aamiin.. terima kasih atas doa baiknya. Mohon maaf, saya permisi dulu."
"Silakan Ummi. Ummi pasti lelah dan ingin istirahat."
Kepala Ummi mengangguk pelan. Wanita itu memang merasakan pusing di kepalanya. Belum lagi tubuhnya terasa lemas akibat insiden mengejutkan yang terjadi tadi pagi. Malamnya wanita itu juga tidak bisa tidur dengan nyenyak karena menjaga Siti di rumah sakit. Husein membimbing Ummi masuk ke dalam kamar.
Tina menemui Zyan dengan membawa bukti yang terkait dengan Revina. Tadi gadis itu belum sempat memberikannya pada Zyan karena pria itu sedang sibuk mempersiapkan pemakaman Amma. Zyan memanggil Agam dan Febri. Keempatnya duduk di bagian belakang rumah.
"Terima kasih kalian mau datang ke sini dan membantu pemakaman Amma."
"Sama-sama, Pak. Biar kita baru sebentar mengenal Amma, tapi banyak hal yang Amma ajarkan pada kami. Jujur, kami juga tidak percaya dengan fitnah yang dilontarkan Vina. Saya tidak menyangka kalau perempuan itu bisa bersikap kejam pada orang yang sudah membantunya. Menyesal saya sudah menjadi fans-nya," ujar Febri.
"Saya juga, Pak. Saya malah udah telepon orang tua saya. Selama seminggu saya akan tinggal di sini sampai tujuh harinya Amma. Nanti saya pulang sebentar buat ambil baju," sambung Agam.
"Saya juga, Pak," sahut Tina.
"Saya juga," pungkas Febri.
"Terima kasih. Nanti kalian bilang saja sama Ustadz Hafiz. Untuk Tina ke Ustadzah Taslima."
"Iya, Pak."
"Oh ya, saya mau minta tolong lagi kalau kalian tidak keberatan."
"Minta tolong apa, Pak? Asalkan saya sanggup, pasti saya mau."
"Bisa kamu antarkan barang bukti ini ke teman saya? Dia bekerja di rumah sakit Harapan Kita. Nanti dia yang akan menguji semua bukti ini. Namanya dokter Dzulfikar, bilang saja kalau saya yang menitipkan ini. Nanti saya hubungi dia. Saya masih ada yang harus dikerjakan di sini."
"Baik, Pak. Biar saya sama Penti aja yang pergi. Habis itu kita pulang dulu sebentar, baru ke sini lagi," jawab Agam.
"Iya. Kamu bisa pakai motor saya. Pinjam satu helm lagi."
"Siap."
Agam dan Febri segera berdiri. Zyan memberikan paper bag berisi semua bukti, termasuk sample darah Amma. Tanpa menunggu lama, kedua pemuda itu segera pergi. Sepeninggal Agam dan Febri, Tina menceritakan apa yang dilakukan Barly tadi. Gadis itu mengemukakan kecurigaannya pada suami Nisa itu.
"Dia itu mencurigakan banget, Pak."
"Terima kasih atas infonya. Saya akan mengawasi Barly. Kamu mau pulang dulu atau gimana?"
"Iya, Pak. Mau ambil baju dulu terus langsung ke sini lagi."
"Kamu ke sini naik apa?"
"Saya bawa motor, Pak."
"Ya sudah, hati-hati di jalan."
Tina bangun dari duduknya. Gadis itu segera pergi meninggalkan kediaman Amma. Tina sudah berencana akan tinggal sementara di pondok selama masa liburannya sambil memikirkan langkah ke depannya. Ibunya akan berangkat ke Dumai. Wanita itu akan bekerja di sana selama satu tahun. Daripada di rumah sendiri, Tina memutuskan tinggal di pondok.
Sepeninggal ketiga muridnya, Zyan juga beranjak dari tempatnya. Pria itu berjalan menuju rumah kaca yang ada bagian belakang pondok. Dia memasuki rumah kaca yang merupakan jalan masuk menuju ruang bawah tanah yang dipakainya selama ini. Zyan langsung menyalakan lampu setibanya di sana. Ruangan ini sudah tertata rapih sekarang.
Semua barang milik Zyan sudah dikirimkan Armin ke sini. Lemari yang berisi berbagai senjata dan juga kendaraan miliknya menjadi penghuni ruang bawah tanah. Zyan berjalan menuju bagian samping ruangan. Di sana terdapat beberapa layar datar yang memperlihatkan keadaan di sekitar pondok. Zyan memang memasang beberapa cctv di sekitar pondok, kebun dan rumah Amma. Pria itu ingin mengecek rekaman sejak semalam.
Dari hasil rekaman cctv, Zyan mencoba mencari orang-orang yang menjadi provokator. Dia mengambil gambar-gambar mereka yang kebetulan terekam kamera cctv. Hanya sekitar delapan orang saja yang tertangkap kamera. Pria itu kemudian mengirimkan gambar tersebut ke e-mail Armin. Kemudian dia menghubungi pria itu menggunakan telepon satelit.
"Halo, Bang," terdengar suara Armin dari seberang.
"Aku kirimkan gambar beberapa orang. Kamu selidiki siapa mereka dan juga cari tahu semua tentang Revina."
"Revina siapa?"
"Artis yang kena kasus narkoba."
"Oh.. yang rehabilitasi di pondok Amma."
"Iya. Amma meninggal tadi pagi."
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Sakit apa, Bang?"
Secara singkat Zyan menceritakan apa yang menimpa Amma dan hubungannya dia meminta informasi tentang orang-orang yang ada di dalam gambar, termasuk Revina. Armin terkejut sekaligus bersedih mendengar kepergian Amma dengan cara yang mengenaskan. Amma adalah orang yang sangat berjasa bagi Zyan dan Armin tahu kalau Zyan sangat menghormati dan menyayangi Amma.
"Apa rencana Abang?"
"Aku akan mencari mereka semua. Aku juga akan membersihkan nama Amma. Mereka yang sudah membunuh Amma, tidak akan melepaskan satu pun," mata Zyan berkilat ketika mengatakan itu semua.
"Aku akan membantu sebisaku."
"Terima kasih."
Usai menghubungi Armin, Zyan kembali memeriksa rekaman cctv lain. Pria itu melihat rekaman cctv di bagian belakang pondok. Pada pukul sepuluh malam, nampak Revina keluar dari asrama putri. Dia berjalan mengendap menuju kamar yang ada di dekat dapur. Kamar itu memang sengaja dikosongkan dan sering digunakan tempat istirahat untuk orang tua santri yang ingin menginap.
Revina masuk ke salah satu kamar. Lima menit berselang, seorang pria terlihat mendatangi kamar tersebut. Zyan menghentikan rekaman, dia ingin melihat dengan jelas wajah pria itu. Zyan terkejut ketika gambar dibesarkan, ternyata pria itu adalah Barly. Dia berjalan memasuki kamar yang dimasuki oleh Revina.
***
Hayo Barly, kamu ketahuan
Minal aidin walfaidzin jg mak mohon maaf lahir dan batin 🙏🥰
keburu lebaran ketupat belum di tangkap. hehehe
Goodlah Zyan dan Armin, setelah ini tinggal pantau aja kegiatan Marwan melalui cctv dan penyadapan.
tunggulah akan ada masa naya kau kena karma barli