Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menolong presdir
Di sebuah kontrakan...
"Bu, apa betul rumah ini dikontrakkan?" tanya seorang pria muda.
"Betul, Mas. Baru saja saya bersihkan rumahnya," jawab ibu pemilik kontrakan.
"Mas mau ngontrak?"
"Iya, Bu. Kalau boleh tahu, sewanya berapa per bulan?" tanya Ardi.
"Wah, Mas, rumah ini tidak disewakan bulanan. Biasanya tahunan," jelas ibu kontrakan.
"Kalau satu tahun berapa, Bu?" tanya Ardi.
"Lima juta, Mas, kalau Mas mau."
"Wah, kalau segitu saya tidak sanggup, Bu. Saya cuma punya tiga juta. Itu pun untuk biaya saya dan adik saya," ucap Ardi.
"Kalau boleh, saya mohon, Bu, izinkan saya menyewa rumah ini bulanan. Saya pendatang, sedang mencari pekerjaan, dan adik saya akan kuliah. Saya ingin mengawasi dia juga. Tolong, Bu, beri saya kesempatan."
"Wah, Mas, bagaimana ya... Saya terbiasa menyewakan rumah tahunan," kata ibu kontrakan ragu-ragu.
"Bu, tolong bantu kami. Kami tidak tahu harus ke mana lagi. Adik saya baru saja dijambret saat turun dari bus tadi. Kami benar-benar membutuhkan tempat tinggal dan pegangan," pinta Ardi dengan wajah memohon.
Ibu kontrakan yang melihat Ardi begitu memelas jadi merasa tidak tega.
"Baiklah, Mas. Kalau bulanan, 600 ribu, bagaimana? Itu sudah harga pas, karena rumah ini lengkap dengan perabotan."
"Baik, Bu. Tidak apa-apa. Saya setuju."
"Kalau begitu, silakan masuk, Mas," kata ibu kontrakan sambil menyerahkan kunci.
Setelah masuk, Ardi dan Ranti melihat-lihat isi rumah. Ada dua kamar dan perabotan yang cukup lengkap.
"Baik, Bu. Ini uangnya," kata Ardi sambil menyerahkan uang sewa.
"Iya, Mas, pas ya, 600 ribu."
"Iya, Bu, pas."
"Baik, ini kuncinya. Untuk listrik, setelah Mas sewa, Mas yang tanggung, ya."
"Iya, Bu. Nanti saya yang urus. Terima kasih, Bu."
"Sama-sama. Kalau begitu, saya pamit dulu."
"Iya, Bu. Sekali lagi, terima kasih."
Setelah ibu kontrakan pergi, Ardi berbicara kepada Ranti.
"Ran, kamu tidur di kamar sebelah, ya."
"Iya, Mas. Maaf ya, saya merepotkan Mas Ar."
"Santai saja. Kita sama-sama pendatang. Nanti kalau sudah ada uang, baru kita cari kosan sendiri."
Mendengar itu, hati Ranti langsung terasa sedih. Sejak ditolong oleh Ardi, ia mulai menaruh hati padanya. Namun, karena kebaikan Ardi, ia tidak berani mengungkapkan perasaannya.
"Iya, Mas," jawab Ranti pelan sambil menunduk.
"Sudah, kamu pakai baju saya dulu, ya. Besok baru kita beli baju untuk kamu."
"Iya, Mas. Tidak apa-apa."
"Baik, saya juga mau masuk. Mau istirahat dulu."
"Iya, Mas. Selamat istirahat."
---
Di kota besar, Pak Andi masih belum mendapatkan kabar tentang Nayla. Ia murka karena anak buahnya tidak ada yang tahu keberadaan Nayla saat ini.
Sementara itu, Nayla yang dalam perjalanan merasa kelelahan. Ia memutuskan untuk bermalam di hotel dan melanjutkan perjalanannya esok pagi.
Keesokan paginya, di kontrakan...
Ardi bangun dan keluar kamar. Ia terkejut melihat ada kopi dan camilan di meja.
"Eh, Ranti. Maaf ya, saya kesiangan."
