Karena bosan dengan kehidupan yang dijalani selama ini, Rania gadis cantik berusia 25 tahun yang telah menyelesaikan s2 di luar negeri ingin mencoba hal baru dengan menjadi seorang OB di sebuah perusahaan besar.
Tapi siapa sangka anak dari pemilik perusahaan tersebut justru menginginkan Rania untuk menjadi pengasuhnya.
Sedangkan Raka duda berusia 40 tahun ,CEO sekaligus ayah dari 3 orang anak yang belum move on dari sang mantan istri yang meninggal pasca melahirkan anak ke 3 nya.
Bagaimana perjalanan Rania dalam menghadapi tantangan yang dibuatnya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekal - bekal gemoy
Jam istirahat, kantin sekolah SMA tempat Leon bersekolah seperti biasa dipenuhi oleh murid-murid yang sibuk mencari tempat duduk dan membeli makanan. Namun, di tengah keramaian itu, ada pemandangan yang tak biasa terjadi.
Leon, si most wanted sekolah, si playboy tampan yang biasanya hanya makan di kafe mahal atau menerima traktiran dari cewek-cewek yang mengidolakan dirinya, dengan santai mengeluarkan bekal dari tasnya.
Teman-teman di mejanya langsung membeku.
“Hah?!”
“Kak Leon bawa bekal?!”
“Gila! Dunia sudah mau kiamat?”
Leon yang sedang membuka kotak bekalnya hanya menoleh santai ke arah teman-temannya yang sedang menatapnya seperti melihat alien. “Kenapa pada heboh?”
Riko, sahabatnya sejak SMP, menunjuk bekal itu dengan ekspresi tak percaya. “Gue lebih kaget lo bawa bekal dibandingkan lo tiba-tiba ngaku udah punya pacar lagi!”
Leon terkekeh, tapi tawa itu langsung berhenti begitu melihat isi bekalnya.
Di dalam kotak makan itu, nasi dibentuk seperti wajah beruang kecil dengan nori sebagai matanya, ada telur dadar yang digulung rapi, nugget yang ditata berbentuk hati, dan sayuran yang dipotong kecil-kecil dengan hiasan wortel berbentuk bintang.
Teman-temannya langsung pecah tawa.
“BWAHAHA! KAK LEON BAWA BEKAL GEMOY BANGET!”
“INI SIAPA YANG BIKIN?! KAYAK BEKAL BUAT ANAK TK!”
Leon mengedip beberapa kali, lalu mendengus kecil. “Ya ampun, Mbak Rania…” gumamnya pelan.
Riko langsung menangkap kata-kata itu. “SIAPA?! SIAPA YANG BIKIN?!”
Leon dengan santai mengambil sumpit dan mulai makan. “Pengasuh adik gue.”
Teman-temannya langsung makin heboh.
“Buset! Cewek yang berhasil bikin Leon makan bekal di sekolah tuh pasti luar biasa!”
“Ada foto? Ada IG-nya? Cantik nggak?!”
Leon terkekeh. “Jelas cantik dong.”
Riko langsung menepuk bahunya. “Bro, lo kalau jatuh cinta duluan sama pengasuh adik lo, jujur aja.”
Leon mengangkat bahu, lalu menyendok nasinya. “Gue nggak masalah jatuh cinta, tapi kayaknya Papi gue duluan, deh.”
“APA?!”
Satu meja langsung ribut. Sementara itu, Leon menikmati makanannya dengan santai, tak peduli tatapan iri dari teman-temannya yang mulai berpikir untuk ikut membawa bekal juga.
Di ruang kantornya yang sunyi, Raka membuka kotak bekalnya. Begitu tutupnya terbuka, ia terdiam sesaat sebelum tertawa kecil.
Di dalam kotak itu, makanannya dihias dengan bentuk lucu—nasi yang dibentuk seperti panda, sayur-mayur yang ditata seperti taman kecil, dan lauk-lauk yang dipotong dengan bentuk unik.
Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah selembar kartu kecil di atasnya.
"Semangat bekerja, Pak Raka!"
Tatapan Raka melembut, senyum samar terukir di wajahnya. Sudah lama tidak ada yang memperhatikannya seperti ini.
Namun, saat ia sedang menikmati makanannya, pintu ruangannya terbuka.
Sherly masuk dengan senyum percaya diri. “Kak Raka, ayo makan siang bareng. Aku tahu restoran baru yang enak.”
