Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Nikmati Hidangan Ini
"Bukan-bukan! Saya tidak bilang kalau Anda penjahat kelamin." Ajela cepat menyangkal. Khawatir jika lidahnya terancam dipotong jika sembarangan bicara tentang Tuan Alvian.
"Lalu yang tadi itu apa namanya?"
Ajela menarik sudut bibirnya hingga memperlihatkan barisan giginya yang putih dan bersih. " Saya hanya bilang, Anda mungkin sering bergonti-ganti teman tidur. Salah satu teman tidur Anda bisa saja mengidap HIV dan menularkan pada Anda, kan?"
"Itu apa bedanya?!" Semakin mengerucut saja bibir Alvian dibuatnya, sebelah alis tebalnya terangkat dengan mata menyorot tajam. "Kalau pun aku mengidap HIV itu pasti dari kamu!"
"Saya?" Mata Ajela membelalak. "Tidak, Tuan. Anda kan tahu saya belum pernah tidur dengan siapapun malam itu."
“Kamu juga tidak tahu kalau aku belum pernah tidur dengan wanita mana pun. Huh, kenapa wanita ini menyebalkan sekali?"
Gerutuan panjang itu hanya diucapkan dalam hati. Untuk apa juga menjelaskan kepada Ajela bahwa dialah wanita pertama.
Meskipun banyak wanita cantik dan seksi yang siap mengantri untuk mendapatkan seorang Alvian Setyo Darmawan, nyatanya Alvian tidak tergoda sedikit pun.
Riana yang cantik luar biasa saja tak dipandang sama sekali.
"Dan setelah malam itu bagaimana?" Kelopak mata Alvian berkerut penuh selidik.
Ajela kembali menggeleng sebagai jawaban.
Sebenarnya tanpa bertanya pun Alvian yakin bahwa Ajela tidak pernah macam-macam setelah malam itu. Ia telah membuktikan sendiri melalui Bayu. Bisa saja uang yang ditawarkan Bayu diterima Ajela. Namun, wanita itu menolak dan membuat Bayu gelap mata.
Suara keroncongan yang berasal dari perut Ajela menjadi pemutus pembicaraan itu. Ajela menyentuh perut yang terasa kosong, membuat Alvian melirik ke arahnya. Lelaki itu baru tersadar bahwa Ajela mungkin belum makan apapun seharian ini.
"Kamu lapar?"
Ajela mengangguk takut-takut.
"Kenapa tidak bilang dari tadi? Mau makan apa? Biar aku pesankan."
"Apa saja, Tuan," jawabnya pasrah.
Alvian mengeluarkan ponsel dari saku celana. Jemarinya bergerak naik turun pada layar ponsel. Kemudian menempelkan benda pipih itu pada daun telinga. Ia sedang menghubungi restoran favoritnya untuk meminta dikirimkan daftar menu.
Kurang dari lima menit, nada pengingat pesan sudah berbunyi.
Alvian segera membuka pesan yang berasal dari salah satu karyawan restoran, yang mengirimkan daftar menu andalan. Alvian terdiam sebentar dengan mata terfokus pada daftar menu. Ingin memilihkan untuk Ajela, tetapi tak tahu wanita itu suka yang mana.
"Ini, pilih sendiri!" Lelaki itu menyodorkan ponselnya.
Ragu-ragu, Ajela meraih ponsel milik Alvian. Memegang benda itu dengan sangat hati-hati dan jangan sampai terjatuh dari genggamannya. Benda pipih berlogo apel habis digigit itu pasti sangat mahal. Kalau rusak, mana sanggup Ajela mengganti.
Begitu melihat deretan gambar menu yang menggugah selera, Ajela pun menelan saliva. Pasti semua menu yang tertera memiliki rasa yang sangat lezat. Ayam panggang mentega berwarna agak kecoklatan dan juga beef steak yang seumur-umur sama sekali belum pernah Ajela cicipi.
Tetapi kemudian sepasang mata wanita itu membeliak saat melihat harga yang tertera.
Jarinya terus bergerak pada layar, menggeser deretan menu demi menemukan harga termurah.
Namun, semuanya berada di angka yang fantastis bagi Ajela. Satu porsi cah kangkung adalah menu termurah yang dibanderol dengan harga puluhan ribu rupiah. Setara dengan biaya makan Ajela selama 10 hari.
"Kenapa? Kamu tidak suka menu-nya?" tanya Alvian, pasalnya sudah belasan menit Ajela memilih menu dan tak kunjung menjatuhkan pilihan.
"Suka, Tuan. Tapi ...."
"Tapi apa?"
Ajela bingung harus menjawab apa. Biasanya untuk makan sehari-hari ia akan memilih bahan makanan yang bisa berhemat. Terkadang ia harus makan mie instant, itu pun yang harganya paling murah, yaitu di bawah 3ribu rupiah. Dan sekarang ia malah dihadapkan dengan menu yang memiliki harga selangit.
