Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menguntit suami sendiri
Entah setan apa yang merasuki Bianca, tanpa ada angin dan hujan, Bianca diam-diam mengikuti Kaivan yang berjalan dengan seorang wanita di sekitaran gedung yang menjulang tinggi, terlihat sekali jika wanita itu sangat perhatian kepada suaminya, sebenarnya bukan karena Bianca memperhatikan Kaivan sampai nekat mengikutinya, tapi itu semua karena Kaivan yang tidak pernah berbicara di rumah setelah kejadian dua hari yang lalu, di mana mereka tidak sengaja bertemu di tempat makan mall.
"Kenapa mereka masuk ke dalam?"
Bianca mengerutkan dahinya ketika mereka dengan santai melewati dua satpam yang sedang berjaga di depan pintu masuk dengan tubuh tegapnya.
Dengan sedikit berlari Bianca menghampiri dua satpam itu dan bertanya apakah dirinya bisa masuk atau tidak, karena dilihat dari penampilannya, tidak sembarangan orang bisa masuk.
"Maaf, Bisakah anda menunjukkan kartu identitas anda?" tanya satpam dengan warna kulit sedikit putih dan kumis tipis di atas bibirnya.
"Kartu identitas? Kartu seperti KTP?" tanya Bianca bingung.
Satpam itu menggeleng, "kartu identitas yang menunjukkan jika anda salah satu karyawan di sini," jawab satpam berkulit putih itu.
"Aku tidak punya, tapi aku memiliki orang yang aku kenal di sini," ucap Bianca bermaksud agar ia diizinkan masuk karena memiliki orang dalam yang bekerja di gedung tinggi itu.
"Maaf, bisakah kamu menelponnya?" tanya satpam satunya lagi.
Mampus. Bianca tidak mungkin menelpon Kaivan, ia saja tidak memiliki nomornya.
"Aku baru saja berganti ponsel, jadi masih belum menyimpan nomor temanku," jawab Bianca mencari-cari alasan.
"Maaf, tapi kami tidak bisa membiarkan anda masuk, apalagi dengan identitas tidak jelas, jikapun kamu menyebutkan nama temanmu yang bekerja di sini pun, kami belum tentu mengenalnya, karena karyawan di sini terlalu banyak," beritahu satpam berkulit putih dengan suara sopannya.
"Apakah aku benar-benar tidak masuk?"
Bianca mencoba memastikan sekali lagi, ia tidak ingin perjuangannya mengikuti Kaivan sia-sia. Ia tidak mau pulang dengan tangan kosong, setidaknya ia harus tahu rahasia yang Kaivan sembunyikan darinya sehingga dapat menjadi alat dirinya dan Kaivan cerai cepat tanpa perdebatan.
"Tidak bisa,"
Bianca menghela napas lesu, ternyata memang usaha mendapatkan informasi dari Kaivan tidak menghasilkan apapun.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Bianca berbalik dan melangkah meninggalkan gedung tinggi itu, ia yakin jika Kaivan salah satu karyawan di gedung itu, terbukti dari betapa mudahnya Kaivan dan wanita itu masuk.
"Apa yang Kaivan kerjakan di sana? Bukankah dia tidak bisa melihat? Lalu pekerjaan seperti apa yang ia geluti itu sampai memiliki wanita yang sangat perhatian kepadanya, atau jangan-jangan mereka pacaran?" Bianca terus mengoceh selama ia perjalanan pulang ke rumah mamanya.
Tentu saja Bianca pulang ke rumah orang tuanya, tidak sudi ia harus pulang ke apartemen milik Kaivan. Ia pulang jika ada Kaivan di dalam rumah jika tidak ada ia akan kelayapan kemanapun yang penting tidak bersantai di apartemen suaminya yang akan terlihat seperti ia menikmatinya.
"Jika benar wanita itu selingkuhannya, akan semakin mudah untuk bercerai dengan Kaivan," ucap Bianca pelan, senyumnya mengembang lebar, tidak sabar menunggu waktu yang pas untuk membongkar semua kelakuan Kaivan di belakangnya, dengan begitu, ketika ia meminta cerai, Kaivan pasti akan langsung menyetujuinya, dan tidak perlu membawa pacarnya ke hadapan Kaivan. Wanita itu sudah cukup untuk membuatnya bercerai dengan Kaivan.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Bianca mendongakkan kepala dan menemukan salah satu teman di kampusnya.
"Mika?" ucap Bianca pelan.