Raka yang masih menikmati bekalnya hanya menoleh sekilas. “Aku sudah bawa bekal.”
Sherly mengernyit. “Bekal?,dari siapa?”
Dengan santai, Raka menunjukkan kotak makannya. “Dibuatkan oleh Rania.”
Detik itu juga, senyum Sherly menghilang.
Nama itu. Rania lagi.
Tangannya mengepal di balik tubuhnya, namun ia tetap berusaha tersenyum. “Oh… begitu. Kalau begitu, lain kali saja.”
Namun, meski gagal mengajak Raka makan siang, Sherly tidak menyerah. Ia segera mengubah taktik.
“Aku ada rencana lain,” katanya dengan nada lebih manis. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan akhir pekan nanti? Aku, kamu, dan Zian. Kita bisa pergi ke taman bermain atau ke luar kota.”
Raka berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. Zian pasti senang.”
Sherly tersenyum puas. Dia mungkin gagal hari ini, tapi dia akan pastikan Rania tidak ikut di akhir pekan nanti.
***
Sementara itu, di sebuah restoran kecil di dekat kantor…
Rania sedang duduk berhadapan dengan Zidane.Sudah lama mereka tidak pergi makan siang bersama seperti ini.
Zidane menatap Rania dengan senyum jahil. “Jadi, sekarang kamu rajin masakin bekal buat orang lain, ya?”
Rania mengangkat alis. “Maksudnya?”
“Ya, itu tadi,” jawab Zidane sambil menyendok supnya. “Bekal buat Pak Raka, Leon… Kamu nggak lupa siapa yang pertama kali kamu buatin bekal, kan?”
Rania terkekeh. “Oh, jadi kamu iri?”
Zidane mendekatkan wajahnya sedikit, menatapnya dengan tatapan menggoda. “Kalau aku bilang iya, gimana?”
Rania memutar matanya. “Berarti kamu kekanak-kanakan.”
Zidane tertawa kecil, lalu dengan santai mengambil sumpit Rania dan mengambil sepotong ayam dari piringnya.
“Hey! Itu punyaku!” protes Rania.
Zidane hanya mengunyah dengan santai. “Cuma nyicip, kok.”
“Nyicip itu satu gigitan, bukan satu potong penuh,” gerutu Rania, pura-pura kesal.
Zidane menatapnya dengan ekspresi puas. “Kamu sudah biasa dimanfaatkan sama Pak Raka dan anak-anaknya. Sekali-kali aku juga mau.”
Rania tertawa. “ Mas Zidane, kamu keterlaluan.”
Zidane menatapnya dengan lebih serius. “Aku senang akhirnya bisa ngobrol kayak gini lagi sama kamu. Terakhir kali kita jalan berdua kayak gini… kapan ya?”
Rania terdiam sesaat. Memang sudah lama sejak terakhir kali mereka menikmati makan siang santai bersama.
"Tapi kita kan setiap hari telponan." balas Rania
"Rasanya beda antara bertemu dan telpon, kalau bertemu aku kan bisa lihat wajah cantik kamu."
Rania tertawa kecil mendengar ucapan Zidane " Gombal terus."
Zidane tersenyum kecil. “Kok Gombal,aku jujur sayang.Jangan terlalu sibuk sama mereka sampai lupa sama aku.”
Rania tersenyum. “Enggak mungkin aku lupain kamu,lagian itu sudah menjadi tugas ku mas.”
Di luar restoran, angin bertiup lembut, seakan menyertai kehangatan yang perlahan kembali tumbuh di antara mereka.
***
Setelah makan siang, Zidane mengantar Rania untuk menjemput Zian di sekolah. Namun, saat mobil berhenti di depan gerbang sekolah, Rania berkata, “ Mas Zidane, kamu langsung balik ke kantor aja. Aku sama Zian bisa pulang naik taksi.”
Zidane mengernyit. “Kenapa harus naik taksi? Aku bisa antar kalian.”
Rania tersenyum. “Aku nggak mau kamu bolos kerja gara-gara aku. Sudah, pergi sana sebelum Pak Raka marah.”
Zidane menatapnya sejenak, lalu mendesah pasrah. “Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku.”
Rania mengangguk. “Tenang aja.”
Zidane menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya melajukan mobilnya kembali ke kantor, meninggalkan Rania yang sudah bersiap menjemput Zian.