Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Senja terbangun bukan karena teriakan atau suara pintu dibanting, melainkan karena aroma kopi hitam yang menguar lembut dari dapur dan sinar matahari pagi yang menembus jendela kamar. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia tidak lagi di kamar lamanya, melainkan di rumah baru, sebagai istri Damar Saputra.
Pagi yang tenang adalah hal yang asing. Di rumah Paramita, pagi selalu diawali dengan ketegangan, kebisingan, dan pemeriksaan cermat Paramita atas setiap gerak-geriknya.
Senja bangkit dari ranjang. Ia melihat Damar tidak ada di kamar. Ia ingat malam sebelumnya: Damar tidur di sofa ruang tamu, menepati janjinya untuk memberikan rasa aman dan tidak menyentuh Senja. Rasa hormatnya pada pria ini semakin dalam.
Ia berjalan ke dapur. Damar berdiri di depan kompor, membalik telur dadar.
"Selamat pagi, Sayang" sapa Damar tanpa menoleh, suaranya tenang. "Kau tidur nyenyak?"
"Pagi, Damar. Sangat nyenyak. Terima kasih." Senja berdiri canggung. Ia merasa harus melakukan sesuatu. "Apakah ada yang bisa kubantu?"
"Tidak perlu, duduk saja. Hari ini kau adalah ratu, pengantin baru." Damar tersenyum, senyum yang menghilangkan semua keraguan.
Senja bersikeras. "Aku tidak bisa hanya duduk. Di rumah, aku selalu harus membantu, atau..." Ia memotong kata-katanya.
"Aku mengerti," kata Damar lembut. "Kalau begitu, tolong ambilkan piring di rak atas. Tapi hati-hati, jangan sampai jatuh."
Senja mengambil dua piring. Tangannya gemetar. Tangannya sudah terbiasa memar dan sakit, tetapi tidak terbiasa dengan ketenangan. Piring pertama berhasil diletakkan di meja, tetapi piring kedua, karena ketegangan yang mendalam, terlepas dari genggamannya dan pecah berantakan di lantai keramik dapur.
Tubuh Senja langsung menegang. Ia memejamkan mata, memeluk dirinya sendiri. Reaksi naluriahnya adalah berlutut, memungut pecahan kaca dengan cepat, dan segera meminta maaf berulang kali, sebelum kemarahan meledak dan hukuman datang.
"Maaf! Maaf, Damar, aku ceroboh! Aku akan membersihkannya sekarang juga! Aku janji tidak akan..."
Damar segera mendekat dan mengangkat Senja berdiri, menjauhkannya dari pecahan.
"Senja," Damar memanggilnya, suaranya tetap tenang, nyaris berbisik. "Lihat aku. Buka matamu."
Senja membuka mata, matanya penuh air mata ketakutan yang refleks.
"Tidak ada yang marah di sini," kata Damar. "Itu hanya piring. Benda mati. Benda bisa diganti. Kau tidak terluka, kan? Itu yang penting. Duduklah di sana. Aku yang akan membereskannya."
"Tapi... kau tidak marah? Ibu selalu..."
"Ibumu bukan aku," potong Damar, masih dengan nada sabar. "Di rumah ini, kau boleh membuat kesalahan. Aku tidak akan berteriak. Aku tidak akan menghukummu. Aku adalah suami-mu, bukan algojomu. Janji?"
Senja hanya mengangguk, terisak. Ia tidak pernah berpikir bahwa memecahkan piring bisa berakhir hanya dengan pembersihan sederhana, tanpa disertai sumpah serapah tentang takdir dan kematian.
Setelah Damar selesai membersihkan dan menyajikan sarapan sederhana—roti panggang, telur, dan kopi—mereka duduk berdua di meja makan.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Damar.
Senja menyesap kopi. Aroma itu memberinya keberanian. "Aku merasa aneh. Aku merasa aman, tapi aku juga merasa bersalah."
"Bersalah kenapa?"
"Aku sudah menikahimu dengan kebohongan, Damar. Aku menikahimu hanya untuk melarikan diri, untuk menepati janji Ayahku. Aku tahu kau mencintaiku, tapi aku belum bisa membalasnya. Dan aku takut kau akan lelah dengan ketakutanku."
Damar menghela napas, tersenyum kecil. "Aku tidak mencintaimu dengan tuntutan. Aku mencintaimu karena aku melihat betapa kuatnya dirimu untuk bertahan. Dan kalaupun kau belum mencintaiku, itu wajar. Kau baru saja selamat dari badai, Senja. Sekarang, fokusmu adalah pulih, bukan mencintaiku."
"Kau sangat berbeda dengan semua orang yang pernah kukenal," bisik Senja.
"Aku hanya realistis," jawab Damar. "Sekarang, mari kita buat rencana untuk kehidupan baru ini. Kau baru lulus. Kau mau melanjutkan kuliah? Mencari pekerjaan paruh waktu? Kebebasanmu ada di tanganmu. Tapi satu hal yang pasti..."
Damar meraih tangan Senja di atas meja.
"Apapun yang terjadi, ibumu tidak akan pernah bisa menyentuhmu lagi. Kau adalah tanggung jawabku. Jangan pernah lagi kau takut pada suara keras atau piring pecah. Di sini, kau bebas dari kekejaman ibumu itu."
Senja merasakan gelombang kelegaan. "Terima kasih, Damar."
"Tidak perlu berterima kasih," kata Damar, mengambil kunci rumah dari sakunya. "Ini."
Ia meletakkan kunci rumah itu di telapak tangan Senja. "Aku punya kunci, kau juga. Ini adalah rumahmu. Kapan pun kau mau masuk atau keluar, kau bebas. Jangan pernah merasa terkunci lagi, Senja."
Senja memegang kunci itu erat-erat. Kunci itu terasa berat, bukan karena bebannya, tetapi karena makna kebebasan yang dibawanya. Ia menatap Damar.
"Aku akan belajar membuat kopi seenak buatanmu," janji Senja, sebuah janji kecil yang melambangkan tekadnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sederhana dan normal ini.
"Aku akan menunggu," kata Damar, senyumnya kini menunjukkan rasa bangga.
Senja untuk pertama kalinya, melihat masa depan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kanvas kosong yang siap ia lukis bersama suami-nya.