"Apa tidak ada menu yang harganya lebih murah? Yang ada di sini mahal semua, Tuan."
Hati Alvian seperti tercubit rasanya. Kantongan plastik berisi mie instan di kontrakan lagi-lagi muncul dalam pikirannya. "Pesan apa saja yang kamu inginkan, tidak usah lihat harganya."
"Baik, Tuan." Mata Ajela kembali tertuju pada deretan menu.
Tidak terbiasa dengan santapan ala orang kaya membuatnya bingung. Mau pesan sayang uangnya.
Intuisi Alvian pun memerintahkan agar lelaki itu mengambil ponsel dari tangan Ajela. Biar dirinya saja yang memilihkan. Alvian sedang menebak bahwa Ajela tidak terbiasa dengan makanan seperti ini.
"Kamu suka makanan dari daging atau sayuran?"
"Suka semuanya," jawab Ajela.
"Suka beef steak?"
"Saya belum pernah makan yang seperti itu, Tuan.
Memangnya beef steak itu dari apa?"
"Daging sapi," jawab Alvian singkat. "Kalau teriyaki chicken?"
"Belum pernah juga."
"Hemm." Alvian hanya berdehem sambil mengetikkan sebuah pesan pada ponselnya. Ia sengaja memilih menu apa saja yang katanya belum pernah dimakan Ajela.
**
**
Suara tangisan Baby Boy terdengar dari dalam kamar. Ajela hendak bangkit meninggalkan tempat duduknya, namun Alvian menghalangi.
"Biar aku saja. Kakimu masih sakit, kan?" tawar Alvian, kemudian tergesa-gesa masuk ke kamar. Dalam satu menit ia sudah keluar dari kamar dengan membawa bayi kecil itu dalam gendongannya.
"Anak papa lapar, ya?"
ucapnya lembut seraya berjalan ke arah Ajela. Ia kecup pipi halus bayi itu sebelum meletakkan ke pangkuan mamanya.
Ketika Alvian memilih kembali duduk di dekat jendela, Ajela diam-diam menatapnya. Dalam pikiran Ajela, laki-laki satu ini cukup langka di dunia. Ia memang kaku, galak, dan pemarah. Tetapi dengan anaknya sendiri sangat lembut. Bahkan ketika Ajela membantah bahwa Boy adalah benih Alvian.
"Tapi hasil tes DNA nya pasti sudah keluar."
**
**
Hanya dalam 30 menit, menu yang dipesan Alvian sudah tiba.
Aroma lezat menyeruak ke seluruh ruangan ketika seorang pramusaji restoran membuka tudung saji berbahan stainless.
Ajela menatap beberapa menu yang tersedia di meja. Otaknya sedang menebak berapa uang yang dikeluarkan Alvian untuk membeli menu ini.
"Berikan Boy padaku. Kamu makan saja dulu!" ucap Alvian.
"Anda tidak makan?"
"Aku tidak suka makan yang berlemak."
"Tapi makanan ini banyak sekali. Saya tidak akan bisa menghabiskan semuanya." Ajela kembali menatap menu. Porsi ini bahkan cukup untuk lima orang.
"Kamu harus makan yang banyak karena sedang menyusui. Aku tidak mau anakku kurang ASI ."
"Baik, Tuan. Terima kasih untuk semuanya."
Ajela memindahkan Baby Boy dari pangkuannya ke tangan Alvian. Laki-laki itu membawa bayi kecilnya untuk duduk di sebuah sofa panjang dekat jendela. Di sana Alvian duduk berselonjor dengan membaringkan Boy di dadanya.
"Hey, cepat makan! Kenapa diam saja?"
"Iya, Tuan."
Ajela mulai bersantap ria.
Harga memang tidak bisa dibohongi. Menu mewah ini sukses menggoyang lidah dan nikmat turun ke kerongkongan. Seumur hidup ini pertama kali Ajela menikmati makanan selezat ini.
Tiba-tiba bayangan Riana dan ibunya kembali muncul dalam ingatan Ajela. Semasa kecil hingga remaja dulu, Ajela hanya boleh makan sesuatu jika Riana menyisakan sedikit untuknya.
Ajela bahkan pernah tidak makan semalaman karena mendapat hukuman dari ibunya. Tekanan itulah yang menyiksa batinnya bertahun-tahun. Menjadikan Ajela sosok yang pendiam dan tertutup.
Namun, tak disangka, bersama Alvian ia mendapatkan banyak hal. Lelaki yang semula sangat diincar Riana itu justru mengajaknya menikah.
Sementara Alvian yang masih betah dalam posisinya sesekali melirik Ajela. Bibirnya melukis senyum tipis, tetapi matanya berkaca-kaca. Entah mengapa sejak mengenal Ajela, matanya sangat mudah berair.
"Kenapa melihatnya makan seperti orang kelaparan rasanya sakit sekali?" ucap Alvian dalam hati sambil mendekap Baby Boy di dadanya.
Bersambung ~