"Tidak apa-apa, Mas. Lagian baru jam 6:30. Mending Mas sarapan dulu," kata Ranti.
Semalam sebelum tidur, mereka sempat pergi ke supermarket untuk membeli keperluan dapur dan baju untuk Ranti. Tentu saja, menggunakan uang Ardi.
"Iya. Kamu temani saya makan di sini, ya."
"Tapi, Mas... Saya tidak enak kalau ikut makan. Masak saya yang buat, saya juga yang makan."
"Sudah, tidak apa-apa. Sini, temani saya."
"Baik, Mas."
Setelah mereka duduk, Ardi bertanya, "Apa rencana kamu hari ini, Ran?"
"Rencana saya mau cari kerja dulu, Mas."
"Mau kerja apa? Kuliah kamu bagaimana?"
"Kerja apa saja, Mas, supaya saya tidak terlalu merepotkan Mas Ar. Kuliah saya baru mulai lusa, masih ada waktu."
"Kamu fokus saja kuliah. Tidak usah berpikir aneh-aneh. Lagian kamu kan dapat beasiswa, jadi tidak perlu bayar uang kuliah, kan?"
"Iya, Mas. Tapi saya tidak enak sama Mas Ar. Saya sudah terlalu merepotkan."
"Kamu tidak usah merasa begitu. Saya sudah menganggap kamu sebagai adik sendiri."
Deg! Hati Ranti terasa pedih mendengar kata-kata itu.
"Baik, Mas," jawabnya lirih.
"Oh ya, Mas Ar, rencana Mas hari ini apa?"
"Saya mau cari kerja. Rencananya mau melamar di perusahaan farmasi Rangga."
"Oh, semoga diterima, Mas."
"Aamiin. Mudah-mudahan."
Namun, dalam hati Ranti, ia tetap ingin bekerja agar tidak terlalu menyusahkan Ardi.
---
Di hotel, Nayla yang sudah bangun bersiap melanjutkan perjalanannya.
"Semua sudah siap. Sekarang tinggal pergi," gumamnya.
Saat hendak berdiri, ponselnya jatuh. Layar menyala dan tampak foto Ardi sebagai wallpaper.
Hati Nayla kembali terasa pedih.
"Mas Ar, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja," gumamnya sambil menahan tangis.
---
Di kontrakan, setelah sarapan, Ardi bersiap berangkat.
"Ran, saya berangkat dulu, ya."
"Iya, Mas. Hati-hati. Oh iya, ini bekalnya, Mas. Supaya Mas bisa berhemat juga."
"Oh, makasih, Ran," kata Ardi sebelum bergegas keluar untuk naik ojek menuju perusahaan farmasi Rangga.
Setelah sampai, Ardi langsung menuju meja resepsionis.
"Mbak, saya mau melamar kerja."
"Oh, Mas mau melamar? Langsung saja ke lantai tiga. Di sana ada bagian pengecekan pelamar kerja," jawab resepsionis.
"Baik, Mbak. Terima kasih."
Saat memasuki lift, Ardi melihat seorang pria paruh baya memakai jas kantor sedang asyik bermain ponsel.
"Permisi, Pak," sapa Ardi.
"Hem, buruan kalau mau masuk," ujar pria itu.
"Maaf, Pak."
"Kamu mau ke lantai tiga untuk apa?" tanya pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.
"Saya mau melamar kerja, Pak."
Namun, sebelum pria itu sempat berbicara lebih lanjut, tiba-tiba ia meringis kesakitan dan jatuh terduduk di lantai.
"Pak! Bapak kenapa?" Ardi panik melihat pria itu pingsan.
Menyadari bahwa pria itu terkena serangan jantung, Ardi buru-buru kembali ke lantai dasar dan berteriak minta tolong.
Saat para pegawai mendengar ada yang terkena serangan jantung, mereka bergegas ke lift. Melihat yang pingsan adalah Pak Rangga, komisaris perusahaan, suasana menjadi panik. Satpam segera membawa Pak Rangga ke mobil, sementara Ardi ikut sebagai saksi.