"Hei, kenapa wajahmu seperti melihat hantu?" tanya Mika dengan kekehan di akhir.
Bianca menggaruk tengkuknya dan tersenyum canggung, " entahlah, aku hanya sedang refreshing saja di sekitaran sini, mengerjakan skripsi di depan laptop hanya membuat kepalaku sakit," balas Bianca.
"Baiklah, aku harus segera pergi dari sini," Muka menepuk pelan pundaknya beberapa kali sebelum ia melangkah menjauhi Bianca.
"Kenapa dia terlihat buru-buru sekaki?" tanya Bianca menolehkan kepalanya menatap kepergian Mika yang sedikit berlari kecil.
"Aneh," lirih Bianca.
***
"Bianca,"
Kaivan memanggil pelan istrinya yang ia yakini sudah berbaring di tempat tidurnya.
"Bianca,"
Sekali lagi Kaivan memanggil istrinya, tapi sama seperti awal, tidak ada sahutan, ia tau Bianca pasti belum tidur karena baru beberapa menit yang lalu ia keluar dari kamar mandi.
"Aku tahu kamu belum tidur, setidaknya jawab panggilanku,"
"Apa?" sahut Bianca akhirnya dengan suara malasnya.
"Bisakah kamu membuatkan kita kopi?" tanya Kaivan dengan suara datarnya.
"Jika ingin minum kopi, buatlah sendiri, aku mengantuk," tolak Bianca kembali menutup tubuhnya dengan selimut.
"Aku bisa saja membuatnya sendiri, tapi tangan sebelah kananku baru saja terkilir, jadi aku tidak bisa menggunakan tangan kananku," balas Kaivan yang diabaikan Bianca.
Kaivan menghela napas, lalu perlahan ia bangkit, dan meraba-raba depannya dengan tingkat yang tidak pernah lepas dari tangannya agar ketika ia berjalan sendiri, ia tidak menabrak benda yang ada di depannya.
Mendengar suara pintu di buka, Bianca membuka matanya dan melirik Kaivan yang keluar dengan langkah yang sangat pelan, mungkin takut ia menabrak sesuatu.
'brak'
Baru saja Bianca akan memejamkan matanya kembali, suara benda terjatuh membuatnya terkejut dan membuatnya tidak mengantuk karena efek dari rasa terkejutnya.
Bianca mengabaikan suara-suara berisik dari arah dapur, ia mencoba kembali memejamkan matanya berharap rasa kantuk menyerangnya kembali dan membuatnya terlelap.
'trang'
Kali ini, bukan lagi suara jatuh, tapi suara gelas beling yang terjatuh ke lantai dan berakhir pecah, belum lagi di susul dengan suara-suara seperti sendok dan garpu yang terjatuh ke lantai.
Bianca menutup kedua matanya untuk meredamkan emosinya, suara-suara itu sungguh sangat mengganggunya, ini sudah larut malam dan Bianca harus tidur cepat agar bisa bangun pagi, karena jam tujuh lagi akan ada bimbingan dari dosbimnya di kampus tapi Kaivan menganggu semuanya.
'krak'
"Aarrghh" Bianca mengacak-acak rambutnya dan bangkit dari ranjangnya, dengan langkah yang ia hentak-hentak, Bianca membuka pintu kamarnya dan melangkah menuju dapur.
"Bisa gak sih kamu hati-hati? ini udah malem, aku harus tidur, besok pagi aku ada pertemuan sama dosbimnya aku?" semprot Bianca begitu ia sampai di dapur.
Matanya terbuka lebar begitu menyadari keadaan dapur jauh dari kata rapih, serpihan gelas kaca terlihat berhamburan kemana-mana, air kopi pun sudah tumpah mengotori lantai, laku sendok juga garpu sudah berserakkan di lantai, belum lagi kopi bubuk yang tumpah dari tempatnya.
Sungguh Bianca tidak bisa menggambarkan bagaimana kacaunya dapur saat ini, di tambah dengan Kaivan yang malah berjalan menjauhi dapur dengan wajah datarnya, dan itu benar-benar menguji kesabaran seorang Bianca.
"Kamu bisa hati-hati gak? Kamu udah bikin dapur berantakan Kaivan, jika memang kamu tidak bisa membuat kopi sendiri, setidaknya tidak perlu membuatnya, Kau hanya mengacaukan dapur," omel Bianca dengan suara kencangnya karena kepalang emosi.
Kaivan menghentikan langkahnya, "kamu bisa kembali tidur, maaf menganggu tidurmu," ucap Kaivan pelan.